Pada laporan World Economic Forum (WEF) 2019, daya saing Indonesia di peringkat 50 dari 141 negara di dunia. Skor indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/ GCI) tercatat 64,6 dari skala 0-100. Ada beberapa komponen GCI Indonesia merosot. Komponen tertinggi dari penurunan GCI adalah adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi 55,4.
Penurunan selanjutnya terdapat pada komponen kesehatan sebesar 0,9 poin menjadi 70,8. Komponen lain yang juga menurun terdapat pada pasar produk sebesar 0,3 poin, serta keterampilan dan pasar tenaga kerja sebesar 0,1 poin.
Sedangkan komponen lainnya yang mencetak paling tinggi terdapat pada infrastruktur yaitu sebesar 67,7, naik 0,9 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 66,8. Peringkat ini membuat daya saing Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang berada di peringkat pertama dengan skor 84,8 poin.
Singapura unggul di 103 indikator utama. Mulai dari inflasi, keterampilan digital, dan tarif perdagangan pada 141 negara. Usia harapan hidup, Singapura pun berada di peringkat nomor satu, dengan anak-anak yang baru lahir diperkirakan akan hidup sampai usia 74 tahun.
Tak hanya di Asia Tenggara, Singapura juga memuncaki peringkat daya saing dunia menggantikan posisi Amerika Serikat. Negeri Paman Sam turun ke peringkat kedua akibat perang dagang AS dengan Tiongkok. Skor Amerika Serikat turun dari 85,6 menjadi 83,7. Peringkat kedua di Asia Tenggara diraih oleh Malaysia yang mencatatkan kenaikan 0,2 poin dari 74,4 menjadi 74,6 dan Thailand di posisi 40 dengan skor 68,1 poin. Kekuatan Indonesia adalah dari sisi market size dan stabilitas makro ekonomi dengan nilai masing-masing 82,4 dan 90.
GCI merupakan indikator komposit dari 103 indikator yang dikelompokkan dalam 12 pilar. Skor terburuk Indonesia dialami oleh pilar ke-12 inovation capability yang hanya 37,7 dari skor tertinggi 100. Terburuk kedua adalah pilar ke-3, ICT adoption, lalu pilar ke-8 buruh, pilar pertama institusi, dan pilar ke-7 soal pasar produk.
Pada pilar pertama, ada komponen atau indikator “transparency” yang hanya memiliki nilai sangat rendah, yaitu 38,0. Pilar dengan skor tertinggi adalah “macroeconomic stability” yang menjadi pilar ke-4. Sayangnya skor yang sangat tinggi (90) untuk stabilitas makroekonomi belum dapat dijadikan modal untuk mengerek daya saing. Padahal kondisi ini merupakan prasyarat penting pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Pada dua tahun sebelumnya World Economic Forum (WEF Global Competitiveness Report 2016-2017 indeks daya saing Indonesia tahun ini tercatat berada di peringkat ke-41 dari 138 negara yang dinilai. Pada tahun 2017 ini dari 16 faktor yang dinilai, ternyata korupsi merupakan faktor utama yang menyebabkan penurunan peringkat daya saing Indonesia. Dengan skor 11,8 korupsi menempati urutan pertama, disusul inefisiensi birokrasi pemerintah (9,3), keterbatasan infrastruktur (9,0), dan akses ke pendanaan (8,6). Selanjutnya inflasi (7,6), ketidakstabilan kebijakan (6,5), buruknya etos kerja buruh (6,3), tingkat pajak (6,1), tenaga kerja pintar yang terbatas (5,6), kebijakan pajak (4,8), regulasi valas (4,6), ketidakstabilan pemerintahan (4,1), buruknya kesehatan publik (4,0), keterbatasan inovasi (3,7), serta peraturan buruh yang ketat (3,7).
Tahun 2018, laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 keluaran World Economic Forum, juga menempatkan korupsi dan birokrasi pemerintahan yang tidak efisien dua faktor teratas yang menjadi masalah bagi dunia usaha. Sementara itu, indeks inefisiensi birokrasi pemerintahan Indonesia versi Bank Dunia di angka 11,1 (dari skala 0-30). Naik dari tahun sebelumnya yaitu 9,3 yang menandakan birokrasi semakin inefisien.
Kemudian indeks persepsi korupsi Indonesia menurut Political & Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2018 tercatat 7.57 (skala 0-10). Membaik dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga.
Belum lama ini, Japan External Trade Organization (JETRO) kembali mengeluarkan laporan tahunan yang merupakan hasil survei dari perusahaan-perusahaan Jepang yang berada di 20 negara atau wilayah, diantaranya 5 negara di Asia Timur, 9 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Asia Barat, dan 2 negara di Oseania. Respons efektif dari perusahaan Jepang yang ada di Indonesia diperoleh dari 413 perusahaan, dengan rasio efektif 22 persen.
Dalam laporan itu menyebutkan bahwa 80 persen responden menyatakan keuntungan dalam berinvestasi di Indonesia adalah skala pasar atau potensi pertumbuhan. Pada 2013 ada 73,2 persen responden menyebut 'infrastruktur yang tidak memadai' sebagai risiko investasi, tapi pada 2018 turun menjadi 52,5 persen. “Hal ini dapat dilihat sebagai keberhasilan dari langkah kebijakan pemerintah," kata President Director JETRO, Keishi Suzuki, dalam siaran pers akhir Februari lalu.
Kata Suzuki, masalah ketidakpastian kebijakan pemerintah daerah akan menjadi isu di masa mendatang. Pasalnya, sejak 2009 hingga 2018, responden mengatakan tidak ada perubahan yang signifikan. Perusahaan Jepang yang berencana ekspansi dalam 1-2 tahun ke depan jumlahnya menurun sampai setengahnya. Penyebabnya adalah kenaikan upah buruh dan kenaikan biaya pengadaan. Ia berharap pemerintah ke depan dapat memperbaiki isu tersebut.
Adapun yang membedakan pada laporan 2019 atau yang ke-32 ini adalah laporan tersebut biasanya diperuntukkan bagi lembaga penelitian dan pemerintah saja. Baru kali ini diadakan konferensi pers.
Beberapa data yang menarik lainnya dalam laporan JETRO tersebut adalah masalah infrastruktur. Sejak 2009 infrastruktur sangat kurang, namun masalah itu tidak muncul di 3 besar di tahun 2018. Masalah tenaga kerja yang pada tahun 2009 dianggap murah oleh 45,8 persen responden, namun pada 2018 hanya 23,8 persen responden yang berpendapat demikian.
Berikut, sejumlah poin kesimpulan dari survei JETRO: Pertama, rasio jumlah perusahaan Jepang yang mengalami keuntungan pada 2018 adalah 65,5 persen. Kedua, rasio ekspor terhadap penjualan naik menjadi 24,2 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ketiga, perusahaan yang menjawab bahwa kenaikan biaya produksi dan jasa berdampak negatif sangat besar terhadap kegiatan usaha ada 47 persen. Keempat, masalah manajemen yang utama adalah rasio kenaikan upah buruh yang merupakan yang tertinggi di antara 5 negara utama ASEAN. Kelima, permasalahan hambatan bisnis dalam bidang nontarif.
Keenam, meskipun tingginya minat terhadap pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri, namun tidak terlihat adanya perbaikan pada rasio pengadaan bahan baku dan komponen di dalam negeri. Ketujuh, perusahaan Jepang yang berencana memperluas bisnisnya dalam 1-2 tahun kedepan, jumlahnya menurun sampai setengahnya. Kedelapan, dengan adanya pembangunan infrastruktur, maka iklim investasi Indonesia makin membaik.
Hasil riset WEF maupun JETRO ini sepertinya menjadi rujukan rencana perubahan besar perbaikan peringkat daya saing Indonesia. Dua isu penting yaitu soal perburuhan dan aturan yang tumpang tindih sedang dirumuskan untuk diubah melalui Omnibus Law. Walaupun konsep dan usulan yang sudah beredar selama ini masih menjadi bahan perdebatan menuju penyempurnaan, isu besar lainnya, seperti infrastruktur, penyerapan teknologi, serta stabilitas ekonomi tetap menjadi perhatian serius pemerintah.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur Bahasa: Firman Hidranto/Ratna Nuraini