Bicara misi Katolik di Indonesia boleh dikata telah terlambat dimulai dibandingkan berbagai misi Protestan sebelumnya. Menurut catatan Karel Steenbrink dalam Dutch Colonialism and Islam in Indonesia: Conflict and Contact 1596 – 1950, misi Katolik secara intensif di Jawa sebenarnya barulah dimulai sejak kedatangan Frans van Lith di Muntilan Jawa Tengah pada 1896.
Belajar dari sejarah, Van Lith segera menyadari bahwa lambatnya penerimaan agenda misi baik Protestan maupun Katolik, sebenarnya disebabkan kesalahan pilihan strategi kebudayaan yang ditempuh sebagai haluan gerakan misi. Yakni, mendorong proses konversi keagamaan, namun dengan sikap tidak simpati, bahkan seringkali merasa diri superior, jumawa, dan tidak mau mengakomodasi kebudayaan lokal, serta memaksa orang Jawa bergerak meninggalkan kebudayaan mereka sendiri saat memeluk Kristen.
Belajar dari kesalahan itu, Van Lith bergerak dalam kerangka sebaliknya. Dalam arti tertentu, Van Lith sebenarnya bekerja mengikuti visi strategi kebudayaan yang pernah dilakukan oleh Coenraad Laurens Coolen, yaitu si-anak blesteran Rusia-Jawa sekaligus guru rohani bagi Paulus Tosari itu. Sembari itu dia juga tampak tekun mencermati kata kunci keberhasilan kiprah Kiai Sadrach yang sangat masyhur di Tanah Jawa, sekalipun posisi Sadrach juga telah menyulut ketegangan dan kontroversi dengan para penginjil yang berasal dari Eropa.
Oleh karena itu, setiba di Jawa Van Lith pun segera tekun menyibukkan diri belajar bahasa Jawa, sejarah, dan kebudayaan masyarakat Jawa. Bukan hanya belajar secara intensif, lebih jauh Van Lith pun sanggup manjing ajur ajer ketika menyerap khazanah lokal Jawa dan bahkan menunjukkan sikap keberpihakan pada masyarakat Hindia-Belanda.
Maka segeralah Van Lith mengubah visi dan strategi kebudayaan sebagai landasan misi Kristen khususnya Katolik di Tanah Jawa. Sebagai seorang misionaris dia tidak hanya mewartakan konsepsi teologi Khatolik, sebagai guru dia tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan atas dasar kecintaannya yang mendalam pada murid-murid pribuminya bahkan juga turut menyemai keindonesiaan sebagai embrio nasionalisme.
Terkait hal itu, Van Lith pernah mengritik keras kesewenang-wenangan otoritas pemerintah Belanda, dan menyatakan dengan lantang bahwa bila suatu hari terjadi perpecahan di antara pemerintah dan masyarakat Hindia Belanda, maka misionaris akan berpihak pada kaum pribumi.
Van Lith saat itu pernah menulis “Gereja Katolik harus berjuang keras untuk perkembangan dan kesejahteraan orang-orang Jawa dan tidak mempunyai maksud tersembunyi untuk Belanda, dan sikap ini membuat orang-orang Katolik mau-tidak-mau harus bersebarangan dengan para pengeruk uang dan para penindas. Dan sikap ini perlu makin lama makin kuat.”
Sedangkan bagi orang Jawa, Van Lith bukanlah orang kulit putih yang menjadi alat pemerintah atau orang kulit putih pemilik perkebunan. Sebagai tokoh rohani, Van Lith jelas tidak pernah menafikan ungkapan religius kejawen. Tetapi ia bukan juga seperti penyembuh tradisional (dukun) atau model “guru Jawa” laiknya Kiai Tunggul Wulung atau Kiai Sadrach.
Memiliki nama lengkap Fransiscus Georgius Josephus Van Lith SJ, akrab disebut Romo Van Lith. Ia dilahirkan 17 Mei 1863 di Dusun Oirschot, Brabant, Belanda. Van Lith kecil hidup dalam lingkungan iman Katolik yang kuat. Sosok Santo Fransiscus yang dikenal dari buku yang dibacanya mendorong Van Lith ingin menjadi orang suci seperti santo ini. Van Lith ditahbiskan sebagai imam pada 8 Desember 1894. Demikianlah awal mula perjalanan hidupnya yang mengantarkannya kemudian untuk bertugas di tanah Jawa.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545657183_Museum_Van_Lith_di_Muntilan.jpg" style="height:500px; width:800px" />
Museum Van Lith di Muntilan. Sumber foto: Anugerah Kebudayaan
Sumbangsih terbesar Van Lith ialah di bidang pendidikan. Van Lith mengubah metode penginjilannya dari penginjilan kepada individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Seiring dicanangkannya politik etis di bidang pendidikan, Kweekschool atau sekolah calon guru bagi pribumi didirikan pada 1900. Kweekschool yang kini dikenal dengan nama Kolese Xaverius ini sejak awal kurikulumnya didesain oleh Van Lith sebagai tak terpisahkan dari budaya lokal.
Disebut sistem ‘konvic’, yaitu perpaduan sistem pendidikan tradisional Jawa dengan pengajaran disiplin modern. Dengan begitu anak didik yang berlatar belakang budaya Jawa masih diberikan kesempatan untuk menonton pertunjukan wayang, belajar menari, membawa gamelan ke sekolah, dan lain sebagainya, yang semuanya itu justru merupakan bagian dari pendidikan yang dikembangkan.
