Festival Budaya Dieng atau istilah internasionalnya Dieng Culture Festival (DCF) merupakan pesta budaya yang diadakan setiap tahun di kawasan wisata dataran tinggi Dieng. Kawasan wisata ini, sebagian masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara, sebagian lagi masuk wilayah Kabupaten Wonosobo. Kerja sama antara dua dinas pariwisata dua kabupaten inilah yang melahirkan acara budaya yang diselenggarakan secara resmi sejak 2010.
Pekan Budaya Dieng pada 2006 adalah rintisan awal kerja sama dua kabupaten untuk menyelenggarakan acara tahunan yang menarik. Upacara ruwatan anak gimbal adalah peristiwa yang dipilih sebagai daya tariknya. Perkembangan berikutnya, pada 2010, kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Pandawa Dieng Kulon, bekerja sama dengan biro pariwisata, perusahaan sponsor, dan pegiat wisata ekologi mengembangkan acara tahunan ini dalam bentuk festival.
Festival Budaya Dieng pada dasarnya menggabungkan berbagai pagelaran seni budaya, upacara ruwatan, hingga pameran kerajinan dalam balutan wisata ekologi. Salah satu yang dikembangkan untuk meningkatkan kunjungan ke kawasan wisata yang berkaitan dengan festival ini adalah pengembangan rumah-rumah penduduk di sekitar dataran tinggi Dieng sebagai sarana penginapan atau homestay.
Konsep penginapan yang bersentuhan langsung dengan penduduk adalah salah satu kiat untuk meningkatkan jumlah kunjungan sekaligus memperpanjang lama kunjungan. Terbukti, hingga tahun kesembilan penyelenggaraan festival, jumlah rumah penduduk yang menjadi penginapan bagi wisatawan sudah berkembang lebih dari 200 hunian. Berdasarkan studi yang dilakukan Dinas Pariwisata Jawa Tengah, penyelenggaraan DCF pada 2018 telah mampu memutar roda perekonomian kawasan wisata dataran tinggi Dieng hingga sebesar Rp60 miliar.
Alif Faozi, koordinator Pokdarwis Dieng Kulon, saat wawancara dengan Antara menyebutkan bahwa penyelenggaraan DCF pada Agustus 2018 mampu mendatangkan lebih dari 160 ribu wisatawan dari berbagai daerah. Berdasarkan survei kecil yang dilakukan terhadap pengunjung festival, rata-rata pengunjung menghabiskan biaya antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per hari.
Penyelenggaraan DCF pada Agustus 2018 adalah kisah sukses tiga hari penyelenggaraan festival. Hari pertama festival diisi dengan Festival Desa Wisata Banjarnegara yang merupakan ajang pameran produk-produk unggulan wilayah sekitar. Berbagai kerajinan tangan, baju, dan pakaian, pernik-pernik cendera mata, aneka kuliner hingga pameran produk khas berbagai desa memenuhi 18 gerai. Seperti halnya penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya festival hari pertama dilanjutkan pada malam harinya dengan penyelenggaraan pertunjukan musik Jazz, ‘Jazz Atas Awan’ yang menghadirkan bintang tamu Gugun Blues Shelter.
Hari kedua penyelenggaraan DCF semakin meriah dengan berbagai festival yang unik seperti Festival Caping, Festival Domba, Festival Bunga, dan Festival Tumpeng. Acara disemarakkan dengan Kirab Budaya yang dilanjutkan dengan Sendratari Rambut Gembel. Malamnya, pertunjukan musik jazz hari kedua menghadirkan bintang tamu ‘kejutan’ yang tidak dipublikasikan sebelumnya. Letto, grup musik dari Yogyakarta adalah yang tampil saat itu. Puncaknya pada malam itu ajang festival dipenuhi dengan pelepasan ribuan lampion warna-warni yang menghadirkan suasana berbeda dalam dinginnya dataran tinggi yang terletak 2.093 meter di atas permukaan laut.
Puncak penyelenggaraan DCF ada pada hari ketiga. Ritual pemotongan rambut anak gimbal adalah budaya khas yang telah melekat sejak dahulu di masyarakat Dieng. Ruwatan ini dipercaya dapat mengusir nasib buruk atau kesialan bagi bocah gimbal dan masyarakat Dieng. Beberapa anak berambut gimbal diarak dan dipotong rambutnya di Candi Arjuna lengkap dengan berbagai prosesi ritual khas yang menyertainya. Salah satu syarat sahnya ritual ini adalah memenuhi permintaan si anak gimbal. Apapun yang diminta oleh anak itu harus dipenuhi sebelum dilakukan pemotongan rambut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowopada saat itu berkesempatan mengikuti ritual khas tahunan masyarakat Dieng yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang.
Mulai dari es krim coklat, ikan lele, sepatu roda, hingga ponsel dan tablet adalah berbagai permintaan yang muncul dari anak-anak berambut gimbal yang didatangkan dari wilayah sekitar. Salah satu anak, bahkan datang dari Cikampek, Jawa Barat.
Fenomena bocah berambut gimbal dan ritual pemotongan rambut adalah fenomena unik di Dieng sejak dahulu. Anak-anak itu adalah anak yang berusia antara 40 hari hingga 6 tahun rambutnya tumbuh gimbal secara alami. Kemunculan rambut gimbal biasanya didahului dengan naiknya suhu tubuh selama beberapa hari. Rambut gimbal akan tumbuh bersama dengan suhu tubuh anak yang membaik. Masyarakat sekitar dataran tinggi Dieng percaya bahwa anak-anak gimbal tersebut merupakan titipan leluhur mereka yang bernama Kyai Kolo Dete. Konon dia adalah salah seorang tumenggung yang ditugaskan mempersiapkan pemerintah di wilayah dataran tinggi Dieng pada masa transisi menjelang munculnya kerajaan Mataram pada abad 14.
Ada lagi versi yang mengatakan bahwa anak-anak berambut gimbal adalah titipan penguasa laut kidul kepada Kyai Kolo Dete. Anak-anak bajang, demikian sebutan bagi anak-anak gimbal itu adalah simbol kekuatan gaib yang dipercaya memiliki ‘tuah’ atau keistimewaan tersendiri dalam berbagai riwayat legenda Jawa. Denys Lombard, peneliti budaya Indonesia dari Sorbonne, Prancis, pernah menulis dalam bukunya Nusa Jawa, Lintas Budaya, jilid ketiga tentang Warisan Kerajaan Konsentris bahwa salah satu ciri khas budaya khas Indonesia, dalam hal ini Jawa, adalah bertemunya unsur-unsur kebudayaan yang lebih kuno di dalam ekspresi-ekspresi kebudayaan sesudahnya tanpa kehilangan makna pentingnya.
Keanekaragaman warisan budaya yang ada saat ini adalah bukti masyarakat Indonesia memiliki cetak biru yang mampu menjadi wadah yang lestari hingga mampu diapresiasi oleh masyarakat yang berumur ribuan tahun sesudahnya. Anak-anak berambut gimbal sebagai titisan dewa atau leluhur adalah ekspresi yang ditemukan di dalam berbagai kebudayaan kuno di berbagai belahan dunia.
Sosok anak berambut gimbal, diakui banyak ahli sebagai ekspresi kebudayaan yang sangat tua. Fenomenanya merentang dari catatan Mesir Kuno, kitab-kita Wedha Hindustan, hingga reinkarnasi Pendeta Lama di Tibet. Dan di Indonesia, warisan budaya tua, hingga hari ini masih hidup dan menghidupi walaupun didera tantangan perubahan zaman yang begitu deras. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban semua orang Indonesia yang sadar untuk menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang yang tidak ternilai harganya. (Y-1/T-1)