Indonesia.go.id - Kelas Layanan BPJS Kesehatan Berganti KRIS, Apa yang Membedakan?

Kelas Layanan BPJS Kesehatan Berganti KRIS, Apa yang Membedakan?

  • Administrator
  • Rabu, 15 Mei 2024 | 11:05 WIB
BPJS KESEHATAN
  Presiden Joko Widodo telah menghapus perbedaan kelas layanan 1, 2, dan 3 dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Tujuannya untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
KRIS menjamin semua golongan masyarakat mendapatkan perlakuan sama dari rumah sakit, baik pelayanan medis maupun nonmedis.

Demi memberikan peningkatan kualitas layanan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Melalui perpres itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menghapus perbedaan kelas layanan 1, 2, dan 3 dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.

Layanan berbasis kelas itu diganti dengan KRIS (Kelas Rawat Inap Standar). Berkaitan dengan lahirnya Perpres 59/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan melaksanakannya.

Kebijakan baru itu mulai berlaku per 8 Mei 2024 dan paling lambat 30 Juni 2025. Dalam jangka waktu tersebut, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.

Lantas apa yang menjadi pembeda dari sisi layanan dengan layanan rawat inap sesuai Perpres 59/2024? Dahulu sistem layanan rawat BPJS Kesehatan dibagi berdasarkan kelas yang dibagi masing-masing kelas 1, 2, dan 3. Namun, melalui perpres, layanan kepada masyarakat tidak dibedakan lagi.

Pelayanan rawat inap yang diatur dalam perpres itu--dikenal dengan nama KRIS—menjadi sistem baru yang digunakan dalam pelayanan rawat inap BPJS Kesehatan di rumah sakit-rumah sakit. Dengan KRIS, semua golongan masyarakat akan mendapatkan perlakuan yang sama dari rumah sakit, baik dalam hal pelayanan medis maupun nonmedis.

Dengan lahirnya Perpres 59/2024, tarif iuran BPJS Kesehatan pun juga akan berubah. Hanya saja, dalam Perpres itu belum dicantumkan secara rinci ihwal besar iuran yang baru. Besaran iuran baru BPJS Kesehatan itu sesuai rencana baru ditetapkan pada 1 Juli 2025.

“Penetapan manfaat, tarif, dan iuran sebagaimana dimaksud ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025,” tulis aturan tersebut, dikutip Senin (13/5/2024).

Itu artinya, iuran BPJS Kesehatan saat ini masih sama seperti sebelumnya, yakni sesuai dengan kelas yang dipilih. Namun perpres itu tetap berlaku sembari menanti lahirnya peraturan lanjutan dari perpres tersebut.

 

Kesiapan Rumah Sakit

Berkaitan dengan lahirnya kebijakan layanan kesehatan tanpa dibedakan kelas lagi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan mayoritas rumah sakit di Indonesia siap untuk menjalankan layanan KRIS untuk pasien BPJS Kesehatan.

Kesiapan itu diungkapkan oleh Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya. “Survei kesiapan RS terkait KRIS sudah dilakukan pada 2.988 rumah sakit dan yang sudah siap menjawab isian 12 kriteria ada sebanyak 2.233 rumah sakit,” ujar Azhar.

Sebagai informasi, KRIS adalah pengganti layanan Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan yang bertujuan untuk memberikan layanan kesehatan secara merata tanpa melihat besaran iurannya. 

Melalui KRIS, rumah sakit perlu menyiapkan sarana dan prasarana sesuai dengan 12 kriteria kelas rawat inap standar secara bertahap. Apa saja ke-12 kriteria KRIS itu?

Sesuai bunyi Pasal 46A Perpres 59/2024, disyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi serta terdapat ventilasi udara dan kelengkapan tidur.

Demikian pula soal pencahayaan ruangan. Perpres itu juga mengatur pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur, temperature ruangan 20--26 derajat celcius.

Tidak hanya itu, layanan rawat inap berdasarkan perpres itu mensyaratkan fasilitas layanan yang membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.

Selain itu, kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.

Selain itu, kelengkapan tempat tidur berupa adanya dua kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur dan adanya nakas per tempat tidur. Kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak antara tepi tempat tidur minimal 1,5 meter. 

Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung.  Kamar mandi dalam ruang rawat inap serta kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas dan outlet oksigen.

Azhar menjamin, Kemenkes akan menjalankan hal tersebut sesuai dengan tupoksi yang ada. “Tentu saja kami akan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam implementasi dan pengawasannya di lapangan,” ujar Azhar.

Berkaitan dengan perpres jaminan kesehatan itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menilai, perpres tersebut berorientasi pada penyeragaman kelas rawat inap yang mengacu pada 12 kriteria. "Bahwa perawatan ada kelas rawat inap standar dengan 12 kriteria, untuk peserta BPJS, maka sebagaimana sumpah dokter tidak boleh dibedakan pemberian pelayan medis atas dasar suku, agama, status sosial atau beda iurannya," ujarnya.

Jika ada peserta ingin dirawat pada kelas yang lebih tinggi, kata Ghufron, maka diperbolehkan selama hal itu dipengaruhi situasi nonmedis. Hal itu disebutkan dalam Pasal 51 Perpres Jaminan Kesehatan diatur ketentuan naik kelas perawatan.

Menurut pasal tersebut, naik kelas perawatan dilakukan dengan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.

Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.

Ghufron Mukti juga mengimbau pengelola rumah sakit tidak mengurangi jumlah tempat tidur perawatan pasien dalam upaya memenuhi kriteria KRIS. "Pesan saya jangan dikurangi akses dengan mengurangi jumlah tempat tidur. Pertahankan jumlah tempat tidur dan penuhi persyaratannya dengan 12 kriteria tersebut," tegas Ghufron,

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari