Indonesia.go.id - Menata Langkah Hadapi Tantangan Geostrategis

Menata Langkah Hadapi Tantangan Geostrategis

  • Administrator
  • Senin, 24 Februari 2020 | 20:26 WIB
KEAMANAN LAUT
  KRI Usman Harun-359 (kanan) bersama KRI Sutedi Senoputra-378 melakukan konvoi saat peran bahaya tempur udara di Laut Natuna, Jumat (10/1/2020). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Regulasi tengah disusun demi memperkuat pengamanan seluruh wilayah perairan   Indonesia. Badan Keamanan Laut (Bakamla) pun dirancang menjadi coast guard-nya Indonesia.

 

Masih ingat insiden penghalauan kapal coast guard Tiongkok (China Coast Guard/CCG) di Laut Natuna Utara oleh para ksatria laut Indonesia, yang mengawaki KRI Tjiptadi-381, pada awal Januari lalu? Boleh jadi, rekaman percakapan dan gambar yang beredar di banyak media televisi antara kedua pihak itu cukup membekas dan menghentak rasa nasionalisme anak-anak bangsa.

Betapa tidak, dalam jarak komunikasi hanya 1 Nautical Mile (1 NM atau 1 Mil Laut sama dengan 1.852 meter), awak KRI Tjiptadi-381 dengan tegas mengusir kapal asing yang bersikeras menolak keluar dari  kawasan perairan di gugus Kepulauan Indonesia. CCG yang terdeteksi di posisi 05 14 14 U 109 22 44 T dan menuju selatan dengan kecepatan 3 knots itu tengah mengawal beberapa kapal ikan Tiongkok yang sedang melakukan aktivitas penangkapan ikan.

Kejadian itu rupanya bukan yang pertama. KM Tanjung Datu 301 milik Bakamla sebelumnya juga mengidentifikasi masuknya kapal-kapal pengawal milik Tiongkok di perairan Indonesia. Setidaknya terdeteksi, ada tiga kapal coast guard dari negara yang sama, yang mana dua di antaranya bertahan di perairan Natuna Utara.

Persoalan kelautan Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, memang cukup kompleks. Termasuk di antaranya persoalan sengketa batas laut. Perbatasan laut memang merupakan kawasan strategis nasional yang memiliki fungsi penting dari aspek geoekonomi, geostrategis, dan geopolitik. Lantaran itulah, mengelola kawasan perbatasan laut harus terpadu, komprehensif, holistik, dan terintegrasi dalam aspek regulasi, kelembagaan, dan pengusahaan.

Indonesia memiliki empat kawasan perbatasan laut. Pertama, di Aceh bagian utara Indonesia berbatasan dengan laut Andaman (Pulau-Pulau Nicobar India), terus ke arah perbatasan Thailand dan Selat Malaka. Indonesia, India, dan Thailand telah menyetujui titik pertemuan tiga garis batas di Laut Andaman, yang disahkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978. Tapi, masih ada sedikit hal lagi yang perlu dirundingkan di beberapa garis batas landas kontinen antara India dan Indonesia.

Sebagai negara nuklir superpower di kawasan Asia Selatan, India memiliki kepentingan untuk mengamankan jalur Laut Andaman Nicobar-Selat Malaka, hingga ke Laut Tiongkok Timur. Itu dipandang penting demi mengimbangi Tiongkok yang terus berupaya memperluas jangkauan pengaruhnya ke Asia, Timur Tengah, hingga ke Afrika.  

Di kawasan tersebut, ada empat wilayah kerja migas. Mayoritas masih dalam tahap eksplorasi dengan kegiatan yang belum masif. Sementara itu, potensi sumber daya yang dapat diambil (recoverable resources) diperkirakan sangat besar terutama gas.

 

Perlu Banyak Kesepakatan

Kawasan perbatasan kedua adalah Laut Natuna Utara. Di sana, persetujuan perbatasan maritim yang meliputi landas kontinen, laut teritorial, hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan negara tetangga dan masyarakat internasional belum seluruhnya tuntas. Indonesia dan Malaysia memang telah menekan penetapan garis batas landas kontinen pada November 1969. Begitu juga dengan Vietnam, di mana Indonesia telah menandatangani persetujuan penetapan garis batas landas kontinen pada Juni 2013.

Namun begitu, peta wilayah yurisdiksi NKRI yang dikeluarkan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI-AL menunjukkan, terkait garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan Vietnam maupun Malaysia di perbatasan laut Natuna, masih diperlukan banyak kesepakatan.

Di ZEE--sesuai namanya--hak berdaulat suatu negara adalah terbatas dan eksklusif terhadap hak-hak ekonomi, seperti eksplorasi sumber daya kelautan, atau migas di bawah laut. Negara-negara lain, bahkan termasuk negara yang tidak memiliki batas laut (land locked states) memiliki akses tertentu terhadap ZEE, seperti hak kapal lintas damai dan terbang di angkasa atasnya, meletakkan kabel dan pipa bawah laut, dengan memperhatikan (shall have due regards) hak-hak negara lainnya.

Memang kalau merujuk Konvensi Hukum Laut, manakala terdapat perselisihan di ZEE, penyelesaiannya bukan berdasarkan yurisdiksi dan kaca mata hukum negara pemilik yurisdiksi ZEE. Tapi, atas asas kesamaan kepentingan (equity). Di mana itu mempertimbangkan hal-hal relevan lainnya bagi para pihak yang bersengketa dan kepada komunitas internasional secara keseluruhan.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah Konvensi Hukum Laut. Di mana dalam konvensi itu ZEE diatur di Bab V yang template-nya merupakan hak berdaulat negara pantai (coastal states), dan pembatasan hak-hak tersebut terhadap negara lain. Sedangkan hak negara kepulauan ditempatkan di Bab IV yang template-nya termasuk mengatur hak-hak negara lain di perairan dalam negara kepulauan (seperti hak navigasi lintas damai dan terbang, di jalur yang ditetapkan).

