Dampak pandemi virus corona mutan merebak ke mana-mana. Tak urung, simptom demam panas-dingin, batuk , disertai sesak nafas itu pun menerjang pasar modal global, regional, dan domestik. Harga saham terkoreksi tajam di mana-mana. Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk yang harus mengalami koreksi tajam. Dalam perdagangan sepanjang dua pekan terakhir, 9 hingga 20 Maret lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI oleng seperti dihantam badai, terjun lebih dari 25 persen.
Pada awal Maret, IHSG masih mencatat kenaikan 0,87 persen dan naik ke level 5.494,54. Namun, pada pekan berikutnya merosot 10,75 persen, dan tergerus lagi 14,52 persen di pekan berikutnya. Memasuki pekan terakhir Maret ini, Senin (23/3/2020) pagi, market masih lesu dan ragu. IHSG terseok lagi 4 persen, dan terkulai di angka 4.027,2.
“Badai corona” yang membangkitkan wabah Covid-19 ini menerjang apa saja. Bukan hanya saham biasa, saham-saham unggulan yang terhimpun dalam LQ-45 pun terkoreksi tajam. Pada sesi pagi Senin itu, harga saham-saham papan atas dalam komposit LQ-45 bahkan terperosok lebih dalam, yakni lebih dari 5 persen.
Secara sektoral, tekanannya juga tak pandang bulu. Pada pekan lalu, saham-saham aneka industri mencatat rekor buruk (-19,43 persen), keuangan (-18,58 persen), dan infrastruktur (-14,76 persen). Adapun nilai kapitalisasi pasar sepanjang 16-20 Maret mencatatkan penurunan sekitar 14,5 persen menjadi sekitar Rp4.854 triliun dari Rp5.678 triliun pada penutupan pekan sebelumnya.
Kondisi pasar saham global juga tidak lepas dari gempuran wabah Covid-19 itu. Sedangkan, para pelaku pasar saham Jakarta umumnya berpegang pada rumus generik bahwa pergerakan harga di BEI tak lepas dari kondisi pasar global, terutama Amerika Serikat (AS) dan regional Asia.
Bursa saham AS memang ditutup melemah pada Jumat (20/3/2020) pekan lalu. Dow Jones terkoreksi 4,55 persen, S&P 500 merosot 4,34 persen, dan Nasdaq ditutup negatif 3,79 persen. Bursa regional Asia Senin (23/3/2020) pagi bervariasi. Indeks Nikkei menguat 1,05 persen, Indeks Hang Seng melemah 3,74 persen, dan Indeks Straits Times susut 7,1 persen. Secara umum, kondisi global dan regional tak kunjung menunjukkan simptom positif di tengah ledakan wabah Covid-19.
Pandemi ini menimbulkan kepanikan secara global. Isu besarnya, tentu merosotnya ekonomi dunia dan memburuknya kinerja perusahaan-perusahaan emiten. Secara regional, isu itu mengerucut ke masalah seberapa buruk wabah ini akan terjadi, seberapa lama, dan apa dampaknya kepada pasar. Lebih jauh, dalam konteks domestik, ada isu tentang kebijakan pemerintah merespon pandemi.
Dalam kondisi darurat, perkembangan berlangsung cepat dan sulit diprediksi apa yang akan terjadi dan apa dampaknya. Ketidakpastian itu yang menjadi sumber kepanikan. Maka ketika pasar panik, yang dilakukan sebagian pelaku pasar adalah menjual pada harga berapa pun untuk menghindari kerugian lebih dalam.
Pelepasan saham dalam jumlah besar dan tak pelak lagi membuat nilai harga sahamnya dijual lebih murah dari nilai fundamentalnya. Sebagian investor memilih menjual saham dan menyimpannya ke dalam bentuk mata uang asing yang kuat, dan biasanya dolar AS. Maka, setiap kali ada kepanikan di bursa saham, dolar yang ditubruk.
Walhasil, setelah melewati berbagai krisis, ada situasi khas pada pasar Indonesia. Indeks saham berkorelasi positif dengan mata uang rupiah dan berbanding terbalik dengan dolar AS. Hal itu yang terjadi saat ini. Indeks saham terpuruk, rupiah tertekan, dan dolar AS melambung tinggi.
Negara Hadir
Analis pasar modal, Hans Kwee, memandang bahwa isu virus corona mutan telah menciptakan teror di kalangan masyarakat. Direktur Utama PT Anugerah Mega Investama itu mengatakan, virus penyebab Covid-19 digambarkan begitu berbahaya. Semua takut, cemas, dan panik.
Hal ini ditandai dengan pemakaian masker yang masif dan aksi memborong sembilan bahan pokok. “Ujungnya, membawa ketakutan. Orang memilih mengurangi aktivitasnya, baik pekerjaan maupun bisnis. Akhirnya, jika hal ini dilakukan oleh sebagian besar orang, akan menimbulkan kerugian pada perekonomian secara nasional,” kata Hans memberikan ulasan.
Lebih jauh, Han yang juga dosen mata kuliah pasar modal Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti menjelaskan, musuh besar para investor saham sebetulnya bukanlah virus SARS COV-2. Melainkan, ketakutan, rumor, dan stigma yang tak berdasar. Ketakutan tanpa dasar itu tak boleh dibiarkan. “Aset kita adalah fakta, alasan, atau penjelasan dan solidaritas,” kata Wakil Ketua Umum Perkumpulan Investor Pasar Modal Indonesia (PIPMI) yang beranggota 21.000 pemain saham itu.
Hans menekankan bahwa kekuatan negara hadir di tengah gonjang-ganjing itu. Dua otoritas pasar keuangan nasional, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tak tinggal diam melihat kondisi yang menekan ini. Demi reputasi merah putih di pasar saham global, BI dan OJK dipastikan telah mengambil langkah protektif mengatasi memerahnya IHSG, termasuk di dalamnya tindakan relaksasi.
Senada dengan Hans, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, sebagai bank sentral pihaknya sudah melakukan langkah-langkah penyelamatan. BI, menurut Perry, telah melakukan intervensi pasar keuangan dengan tiga jurus. Baik di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), maupun pembelian obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. Sepanjang awal 2020, BI telah menggelontorkan Rp195 triliun. Semua dilakukan BI demi menjaga stabilitas pasar saham.
OJK juga bergerak cepat mengantisipasi dampak dan risiko virus penyebab Covid-19. Relaksasi menjadi kata kunci. Salah satunya dengan penilaian kualitas aset kredit. Jika penyebaran Covid-19 dibiarkan berlanjut, bisa mengganggu pasokan bahan baku dan alat produksi. “Akibatnya, bisnis yang sehat bisa terganggu. Bila tak dibantu dengan pelonggaran aturan akan timbul kerugian bank dan pengusaha. OJK melakukan relaksasi pengaturan restrukturisasi kredit supaya bisnis yang bermasalah akibat dampak corona, bisa kembali lancar,” kata Hans Kwee.
Beli Kembali Saham
Hans juga memahami kegeraman Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir akibat terbakarnya saham emiten. Termasuk, milik mayoritas perusahaan-perusahaan BUMN, berjumlah 12 emiten yang melantai di BEI. Ide membeli kembali saham yang telah dilepas atau buyback, menurut Hans, adalah hal wajar. Tujuannya, untuk meningkatkan harga saham yang sudah terlalu murah (undervalue) dan dengan sendirinya meningkatkan nilai pemegang saham.
Buyback saham akan meningkatkan demand saham dan di saat supply-nya tetap, harga saham akan cenderung naik. Buyback saham juga mengurangi jumlah saham beredar, sehingga pembagian deviden per lembar saham akan naik. Pada gilirannya, langkah ini pun mendorong harga saham naik. Buyback juga mengurangi arus kas perusahaan sehingga mengurangi potensi masalah keagenan.
Ketika melakukan aksi beli kembali (buyback) saham, sebenarnya perusahaan sedang memberikan sinyal kepada pemegang saham bahwa harga saham di pasar sudah murah. Manajemen perusahaan tahu persis apa isi perusahaan, bagaimana kinerja perusahaan dan bagaimana prospek perusahaan ke depan.
Manajemen juga tahu berapa kira-kira valuasi perusahaan dan saat dirasakan sudah terlalu jauh di atas harga pasar, manajemen bisa memutuskan melakukan buyback saham sebagai koreksi. Hal ini yang membuat banyak investor asing menyukai perusahaan yang melakukan buyback saham.
Oleh karena itu, pengumuman buyback saham oleh emiten biasanya dapat mengurangi tekanan jual saham dan harusnya membuat pelaku pasar berbalik melakukan pembelian saham. Hal ini mendorong harga saham naik dan menjadi lebih stabil serta dapat menghilangkan kepanikan para pelaku pasar.
Di tengah kondisi seperti sekarang, dengan melihat fakta bagaimana otoritas dan pemerintah begitu sigap mengantisipasi dampak virus corona mutan, harusnya pelaku pasar tidak ikut panik dengan melakukan penjualan aset keuangan. “Periode koreksi di pasar saham dan pasar surat utang, baik sektor negara maupun swasta, harusnya dimanfaatkan untuk melakukan akumulasi. Koreksi pasar keuangan baik di saham maupun surat utang diperkirakan berlangsung dalam jangka pendek,” kata Hans.
Investor dengan horizon waktu investasi lebih dari satu tahun sudah seharusnya mengambil peluang untuk melakukan pembelian. Tak perlu menunggu isyarat pasar global atau regional, karena faktor penentunya ada di dalam negeri sendiri. Jadi, tunggu apa lagi.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini/Elvira