Jika selama ini investor yang mau menanamkan modal harus memakan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun, sepertinya tak lama lagi hal itu akan menjadi kisah usang belaka. Kelak, investor tak perlu mondar-mandir untuk mengurus izin usaha. Mereka cukup datang ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mendapatkan izin usaha.
Cerita pilu para calon investor itu mendapat respons serius dari Pemerintahan Joko Widodo, di periode kedua ini. Presiden Joko Widodo telah berulangkali menyatakan akan menghapus banyaknya regulasi yang menghambat investasi di Indonesia, mulai dari pidato pertamanya sebagai Presiden RI periode 2019-2024, hingga saat Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024, di Istana Negara,.
Saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, 24 November 2019, Presiden Jokowi mengatakan, "Gol besar pekerjaan kita adalah menciptakan lapangan kerja. Karena ini yang dibutuhkan, yang diinginkan oleh masyarakat."
Jokowi juga menekankan, jangan sampai ada kementerian yang tidak paham mengenai prioritas pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. Begitu juga pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Semua diminta memahami soal ini.
Presiden Jokowi mengatakan, salah satu tujuan besar pemerintah adalah penciptaan lapangan kerja. Sebab, masih ada sekitar tujuh juta orang pengangguran di Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan menjadi 5,34% di Agustus 2019 dari level sebelumnya 5,28% di Agustus 2018. Berdasarkan laporan yang dirilis kemarin, tercatat dari 133,56 juta orang angkatan kerja sebanyak 126,51 juta orang bekerja dan 7,05 juta orang menganggur.
Oleh sebab itu, untuk setiap hal yang berkaitan dengan cipta kerja, Presiden meminta jajarannya memberikan ruang dan pelayanan sebaik-baiknya. Jokowi selalu mengingatkan agar aturan di tingkat undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan daerah yang berbelit-belit harus dipangkas.
Itulah cikal-bakal pemikiran pentingnya omnibus law, untuk mengatasi kendala tidak tumbuhnya investasi di Indonesia. Omnibus law adalah aturan yang kedudukannya sama dengan UU dan bertujuan untuk mensimplifikasi UU lainnya, artinya aturan yang diatur dalam banyak UU dihapus dan kemudian diatur hanya dalam satu UU. Konsep omnibus law sebenarnya sudah cukup lama, di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.
Perlu diketahui, di Indonesia banyak peraturan perundangan yang masih disharmoni, tidak efisien, serta perizinan yang berbelit. Data Kemenkumham per 23 Januari 2020 mencatat terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang tumpang-tindih. Misalnya, untuk berbisnis di sektor migas harus melalui lebih dari 200 perizinan. Izin Amdal saja prosesnya bisa memakan waktu sekitar 1-2 tahun.
Sengkarut regulasi itu menimbulkan dampak serius. Ia bisa memicu lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta. Di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke-73 dari 190 negara.
Dalam laporan di tahun 2019 ini, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96. Dari 10 indikator yang dinilai Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang. Yaitu dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across borders, dan enforcing contracts.
Investasi asing (FDI) dipandang merupakan obat mujarab bagi Indonesia agar bertahan di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian ekonomi global. Dan juga, karena ada relokasi investor asing dari Indonesia ke negara Asia Tenggara lain, terutama Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Diketahui, investasi yang keluar dari Indonesia itu mengakibatkan pengangguran meningkat dan konsumsi rumah tangga menurun, sehingga berimbas pada melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Data dari BKPM (2019), realisasi investasi dalam negeri dan investasi asing sebesar Rp200,5 triliun dengan komposisi PMA sebesar Rp104,9 triliun (52,3%) dan PMDN 95,6 triliun (47,7%) pada Triwulan II tahun 2019. Sektor yang menjadi primadona untuk PMA adalah listrik, gas, dan air dengan nilai investasi sebesar USD1.350,5 juta.
Sementara itu sektor industri di tahun 2016 mampu menyerap sebesar 15,8 juta tenaga kerja, tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 10% yaitu di angka 17,4 juta tenaga kerja. Tahun 2018 sebesar 18,1 juta tenaga kerja dengan nilai investasi tahun 2018 mencapai Rp361,6 triliun.
Kini Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat telah memasukkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020.
Ketua satuan tugas Omnibus Law Cipta Kerja dan UMKM Rosan Roeslani mengatakan, tujuan utama rancangan aturan lapangan kerja dan UMKM adalah untuk menciptakan lapangan kerja dengan membangun iklim investasi yang sehat, industri yang kuat, dan mendorong partisipasi UMKM.
RUU tentang Cipta Kerja itu akan membahas aturan yang berkaitan dengan 30 Kementerian/Lembaga (K/L). RUU ini akan membongkar sebanyak 79 UU dan 1.228 pasal. Ada sembilan aspek yang menjadi substansi dalam rancangan undang-undang omnibus law itu. Yakni, penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi (menghapus pidana), pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.
Kesembilan aspek tersebut menjadi pokok usulan yang diharapkan memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang besar dengan harapan mampu mengurangi jumlah angka pengangguran terbuka. Jokowi pernah menyebut ada 7 juta pengangguran atau sebesar 6,82 juta jiwa (data BPS 2019).
RUU lain yang juga untuk mempermudah investasi adalah RUU omnibus law tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dan RUU omnibus law tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini