Indonesia.go.id - Penamaan Sebagai Wadah Memori dan Budaya

Penamaan Sebagai Wadah Memori dan Budaya

  • Administrator
  • Minggu, 30 Desember 2018 | 11:29 WIB
TOPONIMI
  Cover buku 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe. Sumber foto: Istimewa

Proses penamaan dan nama senyatanya bukan soal sederhana. Nama seringkali berfungsi menjadi wadah memori, menyimpan sejarah, dan juga makna budaya bagi masyarakat, baik itu terkait suatu benda, tempat, atau peristiwa tertentu.

Suatu siang Gubernur DKI Jakarta bersama lima wali kota mengunjungi daerah Bintaro, di Jakarta Selatan. Kedatangannya disambut meriah warga. Sang Gubernur langsung orasi berapi-api. Tiba-tiba seorang remaja menginterupsi.

“Maaf, Pak Gubernur, saya mau tanya mengapa daerah tempat tinggal kami ini disebut Bintaro?"

Ternyata Gubernur tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Tak ketinggalan, lima wali kotanya yang saat itu menyertai kunjungan pun geming. Mereka kelihatan bingung, lalu saling pandang, tersipu-sipu. Remaja yang bertanya tadi tampak kecewa sekali. Kemudian diapun segera bergegas pergi meninggalkan lokasi.

Petikan di atas diambil dari pengantar sebuah buku. Berjudul ‘212 Asal-usul Djakarta Tempo Doeloe’ terbit 2012. Ditulis oleh Zaenuddin H Mahmud. Sayangnya tidak pernah dipaparkan lebih jauh, apakah kasus tersebut adalah faktual ataukah sekadar ilustrasi.

Masih seputar nama suatu tempat dan Gubernur DKI Jakarta. Baru terjadi setahun berselang, pada awal 2018 terbetik berita Komunitas Betawi Kita dan sejarahwan menolak kebijakan Wali Kota Jakarta Selatan terkait rencana penggantian nama Jl Mampang Prapatan Raya dan Jl Buncit Raya menjadi Jl Jenderal Besar DR AH Nasution.

Dasar argumentasi penolakan mereka adalah perubahan nama itu dapat menggerus makna sejarah dan kebudayaan masyarakat Betawi yang terpatri kuat pada kedua nama jalan. Bagaimanapun, nama ‘Mampang Prapatan Raya’ dan ‘Buncit Raya’ merupakan manifestasi dari nama-nama kampung Betawi di Jakarta.

Dalam petisi penolakan itu mereka menegaskan, sudah seperempat abad terakhir ini banyak nama kampung dan jalan yang mengacu kepada memori kolektif masyarakat Betawi nisbi telah lenyap dan berganti nama baru. Belajar dari kasus itulah, mereka menolak rencana penggantian dan pemberian nama baru terhadap Jl Mampang Prapatan Raya dan Jl Buncit Raya.

Mengantisipasi pro dan kontra yang semakin tajam, Gubernur DKI Jakarta kemudian menunda keputusan rencana pergantian nama jalan dan menghentikan proses sosialisasinya.

Dari dua kasus di atas tampak bahwa urusan tentang penamaan dan nama nyatanya tidak sesederhana dugaan sastrawan besar Inggris dari abad ke-17, William Shakespeare, yang sohor dengan kalimat bersayapnya “What is in a name?”. Frasa ini sering diterjemahkan sebagai “Apalah arti sebuah nama?”.

Pada realitasnya, penamaan dan nama memiliki signifikansi bagi kehidupan manusia. Sebuah proses penamaan dan nama senyatanya seringkali berfungsi menjadi wadah memori, menyimpan sejarah, dan juga makna budaya bagi masyarakat, baik itu terkait suatu benda, tempat, atau peristiwa tertentu.

Kembali merujuk buku Zaenuddin H Mahmud, dikatakan bahwa Mampang Prapatan yang merupakan nama kelurahan dan kecamatan di Jakarta Selatan itu secara etimologis berasal dari dua kata. Yakni, ‘mampang’ yang berarti terpampang atau terlihat jelas, dan ‘prapatan’ yang berarti perempatan jalan.

"Mungkin maksudnya, kawasan tersebut adalah simpang empat jalan yang sangat mudah terlihat dengan jelas terutama bagi para pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor yang melintas di kawasan itu," tulis Zaenuddin.

Sedangkan Jl Buncit Raya atau yang juga dikenal dengan sebutan ‘Warung Buncit’ merupakan jalan terusan dari Mampang ke arah Ragunan. Menurut Zaenuddin, dulunya merupakan kawasan pertanian yang mayoritas penduduknya beretnis Betawi. Nama kawasan ini sebenarnya ialah Kampung Pulo Kalibata.

Di kampung Pulo Kalibata itu-lah terdapat warung yang pemiliknya seorang beretnis Tionghoa yang bernama Bun Tjit.  Jadi mudah diterka, nama kawasan itu berasal dari nama Pak Bun Tjit tersebut.

Warung yang kira-kira dulu lokasinya di perempatan Jl Duren Tiga, atau di sekitar perbatasan Jl Mampang Prapatan dengan Jl Buncit Raya tersebut, diceritakan menjual segala kebutuhan rumah tangga. Dari sembako, minyak lampu, alat pertanian, hingga perkakas pertukangan. Dalam catatan sejarah, Bun Tjit disebut menikah dengan seorang perempuan etnis Betawi dan punya dua anak.

"Usaha warung Bun Tjit menjadi berkembang pesat dan semakin lama orang menyebutnya ‘warung milik Buncit’. Tanpa disadari perkembangan kampung juga semakin ramai seramai dan semaju warung itu, sehingga lama kelamaan orang lebih mengenal nama ‘Warung Buncit’ dari pada nama asli kampung itu sebelumnya," tulis Zaenudin.

Dari fenomena itu dapat disaksikan, bahwa fungsi penamaan dan nama ialah sebagai bagian dari konstruksi pembentuk identitas sebuah kelompok tertentu. Identitas ini tentu saja juga berkaitan dengan bagian diri seseorang yang bersifat psikologis. Penolakan masyarakat Betawi muncul dan didorong oleh ikatan emosional, yang telah terbangun sebegitu rupa antara individu atau kelompok dengan identitas yang ada pada nama tempat tersebut.

Sedangkan bicara soal pertanyaan remaja di Bintaro pada Gubernur DKI Jakarta dan lima wali kotanya, nama itu berasal dari nama kelurahan yang sudah ada sebelumnya, Kelurahan Bintaro.

Bernama lengkap Bintaro Jaya, kawasan itu merupakan sebuah kota mandiri yang pertama dibangun di Jabodetabek pada 1979. Kota Bintaro Jaya dikembangkan oleh PT Jaya Real Property. Pada awalnya kota mandiri ini dikembangkan di area Jakarta Selatan saja, namun kemudian meluas hingga ke Tangerang Selatan. Walhasil, kawasan peruhaman itu mencapai areal seluas 2.000 hektar.

Nama kelurahan itu sendiri ternyata berasal dari nama sebuah pohon bernama Bintaro. Pohon yang fungsi utamanya ialah sebagai peneduh jalan, kemungkinan besar dulunya banyak ditemui tumbuh di sekitar daerah sana. Sementara itu, tambahan nama “Jaya” jelas diberikan terkait dengan nama perusahaan pengembang atas kota mandiri tersebut. (W-1)