Achmad Yurianto punya kesibukan baru. Hampir 10 hari ini dia harus mondar-mandir dari kantornya di Kementerian Kesehatan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, ke Kantor Staf Presiden, di Jalan Veteran, Jakarta Pusat.
Setiap hari ia juga harus melakukan koordinasi dengan daerah dan rumah sakit yang menangani pasien suspect Covid-19. Sejak Selasa (3/3/2020), pemerintah menunjuk Yurianto sebagai juru bicara (jubir) untuk penanganan penyakit akibat virus SARS COV-2 itu.
Penunjukan ini dilakukan sehari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua warga Indonesia yang positif terkena virus Covid-19. Pasca pengumuman, informasi yang beredar sempat simpang siur. Awalnya, dua warga Depok yang disebut positif terinfeksi itu disebut tertular di Depok, Jawa Barat. Namun ada juga yang menyebut, mereka tertular di sebuah restoran di Jakarta.
Di media sosial dan grup-grup media komunikasi whatsApp sejumlah orang sempat memposting alamat detil dua orang yang disebut positif terinfeksi itu. Masyarakat yang tinggal satu kompleks dengan dua orang itu pun waswas.
Tak butuh waktu lama, masyarakat lainnya juga mulai menyerbu sejumlah pusat perbelanjaan. Mereka memborong bahan-bahan kebutuhan pokok. Sepertinya mereka khawatir jika sewaktu-waktu pemerintah mengisolasi daerah yang warganya dinyatakan positif terjangkit virus tersebut.
Penulis buku The Heart of the Enlightened: A Book of Story Meditations (Glasgow: Fount Paperbacks, 1997), Anthony de Mello, pernah mengingatkan akan pentingnya membuat rasa tenang masyarakat.
Kata dia, wabah penyakit bisa menelan banyak korban jika terjadi ketakutan di masyarakat. Ia mengilustrasikan begini. Jika di suatu daerah ada orang berjumlah 5.000, bisa jadi seribu orang menjadi korban karena sakit, sedangkan 4.000 orang menjadi korban karena panik.
Menyadari potensi terjadinya kesimpangsiuran informasi itu, tentu kita sangat mengapresiasi keputusan pemerintah menunjuk satu jubir untuk menyampaikan informasi terkait penanganan pandemi.
Harapannya tentu, Achmad Yurianto bisa memutakhirkan segala informasi yang sahih seputar Covid-19 sebagai rujukan publik.
Sejak ditunjuk sebagai jubir untuk penanganan penyakit tersebut, minimal sehari dua kali ia menyampaikan perkembangan terkini melalui jumpa pers di Media Center Covid-19 yang berlokasi di Kantor Staf Presiden. Saluran-saluran informasi juga dibuka seperti hotline center.
Adanya informasi satu pintu setidaknya sedikit bisa menenangkan warga. Masyarakat yang semula panik, waswas mulai menemukan pegangan informasi yang akurat.
Tak hanya menunjuk jubir, pada 6 Maret lalu, pemerintah mempublikasikan protokol utama sebagai pedoman penanganan penyebaran Covid-19.
Protokol ini terdiri dari lima bagian: Protokol Kesehatan; Protokol Komunikasi; Protokol Pengawasan Perbatasan; Protokol Area Pendidikan; dan Protokol Area Publik dan Transportasi. Kelima protokol ini akan jadi panduan bagi seluruh daerah dalam mencegah penyebaran virus.
Pada Protokol Kesehatan, misalnya, pemerintah menetapkan suhu badan lebih dari 38 derajat celcius sebagai patokan waspada. Sedangkan Protokol Pendidikan menginstruksikan agar warga sekolah untuk menghindari kontak fisik (cium tangan dan salaman, misalnya).
Untuk Protokol Komunikasi, selain menunjuk juru bicara hingga tingkat kabupatan/kota, juga menginformasikan jumlah dan sebaran orang dalam risiko (ODR), orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), pasien yang dinyatakan sehat, jumlah dan sebaran spesimen yang diambil.
"Protokol ini merupakan perwujudan dari pemerintah hadir dan siap menanggapi persoalan Covid-19 ini,” kata Sekjen Kementerian Kesehatan Oscar Primadi.
Tentu, pemerintah tak bisa bekerja sendiri, keterlibatan masyarakat juga dibutuhkan agar penanganan pandemi Covid-19 bisa efektif. Adanya wabah ini sekaligus bisa menjadi momentum untuk bergandengan tangan seluruh komponen bangsa ini agar segera terbebas dari wabah tersebut.
Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto/Ratna Nuraini/Elvira