Tiba-tiba saja nama Pulau Nustual di Kabupaten Tanimbar menjadi buah bibir di kalangan pelaku bisnis migas. Namanya bergulir ramai di berbagai plaform media massa. Pemberitaan ini muncul setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku mengeluarkan Surat Penetapan, tanggal 13 Maret 2020, yang menyebut Pulau Nustual itu sebagai lokasi pelabuhan kilang LNG Lapangan Abadi Blok Masela.
Keputusan Pemprov Maluku itu merespons permohonan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebagai badan negara yang memegang otoritas dalam kebijaksanaan teknis minyak dan gas (migas). Arti penting dari penetapan ini ialah sebuah aba-aba bahwa bisnis senilai USD18 miliar, sekitar Rp270 triliun siap digulirkan.
Bisnis eksplorasi gas offshore Blok Masela itu tentu saja memerlukan pelabuhan tersendiri untuk pelayanan logistiknya. Perlu lokasi yang strategis dan aman untuk mengelola barang logistik bagi kegiatan pengeboran, pembangunan struktur anjungan (rig) lepas pantai, selain kilang untuk LNG, yang mengubah gas alam dalam bentuk cair agar mudah ditransportasikan.
Pilihan lokasi itulah yang jatuh ke Pulau Nustual, tak jauh dari Kota Saumlaki, Ibu Kota Kabupaten Tanimbar, yang letaknya di ujung selatan Pulau Yamdena, Maluku. Bagi masyarakat kebanyakan, agaknya tidak mudah membayangkan nama Pulau Nustual, Tanimbar, Saumlaki, dan Yamdena.
Pula Yamdena ialah salah satu pulau terbesar di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Bentuknya mirip badan ikan paus, membujur dengan arah hampir utara-selatan, luasnya hampir 3.000 km2, empat kali luas DKI Jakarta. Di ujung selatan itu ada Kota Saumlaki, yang menjadi ibu kota setelah wilayah kabupaten ini terbentuk 2002. Pulau Yamdena dikelilingi puluhan pulau kecil, salah satunya Pulau Nustual yang luasnya hanya 27 hektare.
Setelah pelabuhan dibangun, akan ada 1.000 hektare (10 km2) lahan lain untuk membangun Kilang LNG. Tentunya tak jauh dari Pulau Nustual dan Kota Saumlaki. Berikutnya akan muncul restoran, hotel, pekantoran, pertokoan, perumahan, pembangkit listrik, perusahaan daerah air minum, dan mungkin lapangan golf. Kebutuhan itu tak akan sulit dipenuhi dari Yamdena dan pulau sekitarnya. Saumlaki akan menjadi salah satu kota masa depan di Indonesia Timur
Jarak Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku, ke Saumlaki sekitar 670 km. Keduanya terhubung melalui transportasi udara dan laut. Selain memiliki pelabuhan, Saumlaki memiliki bandar udara (bandara) yang cukup representatif, yakni Bandara Mathilda Batlayeri. Saat ini pesawat baling-baling seperti ATR-42 bisa mendarat ke bandara itu. Dalam waktu dekat, dengan menambah panjang runaway 300-400 m, pesawat Boeing 737 atau Airbus 330 dan Airbus 340 bisa mendarat di Bandara Mathilda.
Kepulauan Tanimbar itu ada di tengah birunya Laut Arafura. Kawasan ini memiliki keindahan alam yang pilih tanding. Namun, Kota Saumlaki relatif jauh dari mana pun. Bila ke Ambon 670 km, kota terdekat di Papua Barat adalah Kaimana, sekitar 650 km juga. Di sisi Barat, yang terdekat adalah Timor Leste. Dari Timur Timor Leste sekitar 450 km dari Saumlaki.
Sekitar 150 km ke arah Selatan, ada hamparan laut yang di dalam perut buminya menyimpan gas alam dalam jumlah sangat besar. Di situlah lokasi Lapangan Abadi Blok Masela. Posisinya tidak jauh dari perbatasan Laut Australia.
Jauh dari mana-mana, Tanimbar tumbuh dengan budayanya sendiri. Produk kerajinan tenun ikat Tanimbar cukup terkenal di kalangan kolektor. Motif tenunnya kuat dengan nuansa laut, ikannya, dan coralnya. Coraknya memang ada kemiripan dengan tenun Timor, tapi beda nuansa warnanya. Kabupaten Tanimbar kini berpenduduk sekitar 125 ribu jiwa.
Wajah Saumlaki, Yamdena, Tanimbar mungkin segera berubah dengan surat penetapan Gubernur Maluku yang menjadikan Pulau Nustual sebagai lokasi pelabuhan kilang LNG. Selepas “badai” corona ini, dermaga besar akan dibangun di sana, dengan crane-crane ukuran jumbo serta gudang logistik. Kapal-kapal akan merapat. Hotel, minimarket, dan restoran baru akan bertaburan di Kota Saumlaki. Tenaga kerja dari berbagai negara akan berdatangan. Peluang kerja bagi tenaga setempat terbuka.
Pembangunan pelabuhan itu sendiri diperkirakan akan selesai dalam waktu delapan sampai 10 bulan. Dalam 48 bulan berikutnya akan dibangun rig besar di tengah laut di Blok Masela. Di stulah perut bumi dibor dan dialirkan ke kilang LNG. Pararel dengan semua itu, kilang LNG dibangun. Lokasinya di Yamdena juga, dan tentunya tak jauh dari Pelabuhan Pulau Nustual.
Dalam siaran pers medio Maret, Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Sulistya Hastuti Wahyu menyatakan, keputusan terbaru ini adalah bukti konkret sinergi antara SKK Migas, Inpex, dan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang sepakat menetapkan lokasi pelabuhan LNG itu. “Atas dukungan masyarakat melalui konsultasi publik, proses ini berjalan dengan baik dan cepat,” katanya.
Lapangan Abadi adalah area pertama Blok Masela yang dikembangkan dan dioperasikan oleh Inpex Masela Ltd. Selain melakukan pembebasan tanah, saat ini Inpex juga melakukan tender Front End Engeineering Design (FEED), sekaligus menyusun pedoman tender EPC (engineering, procurement and construction) yang akan digunakan sebagai parameter final investment decision (FID).
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, FID akan dilakukan di kuartal keempat 2022. Jika semua lancar, pada kuartal I/2023, konstruksi bisa dimulai. Merebaknya wabah Covid-19 diakui akan berdampak pada prosesnya. “Konsekuensi adalah soal waktu. Butuh sekitar satu bulan untuk membersihkan peralatan survei dengan disinfektan, khususnya peralatan yang berasal dari negara yang terpapar Covid-19,” ujar Julius.
Pemain Utama
SKK Migas menetapkan target produksi nasional gas termasuk LNG, setara dengan 1 juta barel BBM per hari pada 2030. Tentu, tidak mudah mencapainya, meski tidak pula mustahil. Namun, target itu dipancangkan karena Indonesia membangun visi menjadi pemain utama LNG (liquefied natural gas) dunia di 2030. Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mendapatkan tambahan kapasitas kilang sehingga Indonesia memang berpotensi menjadi pemasok LNG dunia.
Disampaikan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, saat ini kapasitas kilang LNG di Indonesia sebesar 16 MTPA (juta ton per tahun/million ton per annual) yang berasal dari LNG Tangguh 7,6 MTPA serta LNG Bontang 8,6 MTPA. “Kapasitas kilang LNG akan bertambah sebesar 13,3 MTPA jika proyek train 3 Tangguh dengan kapasitas 3,8 MTPA, dan Abadi LNG dari Masela Project sebesar 9,5 MTPA selesai dibangun,” ujar Dwi, awal Maret lalu.
Dewasa ini, selain memenuhi kebutuhan pasar domestik, Indonesia telah mengekspor LNG ke Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan. Ekspor gas cair dipasok dari kilang LNG Badak dan LNG Tangguh. Dwi Soetjipto optimistis, target menjadi pemain utama dunia itu tidak terlalu muluk. Sejumlah proyek unggulan sudah berjalan. Dua di antaranya adalah proyek train 3 LNG Tangguh dan proyek LNG Masela. Untuk train 3 LNG Tangguh ditargetkan rampung 2021, setelah sempat tergeser dari rencana semula triwulan III 2020.
Ada pun proyek LNG Abadi, sering disebut proyek LNG Masela, pembangunannya diharapkan sudah bisa dimulai 2021 dan tuntas 2026, maju satu tahun lebih awal dari rencana semula. Khusus PSC Blok Masela, Pemerintah RI telah meneken kontrak PSC (production sharing contract) jauh hari yang lalu, namun kemudian diamendemen 11 Oktober 2019.
Bunyi amendemen kontrak Blok Masela, antara lain, terkait klausul bahwa Inpex, investor Blok Masela asal Jepang, memperoleh alokasi waktu tambahan selama 7 tahun dan perpanjangan 20 tahun untuk Proyek Abadi LNG. Artinya, Inpex bisa mengelola Blok Masela sampai 2055.
Lantas, bagaimana dengan kondisi cadangan gas negara ini? Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total cadangan gas di Indonesia yang tercatat 2018 mencapai 135,55 TSCF (triliun kaki kubik). Rinciannya, cadangan terbukti (P1) sebesar 99,06 TSCF, cadangan potensial (P2) 21,26 TSCF, dan cadangan yang mungkin (P3) 18,23 TSCF. Sementara itu, bila merujuk pada data Kementerian ESDM dalam versi Neraca Gas 2018-2027, total cadangan gas per 1 Januari 2017 adalah 142,72 TSCF.
Dari gambaran di atas tampak bahwa Indonesia kaya akan gas alam. Namun, seperti terlihat di Laut Arafura, semua pihak perlu bersinergi dan saling mendukung untuk memanfaatkannya dengan cara yang semakin berkeadilan.
Penulis: Firman Hidranto
Editor : Putut Trihusodo/Ratna Nuraini