Indonesia.go.id - Tahan Banting di Pasar yang Meriang

Tahan Banting di Pasar yang Meriang

  • Administrator
  • Jumat, 10 Juli 2020 | 01:55 WIB
KOMODITAS SAWIT
  Petani memetik tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Desa Pasi Kumbang, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Kamis (11/6/2020). Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Harga tandan buah sawit (TBS) mulai bangkit. Perkebunan sawit dan industri CPO bisa beroperasi normal di situasi pandemi. Ada harapan di semester II 2020, industri sawit tumbuh postif.

Harga TBS segar menggeliat naik. Untuk awal Juli 2020 ini, tim penetapan harga Pemerintah Provinsi Riau menentukan kenaikan Rp46 per kg TBS ke level Rp1.617, untuk buah sawit grade tertinggi, yakni dari pohon berumur 10-20 tahun. Di Sumatra Selatan, grade yang sama naik Rp41 per kg ke level Rp1.420. Dengan variasi yang cukup lebar, kenaikan harga juga terlihat di sentra produksi sawit di Kalimantan dan Sulawesi.

Harga TBS bergerak mengikuti fluktuasi harga crude palm oil (CPO), minyak sawit mentah, yang terus berubah dari hari ke hari. Pada Desember 2019, harga CPO sempat berjaya di level USD750 per ton, bahkan menyentuh USD800 pada Januari. Namun, seiring berjangkitnya pandemi Covid-19, harga CPO pun anjlok dan mencapai titik terendah di bawah USD515 per ton April-Mei 2020. Bulan Juni harganya naik ke USD569 per ton dan harga patokan pada Juli 2020 ini sudah merangkak ke USD622 per ton.

Optimistis harga CPO mampu bertahan terlihat pula di pasar komoditas berjangka Malaysia. Pada awal Juli 2020, Bursa Malaysia mencatat adanya kenaikan harga CPO untuk pengiriman September 2020 sebesar 24 ringgit menjadi RM2.362. Begitu pun pengiriman Oktober dan November 2020, bursa berjangka Malaysia itu membukukan kenaikan masing-masing RM38, menjadi 2.349 dan 2.350.

Atas perkembangan ini, kalangan industri sawit masih bisa berharap akan mencapai pertumbuhan positif pada semester II tahun 2020.

Sawit adalah andalan Indonesia dalam mendulang devisa. Nilai ekspornya pada 2019 di atas Rp300 triliun (USD23,5 miliar). Selama beberapa tahun terakhir ini, ekspor sawit sudah melampaui migas (minyak dan gas) dan batubara. Bersama industri pariwisata, minyak sawit menjadi primadona baru yang menggerakkan ekonomi nasional.

Catatan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) beserta produk turunannya, termasuk biodiesel, sepanjang 2019 mencapai 36,17 juta ton. Ada kenaikan 4 persen dari tahun sebelumnya.

Tiongkok menjadi pasar ekspor terbesar produk minyak sawit Indonesia pada 2019, yakni 6 juta ton (di luar produk oleokimia dan biodiesel). Tujuan ekspor lainnya adalah India 4,8 juta ton, Uni Eropa 4,6 juta ton, dan Amerika Serikat 1,1 juta ton. Khusus untuk oleokimia serta biodiesel, ekspor terbesar adalah ke Tiongkok 825 ribu ton, diikuti oleh Uni Eropa 513 ribu ton.

Ekspor minyak sawit ke Afrika (terutama Mesir, Maroko, dan Afrika Timur) juga tercatat naik 11 persen, menjadi 2,9 juta ton di 2019, dari 2,6 juta ton pada 2018. Kenaikan ekspor yang signifikan juga tercatat dari Turki, Pakistan, dan Bangladesh. Dari dalam negeri serapan sawit juga makin meningkat, terutama dengan diberlakukannya Mandatory B-20, yakni kewajiban penggunaaan 20 persen biosiesel sawit pada bahan bakar minyak solar.

Namun, memasuki 2020 situasi berubah. Badai Covid-19 menerjang dunia. Kinerja industri, termasuk yang menggunakan minyak sawit dan turunannya, tertekan. Ditambah pula, banyak negara yang selama Maret-Mei menerapkan karantina wilayah (lockdown) terkait Covid-19, yang tentunya menekan proses kegiatan industri dan rantai pasokannya. Ekspor minyak sawit dan segala turunannya merosot. Yang sedikit membantu adalah ada kenaikan konsumsi dalam negeri 6,2 persen. Namun, konsumsi di pasar domestik itu hanya sepertiga dibanding ekspornya.

 

Isyarat Pemulihan

Memasuki 2020, industri minyak sawit Indonesia menghadapi sejumlah problem. Ada tren penurunan produksi di awal tahun sebagai dampak kemarau panjang 2019, baik jumlah dan ukuran tandan buah segar sawit. Pada saat yang sama, Uni Eropa semakin ketat memberlakukan RED II, kebijakan menolak pemakaian CPO dari Indonesia dan Malaysia untuk produksi biodiesel atas alasan industri minyak sawit di kedua negara telah merusak ekosistem hutan tropis basah. Belum lagi adanya pengenaan tarif baru untuk ekspor ke India.

Maka, di tengah penurunan produksi pun, volume permintaan tetap terasa menciut. Harga terkoreksi cukup tajam. Dalam catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), di akhir 2019 harga ekspor sawit menyentuh level USD800 per ton dengan skema Cif Rotterdam, yakni ongkos angkut dan asuransi ditanggung penjual (eksportir). Pada Apri-Mei, harga CPO terpelanting ke level USD516 per ton Cif.

Namun, memasuki bulan Juni mulai tampak tanda-tanda perbaikan. Menurut Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono, ekspor ke Tiongkok mulai menguat sejak Mei, meskipun masih jauh dari bawah level 2019. Begitu halnya ke Pakistan. “Untuk tujuan India dan Uni Eropa juga menunjukkan sedikit kenaikan. Tren positif ini diperkirakan akan berjalan terus dengan semakin meredanya pandemi Covid-19,” demikian pernyataan pers Mukti Sarjono, yang dirilis awal Juni lalu itu.

Di sisi lain, Mukti mengatakan, di tengah pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak Maret, kegiatan operasional di perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit masih dapat berjalan normal dengan mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Sosial dan physical distancing lebih mudah dijalankan di kebun dan industri minyak sawit, yang meski pun tergolong padat karya, bisa lebih sederhana dalam mempraktekkan jarak sosial dan jarak fisik di antara para pekerja.

Produksi CPO April naik 12,6 persen dibandingkan pada Maret 2020 yang masih terpengaruh kemarau 2019. Sementara itu, nilai ekspor bulan April itu turun 10 persen dari USD1,82 miliar pada Maret 2020 menjadi USD1,64 miliar. Secara nasional, produksi CPO Januari-April 2020 lebih susut 12,2 persen dari periode yang sama 2019. Namun, dengan tingginya harga di Januari dan Februari, nilai ekspornya pun masih mencapai USD6,96 miliar, lebih tinggi dibanding periode Januari-April 2019.

Kenaikan harga TBS di kalangan petani memberikan indikasi bahwa tarikan ekspor sudah kembali menguat. Dengan cuaca yang ramah, curah hujan tinggi di sepanjang semester 1, disusul kemarau basah, perkebunan sawit Indonesia yang luasnya 14 juta ha (54 persen dikuasai oleh swasta, rakyat 43 persen dan BUMN 5 persen) bisa beroperasi secara nornal.

Oleh karena harga sawit sebagai minyak nabati sebagian diserap untuk kebutuhan primer (makanan dan energi), pandemi Covid-19 serta-merta membuatnya mengkerut. Sejumlah negara yang menderita oleh Covid-19 pun, seperti Mesir, Pakistan, India, dan Bangladesh tetap menunjukkan permintaannya yang kuat. Tiongkok dan Amerika juga tetap menjadi pasar potensial.

Tidak heran bila masih banyak yang pedagang yang berani membeli harga yang relatif tinggi di bursa berjangka. Minyak sawit dianggap tahan banting di tengah pasar dunia yang sedang meriang.

 

 

 

Penulis: Putut Tri Husodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini