Indonesia.go.id - Masih Berharap Anak Singa Jadi Jinak

Masih Berharap Anak Singa Jadi Jinak

  • Administrator
  • Selasa, 3 Maret 2020 | 04:28 WIB
PENANGGULANGAN TERORISME
   Seorang anak pejuang ISIS yang menikah dengan pejuang ISIS, berdiri di kamp al-Roj, Suriah, 10 Januari 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Goran Tomasevic

Tak hanya melatih fisik, ISIS juga melakukan indoktrinasi pada anak sejak usia dini. Kurikulum-kurikulum sekolah disesaki gambar dan kosa kata kekerasan.

Berseragam ala militer, puluhan anak laki-laki dan perempuan berkumpul di sebuah tempat lapang. Menggunakan penutup kepala dan wajah, anak-anak usia 8 sampai 16 tahun itu berbaris rapi.

Tak lama berselang ada sebuah komando. Mereka diminta melompati lubang, lalu bergelayut pada papan yang sudah disiapkan. Setelah itu mereka kembali berbaris dan diminta memegang senjata masing-masing. Dalam video yang ditayangkan CBS News itu sang komandan meminta mereka tiarap. Terdengar komando agar mereka menembak sasaran yang telah disiapkan. Dar....der....dor.

Usai berlatih, mereka masuk ke barak. Di barak itu mereka juga digembleng. Mereka dilatih gulat, push up, dan latihan fisik lainnya. Latihan itu dilakukan terus-menerus.

Di video propanda lain yang disebar ISIS, mereka terlihat sengaja mengajak seorang anak perempuan yang masih imut, mungkin berusia 3-4 tahun, ikut berkumpul dengan anak-anak lain yang usianya lebih dewasa. Mengenakan penutup kepala loreng si anak itu berjalan sambil memegang senjata. Wajahnya polos.

Ada lagi tayangan propaganda yang lebih sadis. Dalam tayangan itu seorang anak perempuan yang usianya berkisar 12 tahunan diajak kombatan dewasa ke sebuah tempat. Di tempat itu, sudah ada dua tawanan dengan mata tertutup dan jongkok. Dalam video propaganda yang ditayangkan MSNBC sang kombatan meminta si anak yang memegang pistol untuk mengeksekusi tawanan itu.

ISIS memang gencar merekrut anak-anak. Mereka dilatih ala militer secara ketat. Mereka memang disiapkan untuk menjadi "calon anak singa" yang siap menerkam mereka yang tak sejalan dengan ISIS.

BBC sempat menemui seorang anak Suriah yang pernah bergabung dengan jihadis ISIS. Mutassim namanya. Usianya 16 tahun. Awalnya ia tertarik bergabung karena dijanjikan kenikmatan syurgawi dan duniawi. Jika ISIS berkuasa, katanya, sekolah gratis, hidup sejahtera, dan boleh kawin di usia muda. 

Ia tergiur. Saat bergabung, Mutassim bercerita, ia diwajibkan ikut latihan militer selama 15 hari, ada juga yang lebih panjang. Pelatihnya militer asal Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan.

Di kamp, latihan dimulai subuh. Diawali dengan salat subuh, lalu mereka dilatih fisik dan militer. Usai latihan mereka diminta belajar syariah Islam.

Sebagai bagian dari latihan, pejihad anak ini dilatih berlari di atas ban yang dibakar atau merangkak di bawah kawat berduri sementara tembakan berdesingan di atas kepala mereka.

Pernah suatu ketika, saat latihan seorang rekannya tertembak kepalanya dan mati. Kejadian itu ia saksikan di depan matanya sendiri. Peristiwa kekerasan lain seperti pemancungan atau eksekusi hukuman mati juga menjadi pengalaman yang selalu membekas di pikiran Mustassim. Pengalaman yang amat buruk dan meninggalkan luka psikologis bagi anak seperti Mustassim.

Janji yang pernah ia dengar rupanya hanya janji. Ia pun muak dengan segala tipu daya itu. Akhirnya, setelah beberapa tahun bergabung, Mutassim memutuskan hengkang dari Suriah. Dengan segala upaya ia berusaha kabur dari Suriah. Akhirnya, ia sampai di Jerman.

Masuk Kurikulum

Tak hanya menanamkan kekerasan melalui latihan perang, ISIS juga telah merasuki pikiran anak-anak itu sejak di bangku sekolah. Dalam laporan yang ditayangkan CBS News terungkap bagaimana mereka memasukkan kosa kata kekerasan itu dalam kurikulum sekolah.

Dalam sebuah buku pelajaran matematika, misalnya, mereka memperkenalkan penjumlahan dengan gambar senjata. Juga bagaimana mereka memperkenalkan waktu (jam). Di pelajaran tentang waktu, mereka gambarkan dengan bom yang ada timernya.

Di pelajaran bahasa Inggris juga demikian. Dalam buku pelajaran itu seorang murid diminta melengkapi kalimat. Bunyinya begini, I can shoot 17 years, and you...

Mengutip BBC, kementerian pendidikan di bawah ISIS menginstruksikan para guru untuk menanamkan 'pendidikan kasih sayang' dengan merujuk kebajikan dari nabi seperti 'memaafkan, kesabaran, keberanian, kekuatan, bersandar pada Allah dan seruan berjihad atas nama Allah.'

Selain itu, mereka juga didesak untuk mengobarkan semangat melalui puisi kuat yang meneror musuh-musuh Islam. Anak-anak itu belajar puisi yang sederhana yang memuja jihad dan kematian demi Allah.

Yang lebih ekstrim, kementerian juga melarang pelajaran musik, pelajaran tata negara, sejarah, olahraga dan materi pelajaran Islam yang disusun pemerintah Suriah. Semua pelajaran itu diganti dengan doktrin tentang syariah Islam.

Semua doktrin itu diberikan setahun setelah ISIS menguasai Mosul pada Juli 2014. "Mereka mulai dengan serius pada musim gugur 2014, Diwan (Kementerian Pendidikan) merekrut para ahli yang setia dan sejalan ideologinya sepanjang musim panas," kata Yousef, seorang guru yang mengalami masa-masa itu, kepada BBC.

Kurikulum ISIS itu diluncurkan pada tahun pelajaran 2015-2016. Anak-anak yang usia lima tahun sudah diwajibkan bersekolah. Di sekolah mereka mendapat 12 subyek pelajaran. Di sekolah itu semua doktrin jihad mulai ditanamkan. Mereka diajari bahwa semua orang di luar kekhalifahan sebagai musuh.

Musuh yang mereka bangun itu adalah orang Rawafidh (Syi'ah), Murtadin (orang-orang murtad, orang Sunni yang tidak mengikuti doktrin ISIS), orang-orang Safawi (Iran), Tentara Salib (Barat), Aliansi Yudeo-Kristen (Tentara koalisi di Suriah dan Irak), PBB, dan toghut (penguasa yang tidak mengikuti syariah).

Menelan Pil Pahit

ISIS kini telah ambruk. Sejumlah kombatannya ada yang melarikan tapi banyak juga yang mendekam di tahanan. Termasuk kombatan asal Indonesia. Mereka hidup di sel-sel. Anak-anak dan istri mereka hidup di pengungsian.

Sejumlah anggota kombatan asal Indonesia yang dulu hijrah ingin ikut membangun kekhalifahan harus menelan pahit. Semua yang dijanjikan pemerintahan ISIS hanya omong kosong. Para istri kombatan asal Indonesia dan anaknya, menghuni sejumlah kamp pengungsian.

Pemerintah Indonesia sudah menutup pintu bagi mereka, kecuali bagi anak-anaknya. Itu pun masih bersyarat. Pemerintah memutuskan akan menerima anak yang yatim piatu yang usianya di bawah 10 tahun.

Menurut Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD saat ini pemerintah sedang mendata berapa jumlah anak-anak itu. Pendataan dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selesai didata, pemerintah berencana menampung mereka.

Tentu tak sekadar menampung, pemerintah juga perlu 'mencuci' otak mereka. Bagaimanapun, mereka pernah berada di lokasi yang riuh dengan kekerasan dan mungkin juga pernah didoktrin anggota keluarganya.

 

Penulis: Fajar WH
Editor: Eri Sutrisno/Ratna Nuraini