Terkait itu, maka diketahui bahwa Malaysia, Vietnam, Thailand, dan RRC merupakan negara pantai. Sedangkan Indonesia adalah negara kepulauan. Mengingat longgarnya pengaturan hak-hak ini, menjadi sangat penting satu negara yang memiliki yurisdiksi ZEE, seperti Indonesia, untuk membuktikan ke komunitas internasional kemampuan penguasaan dan pengusahaan efektif ZEE. Termasuk dalam hal ini mempertahankan dan menegakkan hak-hak atasnya.

Sejatinya menjadi ‘keharusan’ Indonesia untuk menguasai kawasan ZEE-nya di laut Natuna Utara, yang luasnya hampir sama dengan Semenanjung Malaysia. Termasuk dengan memberdayakan para nelayan, dengan berbagai cara agar bisa beroperasi jauh di laut lepas.

Di kawasan kaya, Laut Natuna Utara, Indonesia memiliki 10 wilayah kerja migas. Tapi baru tiga yang berproduksi. Dan itu berkontribusi sekitar 6% ke total produksi migas nasional. Setidaknya ada tiga wilayah kerja eksplorasi migas Indonesia di sisi timur ZEE Natuna yang masuk dalam peta klaim garis putus-putus (dash line) RRC. Termasuk, blok Natuna Timur, yang diperkirakan mengandung cadangan gas raksasa terbukti sebesar 46 triliun kaki kubik, yang ditemukan pada 1980.

 

Belajar dari Pengalaman

Kawasan perbatasan ketiga adalah perbatasan Laut Ambalat. Di perairan Ambalat, lepas pantai Pulau Sebatik, kekalahan sengketa perbatasan atas Malaysia di Mahkamah Internasional (international court of justice - ICJ) menjadi kenangan getir yang tak terlupakan. Kekalahan itu mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002. ICJ memenangkan Malaysia atas dasar doktrin effectivity.

Saat ini, terdapat tiga blok Migas Indonesia di laut Ambalat yang tumpang-tindih diklaim oleh Malaysia sebagai Blok ND6. Sekalipun wilayah kerja migas ini telah lama dikontrak kerjasamakan, hingga saat ini belum ada aktivitas nyata dan efektif di lapangan. Bahkan satu blok sudah dalam proses terminasi.

Keempat, Laut Arafura. Di sana sangat kaya dengan sumber daya ikan. Perbatasan Indonesia-Australia itu juga kaya dengan sumber daya migas. Indonesia memiliki satu blok migas yang dioperasikan oleh INPEX berasal dari Jepang, bersisian dengan perbatasan Australia. Blok Migas tersebut telah dikerjasamakan sejak 1998 dan dinyatakan ada temuan komersial migas pada 2010. Cadangan gas sangat besar, lebih dari 18 TCF, belum lagi kondensat. Namun hingga saat ini migasnya belum diproduksi. Kepastian harga pasar dan penyerapannya adalah salah satu alasannya.

 

Peran Coast Guard

Bertolak dari kondisi geostrategis itulah, sejak beberapa pekan belakangan ide memperkuat Bakamla sebagai single coast guard-nya Indonesia mencuat ke permukaan. Bahkan usai melantik Kepala Bakamla Laksdya Aan Kurnia, pada Rabu (12/2/2020), Presiden Joko Widodo menyampaikan harapannya agar proses itu dipercepat.

“Memang kita harapkan ke depan Bakamla menjadi embrio coast guard Indonesia. Sehingga lembaga yang lain, kembali ke institusinya masing-masing. Yang diberi kewenangan di laut hanya Bakamla,” tandasnya.

Transformasi Bakamla sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang hukum di perairan nasional memang mulai dirintis. Kelak, Bakamla yang dibentuk pertama kali pada 1972 itu bakal mengemban tiga fungsi, yaitu penjaga keamanan laut (maritime security), penjaga keselamatan laut (maritime safety), dan pertahanan (maritime defence).

"Bakamla seperti Indonesian Coast Guard. Tapi ini masih diproses regulasinya agar ada harmonisasi. Kita ingin bisa mengawal dan mempercepat, sehingga betul-betul kita memiliki sebuah coast guard yang namanya Bakamla, berwenang di perairan kita," tandas Jokowi.

Regulasi yang diproses maksudnya adalah rencana menerbitkan omnibus law mengenai keamanan laut. Kelak, dalam omnibus law itu akan dikoordinasikan tujuh institusi yang punya wewenang hukum di laut, yakni, Kepolisian Perairan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI-Angkatan Laut, Kementerian Perhubungan, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, dan Ditjen Imigrasi Kemenhukam. Diketahui, hingga kini sedikitnya ada 17 undang-undang (UU) yang saling tumpang tindih tentang kewenangan di laut Indonesia.

Saat ini, tugas dan fungsi Bakamla diatur dalam Perpres 178 tahun 2014 tentang Bakamla. Di mana badan itu mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Sedangkan dalam BAB 3 tentang Fungsi, khususnya di Pasal 3, diatur bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bakamla menyelenggarakan sejumlah fungsi. Di antaranya, Bakamla berfungsi melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Bakamla juga berfungsi memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait. Dan fungsi yang lainnya adalah Bakamla memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Laut merupakan harta yang sangat bernilai bagi bangsa ini. Oleh karenanya, penataan regulasi yang tepat dan taat terhadap ketentuan hukum nasional dan internasional menjadi sangat menentukan keberhasilan insan negeri mengelola laut, demi menjawab tantangan geostrategis.

 

Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Eri Sutrisno