Indonesia.go.id - Sektor Manufaktur Ikut Nikmati Stimulus Fiskal

Sektor Manufaktur Ikut Nikmati Stimulus Fiskal

  • Administrator
  • Minggu, 15 Maret 2020 | 18:24 WIB
INDUSTRI UNGGULAN
  Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kiri) berbincang bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kiri), Menteri Perdagangan Agus Suparmanto (kedua kanan) dan Ketua OJK Wimboh Santoso (kanan) usai memberikan keterangan kepada media tentang Stimulus Kedua Penanganan Dampak Covid-19 di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020). Dalam keterangannya untuk penanganan COVID-19, Pemerintah akan memberikan fasilitas pembebasan biaya impor untuk penelitian dan pengembangan pembuatan obat anti virus COVID-19 baik untuk Perguruan Tinggi maupun lembaga pemerintah dan lainnya. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Stimulus ini berfungsi untuk memberikan ruang cashflow bagi 19 industri terdampak dalam dan juga sebagai kompensasi switching cost pemindahan negara asal impor.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap kinerja neraca dagang Indonesia cukup signifikan, bahkan disebut sektor itu telah memperkuat struktur perekonomian nasional. Di bawah komando Agus Gumiwang Kartasasmita, industri manufaktur pun dipatok bisa tumbuh 5,3% pada 2020.

Sayangnya, badai pun datang tak dapat ditolak. Pandemi Covid-19—awalnya dari Wuhan, Tiongkok--mewabah ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dunia panik, ekonomi dunia guncang, segala proyeksi ekonomi yang begitu optimistis pun porak-poranda. Mereka harus mengkalkulasi ulang proyeksinya.

Indonesia sebagai bagian dari ekonomi dunia pun tidak bisa menolak dampak dari wabah Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengakui wabah virus itu juga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Prediksinya bisa turun 0,3%-0,6%. Asumsi itu muncul bila pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun hingga 1% pada tahun ini.

Tidak mau berlarut, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal atau disebut Paket Stimulus jilid II yang diberikan dalam rangka menangkal dampak wabah virus corona mutan tersebut.

Dalam stimulus gelombang dua ini, nilai insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah diklaim mencapai Rp22,9 triliun yang bersumber dari relaksasi empat jenis pajak yakni PPh 21, PPh 22 Impor, PPh Badan, dan restitusi PPN.

Berkaitan dengan stimulus itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerangkan PPh 21 untuk pekerja di seluruh sektor manufaktur dengan penghasilan di bawah Rp200 juta bakal ditanggung oleh pemerintah terhitung sejak April hingga September 2020. Nilainya diproyeksikan mencapai Rp8,6 triliun.

"Nilainya estimasi Rp8,6 triliun berdasarkan estimasi kinerja manufaktur tahun lalu, harapannya bisa meningkatkan daya beli. Ini untuk seluruh sektor manufaktur," ujar Sri Mulyani, Jumat (13/3/2020).

Selanjutnya, pemerintah juga menunda penarikan pajak PPh 22 Impor untuk 19 sektor manufaktur dan termasuk WP KITE (Wajib Pajak Kemudahan Impor Tujuan Ekspor) dan WP KITE IKM (Industri Kecil Menengah). Penundaan penarikan PPh 22 Impor berlaku selama 6 bulan.

Sri Mulyani menerangkan, itu berfungsi untuk memberikan ruang cashflow bagi 19 industri terdampak dalam dan juga sebagai kompensasi switching cost pemindahan negara asal impor.

Selain itu, pemerintah memberikan stimulus dengan memangkas tarif PPh Badan sebesar 30% selama 6 bulan terhitung pada April hingga September atas 19 sektor industri terdampak serta WP KITE dan WP KITE IKM.

Terakhir, pemerintah juga memberikan relaksasi dalam restitusi PPN bagi 19 sektor manufaktur, WP KITE, dan WP KITE IKM selama 6 bulan. Bagi eksportir, jumlah PPN yang bisa direstitusi tidak dibatasi dan tidak perlu melewati proses audit, sedangkan untuk noneksportir nilai restitusi PPN dibatasi hingga Rp5 miliar.

Total stimulus bernilai Rp158,2 triliun. Bahkan, pemerintah membuka peluang untuk memberikan stimulus lanjutan di tengah pandemi Covid-19.

