Indonesia.go.id - Komedi Stamboel, Juragan Tionghoa, dan Budaya Pertunjukan

Komedi Stamboel, Juragan Tionghoa, dan Budaya Pertunjukan

  • Administrator
  • Senin, 4 Februari 2019 | 04:31 WIB
SENI BUDAYA
  Pementasan wayang orang. Sumber foto: Wikipedia

Kendati bukan khas Indonsia, seni pertunjukan keliling yang memiliki unsur keragaman budaya mulai dari bahasa, musik pengiring, cara bertutur, seni gerak dan olah tubuh sampai dengan model dramaturgi yang berbeda adalah hal yang tidak akan dijumpai di wilayah negara lain.

Di pekarangan sebelah toko Babah Can Cin Hianak sore itu ada rame-rame. Rupanya karyawan toko sedang latihan ‘stambul’. Babah Oei Sing Bi beraksi dengan kostum badutnya. DIa memakai kacamata kemudian melepas bajunya, menyisakan perut yang menyembul keluar. Sontak orang-orang tertawa melihatnya. Dia menirukan tokoh badut Si Ahmat Sokrok.

Kisah di atas adalah kesaksian seseorang yang bernama C Aswotoendo alias B Tjitoroso saat dia melihat latihan teater di kota Blitar pada tanggal 20 bulan Juli tahun 1900. Matthew Isaac Cohen, peneliti teater pertunjukan Indonesia asal Australia, mengutip kisah itu dari majalah Bintang Soerabaia. Kisah inilah yang menjadi pembuka penelitian dia tentang teater pertunjukan rakyat Indonesia di pengujung abad 19 hingga awal abad 20.

Teater pertunjukan rakyat di zaman kolonial Belanda, khususnya di zaman kemakmuran sangat diberi ruang. Bentuk komedi stambul, nama yang dikenal pada waktu itu, adalah bentuk pementasan teater dengan menggunakan panggung berbingkai atau prosenium. Biasanya sebagai latar adalah layar besar yang ilustrasinya bisa berganti-ganti sesuai dengan cerita yang diinginkan.

Kru pertunjukan stambul rata-rata lima puluh orang atau lebih. Stambul adalah istilah populer di wilayah kolonial yang berbudaya Melayu. Kota-kota seperti Deli, Malaka, Singapura, Betawi, Makassar, dan Surabaya adalah metropolis pada masa itu yang mempertunjukkan seni pertunjukan bergaya seperti pentas-pentas yang ada di Kairo, Istambul, Paris, atau London. Dari sinilah istilah "stambul" berasal.

Penonton membeli karcis pertunjukan stambul untuk menonton empat sampai lima jam pertunjukan. Pada masa itu di sebuah kota kecil seperti Blitar bisa terlihat penonton-penonton mulai dari opsir belanda yang mabuk, keluarga priyayi Islam, Cina pemilik toko, orang keturunan Arab yang bersorban, hingga lonte, dan lain sebagainya. Bagi yang tidak kuat bayar, cukup mendengar dari luar atau menyelundup masuk.

Pertunjukan populer berkeliling seperti stambul inilah yang membentuk wajah budaya populer Indonesia dalam perkembangannya kemudian. Awal sejarah pertunjukan kelompok Komedie Stamboel adalah Surabaya pada 1891. Kelompok ini terdiri dari aktor-aktor berwajah Arab, musisi lokal, dan juragan keturunan Cina. Cerita kisah seribu satu malam dengan musik, efek, dan latar berganti-ganti adalah pentas yang sangat digemari.

Awalnya Eksklusif

Komedi Stamboel, yang awalnya hanya dipertunjukkan secara eksklusif di wilayah Pecinan Surabaya, dalam waktu tak lama berubah menjadi pentas keliling. Kota-kota metropolis yang tumbuh makmur di wilayah negara kepulauan pada masa itu tidak sabar untuk melihat pertunjukan yang spektakuler pada masanya.

Pertunjukan keliling Komedi Stamboel inilah yang kemudian mengundang para pencari keuntungan, biduan, artis, penari didikan istana, hingga orang biasa melebur menjadi kelompok-kelompok pertunjukan keliling yang menemukan istilah lokalnya dengan nama Tobong. Hingga zaman sekarang, ini jejak kesenian tobong walaupun mengalami pasang surut, bahkan sangat surut, belakangan ini, masih menjadi karakter kesenian populer Indonesia.

Seni pertunjukan keliling atau tobong bukanlah model yang khas dari Indonesia. Di berbagai belahan dunia ini model pertunjukan keliling sangat lazim. Tetapi seni pertunjukan keliling yang memiliki unsur keragaman budaya mulai dari bahasa, musik pengiring, cara bertutur, seni gerak dan olah tubuh sampai dengan model dramaturgi yang berbeda adalah hal yang tidak akan dijumpai di wilayah negara lain.

Barangkali hanya pertunjukan wayang kulit, wayang golek, atau wayang beber yang sejarahnya bisa ditarik ratusan tahun sebelum seni pertunjukan tobong berkembang di negara kepulauan Indonesia. Yang pasti seni pertunjukan keliling baik dalam bentuk seni tradisi maupun seni populer menurut penelitian Matthew Cohen tidak lepas dari peran juragan-juragan keturunan Cina yang menyambut kedatangan kapal-kapal dagang yang berdatangan di kota-kota pelabuhan nusantara. Catatan seorang pelancong dari Eropa di abad ke-17 menceritakan pertunjukan opera Cina untuk menandai kedatangan dan kepergian kapal dagang di pelabuhan-pelabuhan yang ada di pantai utara Jawa. Pertunjukan itu sudah menggunakan bahasa Melayu yang menjadi bahasa perdagangan sejak lama.

Tak heran jika dalam perjalanan sejarah kebudayaan populer Indonesia peran keturunan Cina sangat kuat. Bahkan bisa dibilang tidak akan ada kebudayaan Indonesia tanpa peran sponsor, aktor, artis, atau sutradara keturunan Cina.

Siapa orang Indonesia yang tidak mengenal Srimulat. Pertunjukan komedi gaya "Jawa" yang populer sejak tahun 70-an hingga sekarang ini dibentuk oleh Teguh, alias Khe Tjien Tiong. Teguh Karya alias Liem Tjoan Hok, adalah sutradara legendaris film Indonesia yang hingga sekarang sangat diakui kualitasnya. Didik Nini Thowok alias Kwee Tjoen Lian adalah maestro tari tradisional yang diakui oleh dunia. Ian Antono atau Jusuf Antono Djojo alias Jauw Hian Ling adalah gitaris rock yang warna permainan gitarnya memunculkan warna khas Indonesia. Log Zhelebour alias Ong Oen Lok adalah produser musik rock legendaris yang melahirkan sekian banyak legenda musik dari sejak 70-an hingga 90-an.

Sebagai penutup diceritakan sebuah kisah dari Puri Mangkunegaran Solo di akhir abad 19. Saat itu Puri Mangkunegaran sedang mengalami krisis karena kegagalan panen kopi dan merosotnya ekspor gula ke eropa akibat kemunculan gula bit dan gula murah dari Amerika. Akibatnya istana tidak mampu lagi menggaji para senimannya yang umumnya adalah penari dan nayaga gamelan. Para seniman yang disebut sebagai Langenpraja itu tidak bisa digaji lagi oleh istana. Sebagian para seniman kemudian membentuk kelompok-kelompok untuk keperluan tanggapan atau keliling. Sebagian lagi masih bingung harus bekerja apa.

Buah Melihat Peluang

Gan Kam, seorang pengusaha batik dari Kampung Kemlayan terinspirasi dari pertunjukan Komedi Stamboel yang pernah dia lihat, melihat keadaan itu sebagai peluang. Karena kedekatan sejarah keluarganya pada zaman Perang Jawa, dia mempunyai kedekatan dengan Pura Mangkunegaran. Walhasil dia bisa melobi Pura Mangkunegaran untuk memboyong para abdi Langenprajanya untuk membentuk grup wayang orang yang dia beri nama Wayang Orang Panggung. Panggung prosenium yang dia buat di bekas pabrik batik Singosaren barangkali merupakan panggung wayang orang pertama yang ada di Indonesia.

Singkat kata, Wayang Orang Panggung besutan Gan Kam mampu menyedot banyak pengunjung. Koreografi wayang wong istana dimodifikasi oleh Gan Kam agar sesuai dengan selera orang kebanyakan dalam durasi yang jauh lebih singkat. Dialog gaya opera Komedi Stamboel juga dimunculkan dengan porsi yang diutamakan. Aransemen juga diubah agar mampu mengiringi pertunjukan yang pendek dan mampu memberi efek seru yang disukai.

Melihat kesuksesan itu, istana Mangkunegaran tidak tinggal diam. Daripada keliling seperti Komedi Stamboel, wayang orang panggung diberi tempat menetap di Taman Sri Wedari. Secara resmi Wayang Orang Sri Wedari didirikan 1911. Dari kelompok inilah kemudian akan muncul Wayang Orang Ngesti Pandowo pimpinan Ki Sastrosabdo yang merupakan guru dari maestro wayang kulit yang belum ada tandingannya hingga saat ini, yaitu Ki Nartosabdo. (Y-1)