Dalam Kolese Xaverius, artikulasi identitas kejawaan sangat ditekankan. Bahasa Belanda jadi bahasa pengantar formal pendidikan, namun tidak serta-merta berarti menghilangkan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan di lingkungan sekolah. Dengan demikian diharapkan proses integrasi kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna. Bergerak lebih jauh, Van Lith juga mendidik para muridnya untuk serius mengkaji budaya Jawa. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal St Claverbond di Belanda.
Singkat kata, tujuan pendidikan sekolah yang dikembangkan oleh Van Lith ialah dalam kerangka memperjuangkan agar bangsa pribumi dapat menjadi sejajar dengan bangsa Eropa, dan hal ini bukanlah sekadar retorika belaka. Dalam surat terakhir Van Lith, menjelang tutup usia, dia dengan tegas menyatakan seandainya bisa memilih, maka pilihannya akan jatuh ke Hindia Belanda yang dicintai sepenuh hatinya ketimbang pada negaranya, Belanda.
Setidaknya sebutlah dua nama besar yang patut dicatat di sini sebagai murid-murid dari Van Lith, yakni Mr Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyon dan Mgr Albertus Soegijapranata. Mereka hanyalah tiga dari 600 lebih murid di sepanjang 1898-1922 yang terdaftar sebagai murid di Kolese Xaverius, Muntilan Jawa Tengah. Dari angkatan yang lebih muda dapat disebutkan nama terkemuka lain seperti Frans Seda, seorang menteri yang pernah duduk di masa kabinet Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto.
Dari Muntilan inilah, seperti nanti dapat disimak pada tulisan berikut, Kasimo dan Soegijapranata, telah menerima visi dasar yang sama dan sekaligus berhasil mengembangkan konsepsi tersebut lebih jauh dan matang. Bahwa, kekatolikan dan keindonesiaan merupakan satu entitas yang sama, dan tak terpisahkan satu dengan lainnya.
Juga masih dari inspirasi Muntilan pulalah, dua bersaudara keluarga Schmutzer, pemilik pabrik gula di Gondang Lipura di Bantul, selain gigih menganjurkan para pegawainya yang orang pribumi untuk menyekolahkan anak-anaknya di Muntilan, lebih jauh pada 16 April 1924 pun segera mendirikan gereja di sana.
Tiga tahun kemudian dibantu oleh masyarakat setempat mulailah dibangun sebuah candi. Candi setinggi 10 meter itu sengaja dibangun mengambil desain mirip bangunan Candi di Prambanan. Seorang pematung lokal membuat patung Maria dan Yesus. Patung ini bukan saja diukir dengan mengenakan busana bermotif batik, melainkan pemahatan rupa Yesus tergurat warna lokal sebagai sosok orang Jawa baik sebagai manifestasi Raja maupun Guru sekaligus.
Nuansa Jawa juga tidak hanya terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont (wadah air untuk baptis), dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu. Selain itu, pintu masuk ke candi sengaja diarahkan menghadap ke selatan--orientasi arah ini mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada harmoni utara dan selatan.
Diresmikan oleh Uskup Batavia Antonius Van Velsen pada 11 Februari 1930 dengan nama ‘Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus’, dan kini sohor disebut ‘Gereja Ganjuran’. Jelas, bahwa gereja ini bukan hanya potret adanya perubahan besar strategi kebudayaan dalam gerakan misi khususnya Katolik di saat itu, melainkan lebih jauh sebenarnya juga mengekspresikan mulai munculnya spirit keterbukaan, sikap dialogis dalam teologi Katolik, dan kebijakan akomodatif terhadap pluralisme kebudayaan.
Terlebih, sejak Konsili Ekumenis Vatikan Kedua atau yang lebih populer disebut Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) memaklumkan adanya kebenaran atau keselamatan di luar Gereja, sekalipun di komunitas Kristiani sendiri secara internal masih memunculkan silang pendapat hingga kini. Namun demikian semenjak Konsili Vatikan Kedua ini spirit keterbukaan, dialog antar iman, dan sikap inklusivisme terasa lebih mewarnai tradisi Katolik ketimbang di era sebelum itu.
Walhasil, jika sebelumnya di abad ke-19 masyarakat Jawa yang memeluk Kristen sering disebut dengan ungkapan ‘londo wurung jowo tanggung’ (mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa), dan posisi agama ini dianggap perwujudan ‘Agama Wong Landa’ (agama orang Belanda) atau ‘agama impor’ yang anti dengan kebudayaan Jawa, maka tak perlu waktu lama segera saja citra negatif ini kemudian berubah secara mendasar.
Kini bicara kekristenan dan kejawaan jelas tidaklah dimaknai sebagai dua hal yang bertentangan. Bahkan dalam perjalanannya tradisi Kristiani baik Protestan maupun Katolik segera saja tampak menjadi unsur-unsur yang memperkaya wajah kebudayaan Indonesia. Jelas Van Lith telah memiliki kontribusi besar dalam proses tersebut.
Tak berlebihan jika pada 23 September 2016 lalu, Romo Van Lith beroleh penghargaan Satyalencana dari Presiden Joko Widodo. Beliau semasa hidupnya tercatat telah memberikan kontribusi besar pada pendasaran pendidikan, pemberdayaan sosial, dan penguatan budaya lokal di Indonesia. (W-1)