Wajar saja, pemerintah sangat memberikan perhatian yang khusus terhadap industri manufaktur. Bayangkan sepanjang 2019, sektor industri memberikan kontribusi terbesar hingga tembus USD126,57 miliar atau 75,5% dari capaian nilai ekspor nasional.

Dari sekian industri, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, ada lima sektor industri pengolahan nonmigas yang mencatatkan nilai ekspornya paling besar pada 2019, yakni industri makanan dan minuman yang mampu menembus hingga USD27,28 miliar. Kemudian, industri logam dasar sebesar USD17,37 miliar, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai USD12,90 miliar.

Selanjutnya, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (USD12,65 miliar), serta industri barang dari logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik (USD11,91 miliar),

“Pada Januari 2020, nilai ekspor produk industri mencapai USD10,52 miliar atau berkontribusi sebesar 78,45% dari total nilai ekspor nasional sebesar US$13,41 miliar,” ungkap Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita.

Nilai ekspor terbesar diberikan industri makanan dan minuman (USD2,10 miliar), industri logam dasar (USD1,74 miliar) serta industri tekstil dan pakaian jadi (USD1,08 miliar).

 

Beri Kemudahan

Persoalannya, sejumlah industri manufaktur itu sangat tergantung juga terhadap bahan baku impor. Inilah yang melatarbelakangi pemerintah memberikan beberapa kelonggaran untuk memberikan kemudahan bagi dunia usaha yang membutuhkan bahan baku impor.

Pasalnya, saat ini kebutuhan bahan baku untuk para pelaku industri tengah terbatas akibat pasokan dari Tiongkok yang terhenti sejak wabah virus corona merebak awal tahun.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, untuk mengurangi beban pelaku industri, pemerintah membebaskan penarikan PPh 22 impor (bea masuk impor bahan baku) terhadap 19 sektor manufaktur. Stimulus itu tak hanya untuk impor bahan baku dari Tiongkok, melainkan juga dari negara lain.

Ke-19 sektor manufaktur yang mendapat relaksasi untuk impor bahan baku, yakni industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, industri alat angkutan lainnya, industri makanan, industri logam dasar, industri kertas dan barang dari kertas, industri minuman, industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional, serta industri kendaraan bermotor, trailer, dan semitrailer.

Berikutnya, industri karet, barang dari karet, dan plastik, industri barang galian bukan logam, industri pakaian jadi, industri peralatan listrik, industri tekstil, industri mesin dan perlengkapan YTDL, industri barang logam, bukan mesin, dan peralatannya, industri percetakan dan reproduksi media rekaman, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki, industri furnitur, serta industri komputer, barang elektronik, dan listrik.

Khusus berkaitan bahan baku, menurut data Kementerian Perindustrian, sebanyak 30% impor bahan baku industri di Indonesia berasal dari Tiongkok. Namun, sejak Covid-19 merebak industri manufaktur di Tiongkok pun terganggu, negara mitra dagang utama seperti Indonesia harus mencari sumber bahan baku lain.

“Saat ini harga bahan baku untuk beberapa sektor industri sudah mulai tinggi akibat mandegnya kegiatan manufaktur di Tiongkok. Hal ini tentu membebani industri di dalam negeri,” tutur Agus.

Wajar saja, pemerintah berupaya untuk menekan disrupsi terhadap proses produksi, distribusi, dan rantai pasok pada sektor industri manufaktur di dalam negeri akibat dampak Covid-19.

Kebijakan stimulus merupakan langkah strategis yang sudah cukup baik dilakukan pemerintah. Tujuannya menjaga ketersediaan bahan baku agar industri manufaktur dapat terus beroperasi secara berkelanjutan. Caranya mencari negara-negara alternatif pemasok bahan baku.

Kita juga memaklumi pelaku industri pun tidak mudah untuk mencari alternatif sumber bahan baku industri, yang membuat harga menjadi naik dan diperebutkan oleh industri-industri dari negara lain yang membutuhkan.

Namun, di tengah-tengah keterbatasan berupa ekonomi yang sulit pascamewabahnya Covid-19, kondisi ini bisa menjadi momentum untuk bangkit dan berdikari menyediakannya bahan baku itu bagi kepentingan industri di dalam negeri.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur Bahasa: Eri Sutrisno/Ratna Nuraini