Indonesia.go.id - Pantang Meriang dan Sesak Nafas

Pantang Meriang dan Sesak Nafas

  • Administrator
  • Jumat, 28 Februari 2020 | 05:49 WIB
DAMPAK COVID-19
  Pekerja memproduksi tenun sorban menggunakan mesin produksi tahun 1949 di Pusat Koperasi Tasikmalaya, Jalan Dr M Hatta, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (24/2/2020). Pelaku bisnis dan industri diharap dapat memanfaatkan peluang bisnis yang terdampak Corona. FOTO : Antara Foto/ Adeng Bustomi

Wabah Covid-19 menekan pasokan bahan baku industri asal Tiongkok. Jika berkepanjangan, ekonomi nasional bisa sesak nafas.

Wabah Covid-19 yang menginfeksi saluran pernafasan dan paru, juga berpotensi membuat peradangan bagi ekonomi Indonesia. Kalangan pemangku kepentingan di sektor industri bersuara sama meski dengan nada yang berbeda. Intinya sama, pandemi yang kini mengaduk-aduk negeri Tiongkok itu akan memberikan dampak

buruk bagi perekonomian nasional 2020. Khususnya, sektor industri.

Tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah salah satu industri yang terancam terpukul. Industri TPT ini masih menjadi salah satu andalan Indonesia, mencatat kinerja bagus pada 2019 dengan nilai ekspor di atas USD15 miliar. Pabrik-pabrik TPT juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun ia memiliki kerentanan sendiri, ketergantungannya pada bahan baku dari Tiongkok hampir mencapai 70%.

Ketergantungan yang tinggi itu diakui Kementerian Perindustrian. Namun, secara bertahap industri hulu nasional terus meningkat dan dapat menyediakan substitusi bahan baku TPT.  “Optimalisasi pemakaian bahan baku, yang berasal dari dalam negeri, menjadi sangat penting dalam mendongkrak kinerja sektor industri TPT di Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Menteri Agus Gumiwang menyampaikan opmitistis ketika menghadiri peresmian fasilitas produksi viscose rayon PT Asia Pacific Rayon (APR), pabrikan kebutuhan bahan baku tekstil di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (21/2/2020).

Viscose rayon adalah serat benang hasil olahan kayu dan bisa  terurai secara alami. Ia tergolong produk benang hijau yang sustainable dari proses industri yang serba terbarukan, renewable. Selain punya brand hijau, yang disukai pasar Amerika dan Eropa, ia juga bisa mensubstitusi kebutuhan benang kapas yang makin terbatas.

Meski termasuk industri lama, TPT masih cukup kuat dan menjanjikan. Merujuk  data Kemenperin (Kementerian Perindustrian), tampak bahwa industri TPT terus tumbuh meski fluktuatif. Pada 2017, ia hanya tumbuh 3,83% lalu membaik 8,73%, dan meroket ke level 15,35% pada 2019.

Melihat tren yang ada, meski masih banyak kalangan yang menyebutnya sunset industry, pemerintah tetap mempertahankan sektor ini sebagai salah satu pilar industri yang patut terus dijaga dan didorong perkembangannya. Pada peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT menjadi satu dari lima sektor yang mendapat prioritas pengembangan dalam kesiapan memasuki era industri 4.0.

Merujuk ke peta jalan tersebut, Kementerian Perindustrian memancang target agar industri tekstil dan pakaian Indonesia bisa masuk ke jajaran lima besar dunia pada tahun 2030. Namun, optimistis itu menghadapi realitas yang cukup pelik. Wabah virus Covid-19, yang mendatangkan gejala demam, batuk-pilek, dan sesak nafas itu, sedikit atau banyak akan memberi tekanan pada arus pasokan bahan baku.

Dalam forum Mandiri Invesment di Jakarta (5/02), Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengakui wabah virus itu berpengaruh langsung terhadap perekonomian tanah air. Mengutip beberapa analis, Airlangga memprediksi, virus itu mampu menekan perekonomian Indonesia sampai sebesar 0,1% hingga 0,29%. "Konsensus (analis) mengatakan, virus corona dapat memengaruhi perekonomian kita  sebesar 0,1% hingga 0,29%," ujarnya.

Dalam  kisaran itu, dampak yang timbul tak sampai ke tahap sesak nafas. Sampai Januari 2020 lalu efek demam meriang tak muncul. Mengutip BPS, angka impor dari China (termasuk bahan baku) pada Januari 2020 tercatat USD 4 miliar. Angka ini lebih rendah dibanding di Januari 2019 yang mencapai USD 4,1 miliar. Untuk ekspor produk Indonesia ke China, pada periode yang sama, ada kenaikan  17% dari USD 1,9 Miliar (Januari 2019) ke USD 2,2 Miliar (Januari 2020). Artinya, baik impor maupun ekspor nilainya cukup besar dan signifikan bagi Indonesia.

Pandemi Covid-19 di Tiongkok memang bisa membuat arus bahan baku ke Indonesia terganggu, dan pada gilirannya menggelincirkan kinerja ekspor secara umum. Toh, kondisi ini bukan untuk diratapi. Pelaku industri nasional perlu menggeser situasi rawan ini menjadi momentum untuk mencari peluang.

Setidaknya momentum ini dapat memberi dorongan untuk memaksimalkan bahan baku dalam negeri. Di sisi lain juga bisa mendorong pelaku industri untuk mengisi pasar yang ditinggalkan (sementara waktu) oleh pelaku industri Tiongkok, seperti di Pasar negara-negara Afrika. Sekurangnya untuk pasar dalam negeri (domestik). Tekanan wabah ini bisa  dijadikan momentum kebangkitan bagi industri nasional. Peran pemerintah jelas diperlukan untuk memberi insentif bagi langgkah-langkah bisnis yang kreatif.

Suara optimisme dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Menurut Gita, pemangku kepentingan sebaiknya memanfaatkan momentum wabah virus corona itu untuk menggenjot kinerja industri TPT dalam negeri.

Momentum itu berupa berkurangnya pasokan kain murah asal Tiongkok yang selama ini menjadi andalan daya saing industri TPT nasional. Dengan insentif khusus dari negara, industri hulu di Indonesia bisa mendorong kebangkitan kain cukup murah yang bisa diserap industri hilir TPT, baik untuk pasar ekspor maupun domestik. Dengan demikian, sektor hulu dan hilir sama-sama bergerak.

Artinya, serapan produk-produk benang polyester filament, polyester fiber, nylon filament, dan viscose fiber di sektor hulu akan terdongkrak. Kita menyakini bahwa kapasitas produsen tekstil dalam negeri sanggup mengisi ceruk yang ditinggalkan oleh produk-produk impor kain murah dari Tiongkok. Dengan begitu, kalau pun nanti produksi kain murah dari Tiongkok masuk kembali, industri hulu sudah cukup kuat untuk bersaing, dan akan terjadi keseimbangan baru yang menguntungkan.

Bahwa, wabah virus dari Tiongkok ini bisa membuka peluang baru, tentunya itu adalah keniscayaan. Namun, secara umum, pandemi ini tak boleh berkepanjangan. Biaya yang harus dibayar akan terlalu besar oleh tatanan ekonomi global yang saat sebelumnya sudah dibuat susah oleh perang dagang Amerika – Tiongkok.

Perekonomian Indonesia pun akan mengalami demam batuk-pilek bila wabah virus itu berkepanjangan. Setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir, ekspor nonmigas  terbesar Indonesia adalah ke Tiongkok, baru kemudian Amerika, Jepang, Singapura, India, dan seterusnya.

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor : Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini