Inovasi pembayaran digital menjadi isu penting dari dua agenda utama Presidensi G20 Indonesia, finance track dan sherpa track.
Tuntutan akselerasi digital semakin mengemuka seiring dengan tingginya ekspektasi publik terhadap sejumlah layanan publik yang cepat, efisien, aman, serta dapat dilakukan dari mana saja. Dalam beberapa tahun belakangan, transformasi digital di semua sektor bahkan telah menjadi suatu keniscayaan di tengah terbatasnya mobilitas masyarakat akibat pandemi Covid-19 yang juga belum berakhir.
Inovasi pembayaran digital (digital payment innovation) juga menjadi isu penting dari dua agenda utama Presidensi G20 Indonesia, finance track dan sherpa track. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebagai koordinator pelaksanaan agenda finance track pun menyelenggarakan casual talks on digital payment innovation of banking dengan tema besar Indonesia di Tengah Tantangan Digital Payment sebagai rangkaian kegiatan Presidensi G20 Indonesia, Senin (14/2/2022).
Sejumlah pembicara hadir di side event finance track Presidensi G20 Indonesia tersebut. Hadir sebagai pembicara kunci Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Selain Perry, pembicara lainnya adalah Pandu Sjahrir (Ketua Asosiasi Fintech Indonesia), Santoso Liem (Ketua Asosiasi Payment Indonesia), Kartiko Wirjoatmodjo (Ketua Perbanas), Shinta Widjaja Kamdani (Ketua B20 Indonesia dan Wakil Ketua Kadin Indonesia), Sandiaga Uno (Menparekraf), Filianingsih Hendarta (Asisten Gubernur Bank Indonesia dan Kadiv Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia), YB Hariantono (Direktur Operasi dan IT Bank BNI), dan Danang Parikesit (Ketua Badan Pengelola Jalan Tol).
Dalam kesempatan itu, Perry menjelaskan hal-hal penting yang harus diperhatikan agar negara-negara G20 bisa pulih bersama dan pulih untuk lebih kuat (recover together recover stronger). “Ada tiga fokus yang sudah dipercayakan oleh Presiden RI Joko Widodo untuk kita recover together, recover stronger,” ujar Perry.
Pertama, negara-negara harus bekerja sama untuk memerangi pandemi. Dalam hal ini, perlu bekerja sama dalam penguatan vaksinasi dan menurunkan kasus harian dengan signifikan.
Salah satu kunci pemberantasan pandemi ini adalah vaksinasi. Dengan vaksinasi, negara-negara di dunia berhasil bertahan, melanjutkan hidup, dan bahkan bisa tumbuh lebih tinggi, termasuk melalui skema pembayaran digital.
Kedua, bertransformasi ke ekonomi hijau dan pembiayaan hijau. Hal ini perlu dilakukan dan bisa dimulai dengan transisi ke ekonomi ramah lingkungan. Ketiga, transformasi digitalisasi.
Menurut Perry, di bawah jalur keuangan (finance track) G20, negara-negara akan mematangkan transformasi digitalisasi ini dengan mengembangkan pembayaran antarwilayah (cross border payment), standard open Application Programming Interfaces (API), juga Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Apa itu QRIS? QRIS merupakan sebuah standard quick response yang dikembangkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pemabayaran Indonesia dengan tujuan mengintegrasikan seluruh metode pembayaran nontunai di Indonesia.
“Bahkan, dalam hal ini yang menjadi salah satu agenda adalah mempersiapkan mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Kita butuh kerja sama untuk menggerakkan pertumbuhan di tengah pandemi,” tandas Perry.
Inovasi Sistem Pembayaran
Perry menambahkan, inovasi sistem pembayaran Indonesia sudah dimulai seiring Bank Indonesia mempublikasikan visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 pada 2019. Visi itu mengenai upaya dalam mengintegrasikan ekonomi dan keuangan digital Indonesia dari digital banking, financial technology (fintech), dan e-commerce melalui digitalisasi sistem pembayaran.
"Ini bagaimana memastikan integrasi kerja sama antara perbankan, pembayaran, dan e-commerce untuk melayani kebutuhan masyarakat dan pembayaran ritel," ujarnya.
Menurutnya, beberapa reformasi digitalisasi pada sistem pembayaran telah membantu melayani masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang mobilitasnya sangat dibatasi. "Kita patut bersyukur ketika Covid-19 membatasi mobilitas, maka digitalisasi ekonomi dan bisnis keuangan sistem pembayaran melalui transformasi digitalisasi bisa mendukung dan melayani ekonomi dan pemulihan dengan baik," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, dari unsur perbankan masing-masing Kartiko Wirjoatmojo, Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional/Perbanas dan YB Hariantono, Direktur TI dan Operasional BNI berpendapat hampir mirip.
Kartiko menilai, perbankan harus siap menghadapi perkembangan teknologi yang meledak sejak pandemi Covid-19. Pasalnya, fenomena disrupsi digital membuat bank-bank mencari cara bertahan hidup agar tetap eksis dan diminati nasabah di antara banyak layanan pembayaran saat ini.
"Untuk bisa menghadapi disrupsi digital, perbankan harus mengubah pendekatan layanannya kepada nasabah dengan melakukan migrasi ke sektor digital," ujarnya.
Yang terpenting, lanjutnya, bagaimana semua pemangku kepentingan di sektor jasa pembayaran digital saling kerja sama. "Sistem kita harus terekspos, namun harus tetap terjaga dengan baik," ujar Tiko, panggilan lain Kartiko.
Dia menambahkan, perbankan sebagai pemain kunci industri ini harus menerapkan hibrida dan open banking ecosystem. "Jadi perbankan harus menggabungkan kapabilitas digital secara masif, tetapi juga harus memanfaatkan kehadiran fisiknya secara maksimal."
Pada kesempatan yang sama, Pandu Sjahrir, Ketua Aftech itu berpendapat, hubungan layanan finansial teknologi dan bank harus bekerja sama satu sama lain. Kedua entitas itu, bisa saling sinergi.
Fintech mencoba mengangkat kehidupan masyarakat, di sisi lain bank bisa jadi pemberi modal dalam layanan keuangan. "Kami seperti little brother, bank sebagai big brother," ujarnya.
Pandu menjelaskan Covid-19 memang membantu percepatan adopsi digital dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, dia menambahkan, dalam beberapa tahun ke depan aktivitasnya akan lebih efisien bagi pelanggannya.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menilai, transformasi pada transaksi digital ternyata tidak selalu berdampak positif. Menurutnya, kemajuan transaksi digital ternyata justru menciptakan tantangan tersendiri bagi UMKM.
Shinta menambahkan, di Indonesia transformasi tersebut terjadi secara tidak merata. "Kadin selalu melihat adanya kesenjangan transaksi digital yang terjadi," ujar Shinta.
Kesenjangan itu terjadi secara meluas. Tidak hanya pada ketersediaan infrastruktur transaksi saja, melainkan termasuk pada kesempatan untuk memiliki akses internet bahkan smartphone.
Kondisi ini pun terutama terjadi pada daerah tertinggal. Padahal di kawasan tersebut juga tumbuh banyak UMKM. Contohnya di Maluku dan Papua, mobile internet coverage baru mencapai 60 persen.
Tantangan kedua yang dihadapi UMKM adalah digital capability gap. Menurut Shinta, kesenjangan juga terjadi pada ketersediaan tenaga profesional. Di wilayah tertentu, masih sulit ditemukan adanya tenaga profesional di bidang development operation, otomation, user experience, dan cyber security.
Dari paparan di atas, transformasi layanan pembayaran digital bisa berjalan bila semua pemangku kepentingan memiliki komitmen yang sama untuk menangkap digital payment sebagai peluang bersama menuju ekonomi bangsa yang lebih efisien dan kuat.
Semua pemangku kepentingan juga harus memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Perbankan dan pelaku industri keuangan harus tetap sebagai lembaga intermediasi yang harus mampu memacu pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari