Indonesia.go.id - Menata Langkah, Menahan Ancaman Resesi

Menata Langkah, Menahan Ancaman Resesi

  • Administrator
  • Jumat, 13 Maret 2020 | 02:09 WIB
COVID-19
  Aktivitas bongkar muat peti kemas di Dermaga Terminal Teluk Lamong Perairan Surabaya, Jawa Timur. Delapan paket dikeluarkan pemerintah untuk mengantisipasi dampak Covid-19 pada sektor ekonomi, khususnya pada sektor ekspor dan impor. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global. Bukan hanya mengancam kesehatan warga bangsa, tapi juga momok bagi sektor lainnya.

Hingga Kamis (12/3/2020), sebanyak 34 orang di negeri ini dinyatakan terinfeksi virus mutan corona, SARS COV-2, yang mengakibatkan orang mengidap Covid-19. Tiga orang berhasil sembuh.  Namun satu diantaranya meninggal dunia

Pemerintah terus mengibarkan bendera perang terhadap virus itu melalui pendekatan kesehatan. Namun tak hanya di satu sisi, Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang bersifat kontingensial untuk mengantisipasi dampak pandemi. 

Salah satunya, pemerintah menyiapkan terobosan di bidang ekonomi untuk menghadapi dampak serangan virus yang telah menginfeksi setidaknya 124.908 warga di sejumlah belahan dunia. Sebagaimana disampaikan langsung Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada awal Maret, terobosan yang bersifat kontingensial itu berupa delapan paket kebijakan baru di sektor ekonomi.

Paket kebijakan tersebut berupa kemudahan perizinan dalam ekspor dan impor barang. Kemudahan tersebut diintegrasikan dengan sejumlah kementerian/lembaga seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan dan Bea Cukai.

"Tujuannya agar dokumentasi ekspor lebih standar," kata Airlangga di Hotel Borobudur Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020).

Dibeberkan lebih jauh oleh Airlangga, pemerintah berharap perizinan yang membutuhkan sertifikat khusus seperti Sertifikat Keterangan Asal (SKA) atau health sertificate bisa dikeluarkan langsung di titik-titik ekspor. Hal itu agar, sambung dia, tidak bolak-balik mengurus izin.

Airlangga juga mengatakan, kelak delapan paket kebijakan itu akan dibagi menjadi dua. Yakni, kebijakan fiskal dan kebijakan prosedural. Di mana terkait fiskal, pemerintah akan menyediakan dana Rp10,3 triliun di sektor pariwisata.

Sedangkan untuk kebijakan prosedural, Airlangga mengatakan, akan kembali mendorong spending langsung tambahan. "Targetnya lebih dari yang pertama (di atas Rp10 triliun)," tuturnya.

Aturan ini, menurut Airlangga, akan tertuang dalam kebijakan menteri berupa peraturan menteri atau setingkat itu. Ihwal upaya percepatan proses impor, dia melanjutkan, salah satunya dengan mengurangi treatment pemeriksaan apapun bagi importir yang memiliki reputasi tinggi. Harapannya, prosesnya menjadi lebih cepat.

Setidaknya, kini terpetakan, ada 500 reputable importir yang memiliki risiko rendah. Mereka itulah yang kelak difasilitasi pemerintah dengan kebijakan ini.

Terkait standardisasi, Airlangga mengatakan, akan dirumuskan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bea Cukai. Demikian pula, kata dia, dengan jenis impor bahan baku.

"Yang kita dorong kan stimulus pendorong ekspor dan juga untuk mengganjal kebutuhan di dalam negeri," kata Airlangga.

Kendati sudah memberi gambaran, Airlangga belum berkenan mempublikasikan secara rinci kebijakan tersebut. Dia hanya berjanji, setelah pembahasan usai dilakukan, publikasi kebijakan segera dilakukan.

 

Mendera Banyak Sektor

Rencana antisipatif di bidang ekonomi yang disusun pemerintah boleh jadi sangat tepat. Pasalnya merujuk pada perkembangan dampak terkini Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyatakan kondisi itu sebagai pandemi.

Pandemi diartikan sebagai wabah penyakit yang terjadi pada geografis yang luas atau menyebar secara global. Menurut WHO, pandemi tidak ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, jumlah korban atau infeksi, namun pada penyebaran geografisnya.

"Yang terjadi kini bukan hanya krisis terhadap kesehatan masyarakat. Ini adalah krisis yang akan menyentuh setiap sektor," kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, pada konferensi pers, Rabu (11/3/2020).

Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menyebutkan dalam dua minggu terakhir, jumlah kasus di luar Tiongkok telah meningkat tiga belas kali lipat dan jumlah negara yang terkena dampak telah meningkat drastis. Sehingga tidak tertutup kemungkinan, pada pekan setelahnya, angka penularan dan kematian akan jauh lebih tinggi.

Lebih jauh Tedros mengatakan, beberapa negara memang telah menunjukkan kemampuan untuk menekan dan mengendalikan wabah. Namun dia masih menaruh kecemasan terhadap kondisi di beberapa negara lain yang dinilai gagal bertindak cukup cepat dalam menahan penyebaran.

"Kami sangat prihatin dengan tingkat penyebaran dan keparahan yang mengkhawatirkan, dan oleh tingkat kelambanan (penanganan-red) yang mengkhawatirkan," katanya, sebelum menyatakan pandemi. "Kami telah membunyikan bel alarm dengan keras dan jelas."

Diketahui, klasifikasi pandemi dikeluarkan saat kasus penularan penyakit lebih besar dari yang diperkirakan dan telah menginfeksi banyak orang di seluruh dunia serta mempengaruhi berbagai aspek, bukan hanya dari segi kesehatan. Penyakit yang juga pernah dinyatakan sebagai pandemi adalah H1N1, tuberkulosis, dan HIV.

 

Menghalau Resesi

Di tengah ancaman pandemi, bayang-bayang resesi memang menghantui sejumlah negara dunia. Utamanya, negara-negara yang menjadi mitra dagang utama bagi Tiongkok.

Pelemahan ekonomi Tiongkok, pascahantaman virus yang merebak pertama kali di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, pada penghujung Desember, dan hingga kini telah menginfeksi 80.932 orang di Tiongkok, sangat mungkin berpengaruh negatif terhadap perekonomian dunia. Mengingat, signifikansi kontribusi Tiongkok terhadap PDB global yang mencapai 16-17%.

Itulah sebabnya, seperti halnya Pemerintah Indonesia sejumlah langkah kontingensial juga diambil pemerintah sejumlah negara. Pemerintah Korea Selatan adalah salah satunya.

Setelah Presiden Moon Jae-In mengumumkan negaranya berada dalam kondisi darurat ekonomi, pada Selasa (18/2/2020), dia meminta para pembantunya menyiapkan kebijakan ekonomi khusus untuk mengatasi dampak virus corona.

"Untuk merespons kondisi darurat ekonomi, saya ingin Anda mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melampaui ekspektasi dan tidak ada batasan untuk kebijakan tersebut," kata Moon, seperti dilaporkan Kantor Berita Yonhap.

Diketahui, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor utama bagi Korsel. Data UN Comtrade menunjukkan, nilai ekspor Korsel ke Tiongkok pada 2018 mencapai USD 162,12 miliar atau 27% dari total ekspor. Sedangkan nilai impor negeri ginseng dari Tiongkok mencapai USD106,49 miliar.

Potensi persoalan juga mengancam sektor pariwisata Korsel karena Tiongkok memegang peranan cukup penting di negara itu. Sepanjang 2019, turis Tiongkok menyumbang 5,5 juta kunjungan atau 34,4% dari total kunjungan wisatawan asing ke Korsel.

Lebih serius dari Korsel, dampak Covid-19 bahkan mengancam dua negara Asia lain. Di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal IV 2019 yang anjlok ke minus 1,6%, penyebaran virus corona membuat Jepang kehilangan harapan untuk memulihkan perekonomiannya di kuartal I 2020. "Resesi kini tak terhindarkan," kata Kepala Ekonom dan Riset Asia Pasifik di ING, Robert Carnell, Senin (17/2/2020).

Bahkan stimulus ekonomi senilai USD120 miliar yang dikucurkan otoritas negeri itu pada Desember lalu tak mampu menahan dampak virus corona. Data terkini menunjukkan, Jepang mencatat ada 581 kasus infeksi virus corona, termasuk kasus yang menimpa penumpang kapal pesiar Diamond Princess yang bersandar di Yokohama.

Di bidang perdagangan, Tiongkok diketahui merupakan negara tujuan ekspor utama bagi Jepang dengan nilai USD144,05 miliar pada 2018. Angka tersebut menunjukkan 19,5% dari total nilai ekspornya. Sedangkan, nilai impor Jepang dari Tiongkok mencapai USD173,61 miliar.

Lebih dari itu, ancaman juga mengadang Jepang di sektor pariwisata. Betapa tidak, Tiongkok merupakan kontributor terbesar untuk sektor pariwisata Jepang. Lantas bagaimana dengan Singapura? Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyebut dampak virus corona sangat signifikan. "Dampaknya akan dirasakan setidaknya dalam dua kuartal ke depan," kata Lee.

Prospek ekonomi Singapura melemah sejak review terakhir dilakukan. “Sebagian karena penyebaran covid-19 yang diprediksi berdampak terhadap ekonomi," kata Sekretaris Tetap Kementerian Perdagangan Singapura, Gabriel Lim, Selasa (18/2/2020).

Dampak penyebaran virus corona akan dirasakan di sektor manufaktur, perdagangan, pariwisata, transportasi, retail, serta makanan dan minuman. Jumlah penerbangan di Bandara Changi turun hingga sepertiganya sejak negara tersebut melarang masuknya pendatang dari Tiongkok. Padahal, selama ini Tiongkok menjadi penyumbang terbesar di sektor pariwisata.

Itulah sebabnya, Pemerintah Singapura menyiapkan paket stimulus senilai USD4,57 miliar untuk menopang perekonomian dari dampak negatif virus corona. Di sektor kesehatan, pemerintah menyediakan dana sebesar USD575 juta. Stimulus lainnya akan dialokasikan untuk dunia usaha, penambahan lapangan kerja, dan rumah tangga dengan total nilai USD4 miliar.

Persoalannya, berbagai kebijakan ekonomi ini akan membuat defisit anggaran Singapura tahun ini membengkak menjadi SIN$10,9 miliar atau 2,1% dari PDB. Ini merupakan defisit anggaran terbesar sejak 2005.

 

Tak Hanya Asia

Bukan hanya di Asia. Negara-negara Uni Eropa pun tak luput dari dampak ekonomi virus corona. Jerman yang merupakan perekonomian terbesar di Zona Euro mengalami stagnasi pada kuartal IV 2019. Di antara sejumlah faktor yang menyebabkan pelemahan ekonomi raksasa Eropa itu, penyebaran virus corona menambah kompleksitas masalah yang dihadapi Jerman.

"Dampak virus corona terhadap rantai pasokan global akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi zona euro dan Jerman meredup dalam jangka pendek," kata Ekonom Oxford Economics, Rosie Colthorpe.  

Negara lain yang potensial terseret ke dalam resesi tahun ini akibat Covid-19 adalah Italia. "Epidemi virus corona akan berdampak besar pada perekonomian Italia dan mendorongnya ke arah resesi," kata Nomura, perusahaan induk keuangan Jepang.

Tahun lalu, perekonomian Italia minus 0,1% atau jauh di bawah prediksi pemerintah sebesar 0,6%. Dalam skenario terburuk, ekonomi Italia tahun ini diperkirakan bisa minus 0,9%.

Persoalannya, hingga Rabu (12/3/2020), Italia masih menduduki urutan negara kedua terbanyak dengan jumlah infeksi Covid-19 mencapai angka 12.462 kasus. Dari jumlah itu, kematian dialami oleh 827 penderitanya.

Pemerintah Italia sendiri telah mengambil kebijakan kontingensial. Yakni, melakukan lockdown atau menutup akses seantero Negeri Menara Pisa itu demi mencegah sebaran virus mutan corona. Kebijakan ini berlangsung mulai 10 Maret hingga 3 April, usai diumumkan Perdana Menteri Giuseppe Conte, pada Senin 9 Maret sore waktu setempat.

Semua restoran, kafe, dan kegiatan wisata wajib tutup pada sore hari. Sekolah dan universitas juga diliburkan. Untuk mempromosikan kebijakan ini, Pemerintah Italia mengeluarkan slogan aya Tetap di Rumah'. "Kebiasaan kita perlu diubah. Mereka sekarang diubah," kata Conte.
 

Penulis: Ratna Nuraini
Editor : Eri Sutrisno/Elvira