Meski kalah dalam ukuran bila dibandingkan Angkor Wat di Kamboja, usia pembangunan Borobudur nisbi jauh lebih tua. Sejak 1991, Borobudur masuk daftar Warisan Dunia UNESCO.
Pulau Jawa yang terletak di Cincin Api Sirkum Pasifik membuat lokasi Borobudur dikelilingi oleh empat gunung api, yakni Merapi, Sindoro, Merbabu dan Sumbing. Dari sumber vulkanik inilah bisa dipastikan batu-batu bangunan candi itu dibuat.
Bicara sejarah pembangunan Borobudur didasarkan pada temuan inskripsi. Ditemukan di bangunan dasar candi, inskripsi ini memiliki gaya huruf yang sama dengan prasasti-prasasti yang ditulis di era Dinasti Syailendra. Oleh banyak ahli, diiestimasi dibangun pada masa keemasan Dinasti Syailendra: 750 – 850 M.
JG de Casparis menyimpulkan, candi ini didirikan oleh Raja Samaratungga. Arsitektur bangunan ialah Gunadharma. Proses pembangunan dimulai sekitar 824 M dan baru selesai saat putrinya Ratu Pramudawardhani naik tahta. Pembangunan ditaksir memakan waktu setengah abad.
Borobudur kesohor dan menarik perhatian dunia berkat tulisan The History of Java” (1817) karya Sir Thomas Stamford Raffles. Pada 1814, Raflles mendapat info tentang adanya bukit yang dipenuhi batu-batu berukir. Raffles mendapatkan nama 'Borobudur' dari masyarakat lokal sekitar selatan candi itu, sebuah desa yang saat itu bernama Bumisegoro.
Tafsiran lain dibuat oleh Poerbatjaraka. Membagi istilah Borobudur menjadi dua kata, yaitu 'boro' dan 'budur'. 'Boro' dapat ditafsirkan sebagai sebuah biara, sedangkan 'budur' adalah merujuk nama lokasi. Seturut teori ini, Borobudur bisa diartikan 'Biara di Budur'. Tafsiran ini selaras dengan manuskrip Jawa Kuno, Negarakertagama (1365). Ditulis oleh Mpu Prapanca, dalam kitab inii ditemukan istilah ‘budur’ untuk merujuk pada adanya sebuah tempat perlindungan bagi pemeluk Budha. Istilah 'budur' diduga memiliki asosiasi dengan keberadaan Candi Borobudur.
Teori lain ialah tafsiran JG de Casparis. Prasasti Karang Tengah (824 M). Menurutnya, diinformasikan tentang penganugerahan tanah bebas pajak oleh Cri Kahulunan Pramudawardhani untuk memelihara 'kamulan' yang disebut 'bhumisambharabhudhara'. Istilah 'kamulan' berasal dari kata ‘mula’ yang berarti asal muasal, bangunan suci. Sedang kata 'bhumi sambhara bhudhara' yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya ialah 'bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisattwa'.
Casparis memperkirakan,'bhumisambharabhudhara' adalah nama asli candi itu. Namun dalam perjalanannya, istilah itu secara diakronis berubah menjadi Borobudur disebabkan penyederhanaan ke dalam bahasa lisan oleh masyarakat lokal setempat.
Arsitektur Indonesia
Bicara aspek estetis dari desaian arsitektural Borobudur, menarik disimak hipotesa FDK Bosch (1887 – 1968). Ahli Indologi dan Indonesianis berkebangsaan Belanda ini mengatakan, pembangunan candi-candi di Indonesia dilakukan bangsa Indonesia, sekalipun seturutnya aspek rancang bangun arsitekturnya bersumber pada kitab Cilpasastra (Silpasastra). Kitab ini berasal dari India, tapi di Indonesia berubah menjadi pengetahuan tutur dan tradisi lisan. Bukti arkeologis naskah ini tak ditemukan.
Sungguhpun wacana Bosch tentang Cilpasastra memiliki struktur argumentasi yang kuat, toh sebenarnya di belahan dunia manapun hingga kini tidak pernah ditemukan model bangunan seperti Borobudur. Historigrafi Perancis Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais (1996) juga mencatat, sekalipun relief-relief Borobudur jelas tidak dapat ditafsirkan tanpa merujuk pada risalah-risalah India mengenai Mahayana, toh kenyataannya bahkan di India sekalipun tidak dikenal satu pun bangunan setipe ini.
Adalah benar bahwa desain arsitekturnya ide Stupa. Dibangun mengikuti pembagian kosmologi Budha-Mahayana. Bagian kaki candi yaitu 'kamadhatu'. Pada bagian ini menggambarkan tingkat kesadaran rohani manusia yang masih terikat pada berbagai keinginan duniawi. Bagian badan candi yaitu 'rupadhatu' yang melukiskan kesadaran rohani manusia yang mulai meninggalkan keinginan duniawai, namun masih terikat pada konsepsi nama dan rupa. Sedangkan yang terakhir ialah bagian kepala candi, yaitu 'arupadhatu'. Yakni, bagian yang mengilustrasikan kesadaran manusia yang telah mengalami pencerahan rohani sepenuhnya, tak lagi terikat pada nama dan rupa.
Namun agaknya, ide desain candi ini bukan hanya itu. Diduga kuat juga menggabungkan ide Gunung Meru. Hipotesa ini didasarkan pada bentuk geometris dari bangunan tersebut yang sedikit atau banyak menyerupai piramida. Tentu ide Gunung Meru bukanlah monopoli Hindu. Budha juga memiliki konsepsi itu. Sementara itu, bicara fenomena sinkretisme keyakinan populer di atara kedua tradisi itu tampaknya juga jamak terjadi.
Meru ialah simbolisasi gunung suci. Juga simbolisasi gunung kosmis di bumi, pusat jagat raya. Secara simbolis, karena lokasinya tinggi maka keberadaan gunung sering direpresentasikan sebagai lokus singgasana para mahkluk suci: para dewa dan leluhur.
Dalam konsepsi Hindu, istilah Meru ini secara spesifik dikaitkan pada pemujaan Dewa Shiva. Yang mawujud sebagai Dewa Bumi. Atau juga mawujud sebagai Girisa yaitu Penguasa Gunung. Makna “Penguasa Gunung” inilah yang menjadi kata kunci penting untuk digarisbawahi. Dan barangkali, pembacaan historiografi Denys Lombard jadi signifikan memberi artikulasi makna dari pembangunan Borobudur.
Seperti diketahui dalam Le Carrefour Javanais khususnya Buku Ketiga, Lombard mengungkapkan, orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung api tertentu. Seperti orang Bali yang memuja Gunung Agung dan orang Tengger memuja kawah Gunung Bromo. Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah Konsep Gunung Meru, baik yang bersifat Hindu maupun Budha. Lebih jauh, terdapat konsepsi maharaja terkait pada poros itu dan dianggap sebagai “Penguasa Gunung” seperti Dewa Shiva di India.
Lombard memaparkan lebih jauh. Dari abad ke-11 dalam kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa tercatat adanya ritual pemujaan Raja Airlangga kepada Dewa Gunung, Indraparwata. Dalam Kakawin Nagarakertagama dari abad ke-14 juga diceritakan bagaimana Mpu Prapanca memohon perlindungan pada Parwanatha (penguasa gunung), yang tiada lain ialah Raja Hayam Wuruk. Tak kecuali Mpu Tantular dalam karyanya Kakawin Sutasoma, juga dari abad ke-14, tercatat berbuat serupa, yakni mempersembahkan satu gubahan susastra pada Girinatha (Raja Gunung).
Tak lupa, Lombard juga mengingatkan, folklor pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa. Masih dari abad ke-14, kitab Tantu Panggelaran yang berisi kisah penciptaan manusia dan sekaligus penataan Pulau Jawa oleh para dewa. Gunung Penanggungan di Jawa Timur pernah dianggap sebagai gunung kosmis sekaligus Gunung Meru yang berasal dari India itu. Juga disebutkan perwujudan gunung kosmis yang lain terdapat di dekat Blitar, tempat raja-raja Majapahit membangun Candi Panataran.
Sementara itu dari dunia wayang, Lombard menggarisbawahi ritus pemujaan pada gunung api yang terungkap pada simbolik 'kayon' atau 'gunungan'. Kayon atau gunungan secara simbolik berfungsi membuka dan menutup sebuah babak kisah (tancep kayon), juga secara simbolik melukiskan panorama alam semesta dengan segala isinya.
Tafsiran Lombard ini tentu relevan membaca konteks geografis Indonesia. Terletak pada Cincin Api Sirkum Pasifik. Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah gunung api paling banyak di dunia. Tercatat 10% dari jumlah keseluruhan gunung api di dunia. Ada sekitar 130 gunung api. Banyaknya gunung api ini secara antropologis memberi lanskap budaya sekaligus rahim yang melahirkan bentuk ritual pemujaan terhadap gunung api.
Andai tafsiran historiografis multidisipliner Lombard itu katakanlah “benar”, maka meminjam ungkapan Claire Holt yang menyebut Borobudur ialah perwujudan 'gunung batu', di sini tafsiran Lombard dapat digunakan untuk membaca posisi Borobudur. Borobudur, mengacu pada kerangka pembacaan Lombard, bukan tidak mungkin ialah sinonim dengan simbolisasi dari konsepsi Gunung Meru yang dimanifestasikan dalam wujud gunung batu yang sangat indah.
Bagaimanapun, posisi Indonesia yang berada di Cincin Api Sirkum Pasifik telah menciptakan panorama alam dengan rangkaian gunung-gemunung api. Merapi, Sindoro, Merbabu, dan Sumbing adalah lanskap panorama alam di mana Borobudur sebagai “gunung batu” berada. Borobudur ialah stilisasi gunung api menjadi “gunung batu” sebagai perwujudan simbolik dari Gunung Meru, namun sekaligus juga perwujudan ide perihal stupa ukuran besar. Bermaksud memadukan ajaran puja bakti Budha-Mahayana dan pemuliaan terhadap leluhur Syailendra sebagai dewaraja adalah spirit di balik konsep estetis dari model arsitektural Borobudur.
Artinya, bicara aspek tujuan dan makna pembangunan Borobudur, secara hipotetis dapat disimpulkan bahwa selain merupakan bentuk pengejawantahan dari doktrin Budha-Mahayana, bukan mustahil maksud dibangunnya monumen ini ialah sebagai upaya membuat stilisasi gunung api secara simbolik dan ornamental ke dalam bentuk candi sebagai tempat pemuliaan akan leluhur Wangsa Syailendera.
Tafsiran ini sudah tentu masih relevan dengan istilah Syailendra, yang bermakna 'Yang Dipertuan dari Gunung'. Terang desain arsitektural ini mengekspresikan adanya kesatuan geokultural yang khas Indonesia. Tak khayal sekiranya bila disimpulkan, desain arsitektural Candi Borobodur ialah khas dan asli Indonesia.