Indonesia.go.id - Memainkan Kendang Industri Nikel Dunia

Memainkan Kendang Industri Nikel Dunia

  • Administrator
  • Rabu, 29 Juli 2020 | 01:46 WIB
INDUSTRI
  Pertambangan nikel di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Foto: Antara Foto/ Basri Marzuki

Indonesia akan menjadi pemain penting di industri nikel dan turunannya. Pengembangan mobil listrik dunia akan menjadi peluang pasar terbesar baterai litium.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) tengah menyiapkan skenario pemulihan ekonomi di Indonesia pascapandemi Covid-19 dengan membangun industri dari hulu ke hilir yang terintegrasi dengan menarik investasi ke Indonesia. 

Salah satu industri yang menjadi fokus pemerintah adalah pengembangan baterai litium menggunakan raw mineral Indonesia yang kaya akan nikel dan kobalt sebagai dua bahan utama baterai EV.

Optimistis Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dalam pengembangan industri dari hulu ke hilir secara terintegrasi bukan tanpa alasan.

Dia mengemukakan negara ini memiliki cadangan mineral sebagai bahan baku industri yang cukup melimpah dan kompetitif dibandingkan dengan negara-negara Asia seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Indonesia merupakan negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia, sekitar 32,7 persen. Australia berada di urutan kedua setelah Indonesia, yang memiliki 21,5 persen cadangan nikel dunia.

Berikutnya, menyusul Brazil dengan cadangan bijih nikel 12,4%. Kemudian Rusia, Kuba, Filipina, dan Afrika Selatan. Demi menjaga ketahanan cadangan mineral ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dengan kadar 1,7 persen. Kebijakan ini mulai diberlakukan per Januari 2019.

Menko Luhut menambahkan, pembangunan industri dari hulu ke hilir akan memberi nilai tambah bagi Indonesia. Ilustrasinya begini, ekspor bijih nikel pada 2018 sebesar 19,28 juta ton senilai USD612 juta.

Bayangkan, saat bijih nikel diolah menjadi stainless steel slab, volume ekspor menjadi sebesar 3,85 juta ton, namun nilai meningkat menjadi USD6,24 miliar.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor besi baja Indonesia secara konstan meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2017 nilai ekspor besi baja senilai USD3,3 miliar, meningkat menjadi USD5,3 miliar pada 2018, dan USD7,4 miliar pada 2019. Bahkan nilai ekspor besi baja melebihi ekspor kendaraan di kuartal pertama tahun 2020.

“Ada peningkatan nilai ekspor sebesar 10,2 kali lipat di sini. Selama ini kita hanya ekspor raw material. Ini yang coba diubah pemerintahan Jokowi sejak lima tahun ke belakang. Kita ingin hilirisasi nikel. Ini sudah kita mulai di Sulawesi dan Maluku,” kata Menko Luhut.

 

Butuh Kerja Sama

Untuk membangun industri dari hulu ke hilir yang terintegrasi tentu membutuhkan kerja sama dari pihak lain. Menko Luhut mengatakan, pemerintah akan membuka investasi bagi negara-negara lain yang bisa memberikan imbal balik bagi Indonesia.

“Dalam investasi tentu ada take and give. Indonesia akan memprioritaskan investor yang mau turut membantu memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam mengelola sumber daya mineral. Harus ada transfer teknologi, hingga mendidik tenaga kerja lokal,” pungkas Menko Luhut.

Luhut   mengatakan hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah bisa menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dunia baterai litium. Hal ini merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk mencapai Paris Agreement pada 2030. Paris Agreement merupakan kerangka kebijakan jangka panjang bagi negara-negara untuk mengurangi emisi karbon. Pada tahun itu, Eropa akan mewajibkan semua kendaraan berbasis listrik, dan melarang energi fosil.

"Itu kan tinggal sepuluh tahun lagi dari sekarang. Nah itu yang kita kejar. Pada 2025-2027 juga mereka terapkan berapa puluh persen harus pakai electric car. Kita pun secara bertahap akan pakai electric car," katanya dalam acara daring Sore Bersama LBP bertajuk "Investasi di Tengah Pandemi", Sabtu (25/7/2020).

Selain menjadi pemain utama dunia bahan baku baterai litium, penggunaan kendaraan listrik juga berdampak pada pengurangan impor minyak karena berkurangnya kendaraan berbasis energi fosil.

“Negara lain akan tergantung dengan kita. Saat ini kita memainkan ‘gendangnya’. Karena itu kita akan segera mendorong transfer teknologinya,” kata Menko Luhut.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo terus mendorong hilirisasi nikel untuk meningkatkan nilai tambah.  Hilirisasi mineral yang digencarkan pemerintah dapat menjadi salah satu penopang ekonomi pascapandemi.  

Bersama dengan sektor lainnya seperti pariwisata dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), industri hilirisasi akan terus didorong karena potensinya sangat besar dalam membantu perekonomian nasional ke depan.

Hal ini dikarenakan, sektor hilirisasi tidak terdampak terlalu dalam dan ekspor produk turunan yang dihasilkan dari pabrik pengolahan semakin menunjukkan dampak positif.

"Saya tidak mengatakan hilirisasi sendiri, karena semua harus paralel. Namun, dengan hilirisasi ini paling tidak sudah menyumbang perkiraan untuk tahun ini sebesar USD10 miliar atau sekitar Rp144 triliun (kurs Rp 14.400 per dolar AS). Itu angka yang besar,” ujar Luhut, seperti dikutip keterangan pers Kemenko Maritim dan Investasi.

Salah satu smelter lokal yang berada di Pulau Obi, milik Harita Nickel, diproyeksikan akan menjadi pemain penting dalam industri bahan baku utama untuk mobil listrik tersebut.

Luhut berharap, penyelesaian smelter hidrometalurgi high pressure acid leaching (HPAL) di sana juga terus berlanjut meski di tengah pandemi. “Saya berjanji akan mendukung semua perusahaan smelter dan tidak ada perlakuan yang berbeda.”  

Selama periode 2015-2019, total investasi di hilirisasi tambang sudah mencapai USD40 miliar. Ekspor besi dan baja sendiri bisa menembus angka USD9 miliar. Sedangkan untuk sektor nikel, nilai ekspornya sudah mencapai USD14 miliar. Sektor ini akan sangat berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia ke depan.

Selain nikel, Indonesia juga bisa memanfaatkan bahan baku mineral lainnya untuk memproduksi baterai. Misalnya adalah dengan memanfaatkan kobalt, mangan yang menurutnya memiliki nilai tambah jika dikelola menjadi produk jadi.

 

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini