Indonesia.go.id - Jejak Terlacak, Penyebaran Tak Melonjak

Jejak Terlacak, Penyebaran Tak Melonjak

  • Administrator
  • Jumat, 27 Maret 2020 | 03:04 WIB
COVID-19
  Petugas Kesehatan memeriksa suhu tubuh rombongan siswa penumpang angkutan darat saat transit di Terminal Mamboro, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (24/3/2020). Untuk melakukan penelusuran dan pelacakan jejak, Indonesia lebih memilih cara manual dibanding dengan menggunakan teknologi seperti yang digunakan Singapura. Foto : Antara Foto/Mohammad Hamzah

Sejumlah negara memanfaatkan teknologi untuk penelusuran dan pelacakan mereka yang terpapar virus corona. WHO memuji Singapura yang dinilai cermat dalam menghambat persebaran virus. Bisakah penggunaan teknologi itu diterapkan di Indonesia?

Sebut saja namanya Mellisa. Perempuan itu masih ingat betul, Sabtu sore itu dia menghadiri acara barbeque. Ketika pesta berlangsung, telepon selulernya berdering. Saat diangkat, sang penelepon memperkenalkan diri sebagai petugas medis dari Kementerian Kesehatan Singapura. Tanpa basa basi, sang petugas memberitahu kalau Mellisa berisiko tertular virus corona.

Mellisa tentu terkaget-kaget. Belum reda keterkejutannya, sang petugas mengkonfirmasi riwayat perjalanan Mellisa sepekan terakhir. “Apakah Anda pada hari Rabu pukul 18.47 naik taksi,” tanya sang petugas. Mellisa membenarkannya. Petugas memberitahu kemungkinan bahwa dia terpapar virus corona di situ. Mellisa terkejut dan seperti tak percaya.

Pikirannya mencoba mengingat gambaran taksi yang dikatakan terindikasi terinfeksi virus corona itu, apakah penumpang sebelum dia? Ataukah sang sopir yang terpapar? Namun, ia tak mau sibuk menebak. Ia dengarkan saja instruksi petugas yang memintanya diam di rumah sepulang pesta. Ia harus menjalani karantina. Bergegas ia pulang ke rumah dan memenuhi perintah si petugas.

Esok harinya, tiga orang dengan jaket dan masker muncul di depan pintu apartemennya. Mengutip laporan BBC, petugas itu kembali menjelaskan kalau Mellisa tidak boleh meninggalkan rumah. Jika melanggar, ia akan didenda atau dipenjara. Lagi-lagi, Mellisa mematuhi perintah itu.

Selama dua minggu Mellisa mengurung diri di rumah. Selama proses karantina itu, Mellisa benar-benar dipantau petugas Kementerian Kesehatan. Beruntung, selama masa karantina mandiri itu ia tak menunjukkan gejala simptomatik infeksi Covid-19.Tidak ada demam, batuk, atau pilek. Mellisa lega dan dinyatakan sehat .

Lain Mellisa, lain pula kisah Julie yang juga warga Singapura. Suatu hari di awal Februari lalu, Julie pergi ke rumah sakit dengan keluhan pusing dan demam. Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis Julie terinfeksi virus corona. Julie pun akhirnya harus dikarantina.

Rumah sakit meng-input semua data Julie. Data-data ini langsung terhubung dengan Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab memantau kesehatan warga. Saat dirinya sedang berbaring, telepon genggamnya berdering. Penelepon berasal dari Kantor Kementerian Kesehatan setempat.

Sekitar tiga jam, petugas mencecar tentang aktivitasnya selama tujuh hari terakhir. Ke mana saja dan bertemu dengan siapa saja? “Mereka ingin tahu saya bertemu siapa? Apa yang saya lakukan? Siapa nama mereka? Dan berapa nomor kontak mereka?”  kata Julie seperti dilansir BBC.

Julie mengingat, ada sekitar 50 nama yang dia sebutkan pada petugas itu. Tak butuh waktu lama, petugas langsung menghubungi mereka yang pernah berinteraksi dengan Julie. Petugas meminta kepada mereka semua agar diam di rumah selama 14 hari.

Tak cukup di situ. Pada 20 Maret lalu, Singapura meluncurkan aplikasi pelacak kontak smartphone yang memungkinkan pihak berwenang bisa mengindetifikasi orang terinfeksi Covid-19. Aplikasi itu diberi nama TraceTogether dikembangkan oleh Badan Teknologi Pemerintah Singapura (GovTech) dan Kementerian Kesehatan.

Pengguna yang mengunduh aplikasi ini nantinya harus bersedia mengirim log ketika diminta oleh kementerian kesehatan negara setempat. Aplikasi bekerja dengan menukar sinyal bluetooth jarak pendek antar-smartphone untuk mendeteksi pengguna lain dalam jarak dua meter.

Rekaman pertemuan akan disimpan secara lokal pada  setiap smartphone. Data yang disimpan di smartphone pengguna lantas dienkripsi. Aplikasi ini dijamin tidak akan mengakses informasi lain, misalnya lokasi pengguna. “Aplikasi ini dapat menjaga privasi pengguna dari satu sama lain,” ujar Janil Puthucheary, dari Kementerian Komunikasi dan Informasi Singapura.

Begitulah cara Singapura menekan persebaran virus mematikan yang belum ditemukan obatnya ini. Sejak kasus pertamanya ditemukan pada 23 Januari 2020 lalu, hingga saat ini angka penyebaran di negara pulau itu tergolong kecil. Sampai 24 Maret 2020, dua bulan sejak kasus pertama, menurut data di worldometers.info, angka orang yang dinyatakan positif hanya 558 dan angka kematian 2 orang.

Tidak heran jika kesigapan negara itu dalam menekan persebaran virus corona dipuji WHO. Badan Kesehatan Dunia itu menilainya sebagai negara yang paling proaktif dan cermat dalam mencegah persebaran virus corona. Pengalaman 2003 sepertinya menjadi pelajaran berharga buat negara itu. Ketika itu, Singapura dilanda sindrom pernapasan akut (SARS). Penyakit itu telah menginfeksi 238 orang dan merenggut 33 nyawa.

Beda Singapura beda pula Israel. Sejak ditemukan kasus positif pertama 21 Februari lalu, lonjakan angka yang positif Covid-19 cukup tinggi. Sampai 24 Maret 2020, negara ini mencatat adanya 1.930 kasus infeksi dengan angka kematian 3 orang. Melihat lonjakan yang cukup tinggi dalam satu bulan itu, pemerintah setempat berencana melacak dan menelusuri pergerakan warganya yang terpapar virus melalui sinyal telepon.

Mengutip Associated Press, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah menyetujui rencana itu 17 Maret lalu. Penyadapan itu akan dilakukan oleh badan keamanan setempat secara resmi. Menurut Netanyahu, selama ini negara belum pernah menerapkan teknologi penyadapan terhadap warganya.

Teknologi ini biasa  dipakai Israel melacak  pergerakan orang-orang Palestina. Netanyahu menyadari, penggunaan teknologi ini melanggar hak privasi seseorang. Namun, karena wabah Covid-19 makin mengganas, negara pun terpaksa menggunakannya. Penerapan teknologi itu, menurutnya, untuk mengetahui sejarah sebelum pasien tertular infeksi virus SARS COV-2. Artinya, menjejaki peredaran virus  ganas itu sendiri.

‘’Israel adalah negara demokratis. Kami harus menjaga antara hak individu dan masyarakat umum,” kata Netanyahu seperti dilansir oleh laman New York Times.

Dia menekankan kebijakan itu buka untuk memata-matai rakyat. Hasil penyadapan jejak digital terhadap orang yang terpapar itu pun sebatas untuk mengetahui dengan siapa saja mereka pernah berinteraksi dan di mana. Mereka yang pernah berinteraksi itu akan dikirimi pesan yang meminta mereka mengisolasi diri  14 hari. Jika perintah isolasi ini dilanggar, mereka akan dipenjara enam bulan.

Rencana Netanyahu ini menuai kritik di dalam negeri. Namun, Netanyahu tetap bersikeras bahwa menyelamatkan nyawa jutaan warga sangatlah mendesak. “Dengan cara ini penyebaran virus bisa dipersempit dengan cara yang efisien,” kata pejabat keamanan senior Israel.

Ia menjamin, penyadapan ini tidak akan melanggar apapun karena kegiatan ini dibatasi waktu dan diawasi pemerintah serta kejaksaan agung.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dengan ketersediaan teknologi, sebenarnya Indonesia bisa meniru model yang digunakan Singapura atau Israel. Menurut pakar Teknologi Informasi dan Komunikasi Abimanyu Wahyu Hidayat, Indonesia bisa saja memanfaatkan sistem navigasi berbasis satelit, global positioning system (GPS) hingga nomor telepon untuk menelusuri dan melacak pergerakan mereka yang terduga terpapar atau positif corona. Dengan GPS itu, pergerakan orang akan bisa diketahui.

Hanya saja, kata Abimanyu, pelacakan dengan GPS ini punya keterbatasan. Misalnya, ketika orang yang dilacak itu masuk ke pusat perbelanjaan, GPS tak bisa mendeteksi orang itu memegang barang apa saja.

Walau memiliki keterbatasan, penggunaan teknologi ini tampaknya bisa banyak membantu dalam menelusuri dan melacak pergerakan orang-orang yang diduga terpapar virus corona mutan. Seperti kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, dalam situasi kedaruratan yang terpenting dilakukan ialah memutus rantai penyebaran virus itu. Model apapun dapat  digunakan, termasuk teknologi pelacakan dan penelusuran yang digunakan di beberapa negara.

Hanya saja,  Anam mengingatkan, seandainya Indonesia mau meniru model negara lain, yang bisa dilakukan adalah melakukan penelusuran tertutup. Penelusuran tertutup ini dilakukan supaya tidak menimbulkan kepanikan dan melindungi privasi orang.

Namun, Indonesia sudah punya caranya sendiri. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan, Indonesia memilih membatasi informasi pelacakan orang-orang yang sempat kontak dengan orang yang positif corona,  termasuk juga lokasi terjadinya penularan. Dengan tingkat pemahaman yang belum sama, Yuri khawatir nanti malah terjadi pro dan kontra di masyarakat.

Ia mencontohkan, saat pemerintah memutuskan memilih Pulau Natuna sebagai tempat karantina mahasiswa asal Indonesia yang terjebak di tengah amukan virus corona yang melanda Kota Wuhan, Tiongkok. Saat itu,masyarakat Natuna sempat menolak wilayahnya dijadikan tempat karantina.

Oleh karenanya, dalam melakukan penelusuran dan pelacakan jejak, Indonesia lebih memilih cara manual dibanding dengan penggunaan teknologi seperti yang digunakan Singapura. Manual yang dimaksud adalah dengan cara mewawancarai para pasien terduga dan postif terinfeksi corona. Kepada mereka petugas akan menanyakan aktivitasnya selama 14 hari terakhir. Dengan siapa mereka berinteraksi dan di mana saja. “Tapi, mereka kadang suka lupa,” katanya.

 

 

Penulis: Fajar WH
Editor: Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini