Ada gelagat buruk yang mengekor di belakang wabah Covid-19. Dengan hati-hati, Oganisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) mewanti-wanti, pandemi global itu akan membawa dampak buruk dan signifikan. Dalam siaran pers yang diunggah di situs resminya pada pertengahan April, FAO menyatakan bahwa pola dan skala gangguannya sulit diprediksi, karena tergantung pada intensitas dan sebaran pandemi virus itu sendiri.
Potensi gangguan muncul sejak hulu. Mulai dari penyediaan benih, pupuk, tenaga kerja, budi daya, panen, penanganan pascapanen, transportasi, gudang, perdagangan, retail, sebelum tiba di tangan konsumen. Gejala gangguan di rantai pasok sudah tampak. Jutaan ton jagung bertumpuk di gudang-gudang di pedalaman Brazil, karena jalan menuju pelabuhan dipasangi portal penghalang atas nama karantina kesehatan. Di Argentina biji kedelai berserakan di gudang petani karena alasan yang sama. Ekspor mandek.
Musim tanam sayur-mayur dan panen buah di Spanyol dan Italia diperkirakan akan terganggu. Para pekerja migran dari Afrika Utara tidak bisa datang akibat karantina wilayah. Padahal, kedua negara itu memproduksi 35 persen kebutuhan sayur dan buah-buahan Uni Eropa. Pada saat yang sama, Rusia diperkirakan tak bisa optimal memproduksi gandum. Mobilitas pekerja pertanian di sana tertahan oleh pandemi. Padahal, Rusia itu negara pengekspor gandum terbesar di dunia.
Thailand menghadapi problem serupa. Tak terlihat arus tenaga kerja dari Kamboja yang menyerbu menggarap sawah-sawah di negeri Gajah Putih itu. Namun, dengan skala serangan wabah corona yang rendah, ketiga negara eksportir beras yakni Vietnam, Kamboja, dan Myanmar diperkirakan akan bisa mempertahankan tingkat produksinya.
Namun, gambaran yang lebih optimistis muncul dari Tiongkok. Badai corona telah mereda di sana, dan 300 juta petani sudah siap kembali ke sawah dan ladangnya. Tiongkok adalah eksportir besar buah apel, pir, dan sayur-mayur. Bila pertanian Tiongkok cepat pulih, produksi beras dan gandum juga bisa bangkit. Dengan begitu, Tiongkok tidak perlu mengimpor beras dan gandum, sehingga tak ada guncangan harga dua komoditas penting dunia itu.
Di Amerika Serikat (AS), stimulus sebesar USD9,5 miliar (sekitar Rp150 triliun), bagian dari USD2 triliun yang digelontorkan Presiden Donald Trump, bagi petani yang mengalami kerugian gara-gara pandemi, membuat mereka bergairah. Mereka didorong berani mengambil risiko di tengah harga-harga yang sedang murung. Sebagian mereka telah membawa traktornya bekerja di ladang.
Secara umum, usaha pertanian di Amerika Serikat tak terlalu cerah di awal 2020 ini. Perang dagang dengan Tiongkok, ditambah kekeringan lalu disusul bencana banjir di sebagian kawasan pedalaman mid-west, membuat petani merugi. Di North Carolina harga jagung (dalam perdagangan berjangka), menurut cbnc.com (28 akhir Maret), merosot 10 persen, jagung turun 4 persen, dan gandum susut 2 persen. Harga susu sapi anjlok 13 persen setelah kafe-kafe, gerai makanan cepat saji, restoran, dan food court tutup diterjang Covid-19.
Toh, relaksasi kredit membuat petani AS terus berproduksi. Areal pertanian di AS umumnya berada di lokasi yang karantina wilayahnya tak terlalu ketat. Dengan bantuan traktor-traktornya yang besar dan canggih, sebagian tanah pertanian AS tak terlalu bergantung banyak pada pekerja migran. Para pekerja datang dari daerah setempat. Musim tanam April ini cukup bergairah.
Australia juga menjaga agar usaha pertaniannya tetap berdenyut. Kuota ekspor lobster dihapuskan, termasuk sejumlah ikan karang. Usaha pertaniannya dikecualikan dari kewajiban karantina wilayah. Pemerintah Australia juga memberikan perpanjangan visa otomatis satu tahun bagi pekerja migran musiman yang bekerja di lahan-lahan pertanian. Ada bantuan 110 juta Dolar (hampir Rp1,1 trilun) ke perusahaan penerbangan kargo yang biasa melayani ekspor hasil pertanian dan perikanan.
Australia mengekspor daging sapi, lobster, udang, ikan, anggur, jeruk, dan daging sapi ke Tiongkok. Ekspornya ke Indonesia tak kalah besarnya, jutaan ton gandum, daging, hewan ternak, anggur, dan buah-buahan lainnya.
FAO tak bisa memetakan secara rinci tentang kondisi pangan di setiap negara. Namun, Badan Dunia ini jelas tak merekomendasikan usaha pertanian ditutup total di tengah wabah Covid-19 ini. FAO hanya meminta pelaku usaha pertanian tetap memperhatikan protokol kesehatan di tengah amukan virus penyebab pandemi, antara lain, tetap mengindahkan norma social distancing, physical distancing, dan terus menerapkan norma higinitas di sepanjang proses produksi, pascapanen hingga distribusi.
Peluang Indonesia
Hingga pekan ketiga April 2020, tak terdengar ada gejolak harga bahan pangan di Indonesia. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menjamin, pasokan dan stok pangan pokok aman memasuki Ramadan ini hingga menjelang Idul Fitri. ‘’Kita terus pantau. Daging, gula, minyak goreng, sekaligus beberapa lainnya seperti (daging) ayam, semuanya sudah mencukupi," ujar Agus dalam wawancara virtual dengan sejumlah media, Selasa (14/4/2020).
Indonesia adalah negara importir beras, jagung, gandum (terigu), susu, bawang merah, daging sapi, gula, buah-buahan, dan banyak lainnya. Volume impornya cukup besar. Impor terigu, misalnya, lebih dari 10,5 juta ton, jagung di kisaran 700 ribu ton, gula 4,5 juta ton, kedelai lebih dari 2 juta ton dan bawang putih bisa 550 ribu ton. Dari 4,5 juta ton kebutuhan susu, 80 persen impor.
Untuk beras, volume impornya bervariasi antara 400 ribu--2 juta ton, tergantung ketersediaan dari hasil panen dalam negeri. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memberikan gambaran produksi dalam negeri cukup aman. Panen raya musim basah (rendheng) 2020 cukup sukses di sentra-sentra padi, mencakup luasan sekitar 5 juta ha. Belum terhitung yang di luar areal sentra produksi.
Putaran musim juga akan lebih bersahabat. Kemarau panjang yang kering meranggas seperti pada 2019 diperkirakan tak akan terulang tahun ini. Rilis yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di akhir Maret lalu menyatakan, dari 342 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, hanya 17 persen yang memasuki musim kemarau pada April 2020. Sebanyak 38 persen ZOM memasuki musim kemarau Mei 2020, dan 27,5 persen lainnya masuk awal musim kemarau pada Juni 2020.
Awal kemarau yang basah itu menjamin adanya ketersediaan air pada waduk-waduk sumber irigasi. Lahan-lahan nonirigasi juga cukup basah. Ada harapan besar bahwa panen raya Juli-Agustus cukup besar untuk menekan ketergantungan pada impor. Air yang cukup juga memberi peluang produksi palawija, seperti jagung dan kedelai, lebih optimal.
Bila distimulus dengan jaminan harga dasar yang menarik, tak mustahil produksi jagung dan kedelai akan melonjak. Hasilnya ganda, laju impor menurun dan petani jagung serta kedelai menguat daya belinya. Kedelai diperlukan terutama di industri rakyat tahu dan tempe. Sementara itu, jagung selama ini dibutuhkan untuk industri tepung, makanan olahan, dan terutama pakan ternak
Untuk gula tebu, bawang putih, susu, dan daging, memang tidak mudah menggenjot produksinya. Lahan yang sesuai untuk tebu dan bawang putih terbatas. Toh, tak berarti bahwa situasi yang tidak pasti di tengah wabah Covid-19 ini akan menuju hanya pada satu titik, yakni kenaikan harga. Justru, ada kesempatan untuk mendapatkan komoditas impor itu dengan harga yang murah, dengan memilah-milah negara produsen yang memberikan stimulus untuk usaha pertaniannya. Di situ harga dijamin lebih kompetitif.
Di luar Uni Eropa, sejumlah negara besar tak terlalu ketat membatasi usaha pertaniannya. Namun, Brazil mendapat serangan cukup parah, mencatat sekitar 36 ribu pasien positif Covid-19, pada Senin (20/4/2020), dengan hampir 2.400 ribu kematian. Virus berbahaya itu juga sedang merayapi Argentina dengan 2.900 pasien positif dan 132 kematian. Masih perlu waktu bagi kedua negara itu membuka lebar-lebar ekspor pertaniannya.
Namun, kedelai dan jagung dari dua negara Amerika latin itu ada substitusinya dari AS, Tiongkok, India, atau Kanada. Untuk susu ada harapan bahwa pasokan dari Australia dan Selandia baru masih bisa untuk mencukupi kebutuhan Indonesia. Begitu halnya dengan gandum. Dengan impor 10,5 juta ton (setara tepung terigu), Indonesia adalah importir terbesar di dunia. Australia, Kanada, Ukraina, dan India adalah pemasok lama yang usaha pertaniannya tak seluruhnya lockdown.
Kecenderungan kebijakan negara-negara yang memiliki potensi ekspor komoditas pertanian adalah mendorong usaha pertaniannya tetap berjalan (antara lain, untuk mencukupi kebutuhan domestik), menjamin bahwa produk petaninya laku, dan tak memberlakukan karantina wilayah secara ketat di daerah pertanian, yang dalam kenyataannya tingkat paparan virus coronanya relatif lebih rendah daripada wilayah perkotaan.
Dalam situasi yang serba tidak pasti ini memang diperlukan cara-cara sendiri untuk bisa membeli produk pertanian dengan harga yang bersaing. Keputusan pemerintah untuk merelaksasi perizinan impor produk pangan dan pertanian adalah salah satu cara untuk memberikan fleksibilitas importir untuk memperoleh barang dengan harga yang kompetitif.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini