Bagaimana tingginya apresiasi terhadap posisi kaum perempuan di Indonesia masa lalu sedikit atau banyak sebenarnya tecermin hingga saat ini. Lihatlah, Kota Jakarta disebut sebagai ‘Ibu Kota’ dan bukan ‘Bapak Kota’, misalnya. Juga kasat mata pada istilah ‘Ibu Pertiwi’ sebagai padanan dari kata ‘tanah air’ atau bahkan jadi personifikasi ‘Indonesia’ atau ‘Nusantara’.
Bahkan tak terkesan separuh hati saat menempatkan kata Ibu sebagai metafora. Sebut saja posisinya dalam lagu kebangsaan Indonesia, ‘Indonesia Raya’, yang dikarang oleh WR Supratman dan diperdengarkan pertama kali dalam momen Sumpah Pemuda 1928, misalnya, tampak jelas kata ini memiliki sinonim arti dengan kata ‘tanah air’ dan ‘Indonesia’.
“Indonesia, tanah airku. Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri. Jadi pandu ibuku”
Tentu tak hanya itu. Simaklah, lagu nasional berjudul Ibu Pertiwi. Sekalipun tidak terlalu pasti siapakah pengarang lagu ini, hampir bisa dipastikan semua warga Indonesia tentu mengenal dengan baik lagu nasional bercorak himne ini. Mari disimak utuh lirik lagu ini:
“Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Bak intannya tergenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa”
Kata ‘pertiwi’ secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, ‘prthvi’ atau ‘prthivi’. Nama seorang dewi dalam agama Hindu. Ibu Pertiwi dalam bahasa Sanskerta, ‘Prathivi Mata’, yang juga bermakna ‘Ibu Bumi’. Mitologi Hindu, yang salah satu sumbernya ialah Rgweda, seringkali melihat posisi langit dan bumi sebagai dua entias yang berbeda, namun keberadaannya sekaligus saling melengkapi satu dengan lainnya. Ibu Pertiwi atau Prathivi Mata dengan demikian juga mensyaratkan hadirnya si-‘Dyaus Pita’ atau Bapak Angkasa.
Dipilihnya metafora ‘ibu’ dan bukan ‘bapak’ di dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya; juga Ibu Pertiwi dan bukan Bapak Angkasa dalam lirik lagu Ibu Pertiwi, sedikit atau banyak jelas mengisyaratkan jejak-jejak sejarah bagaimana kuatnya posisi kaum perempuan di masa lalu.
Antara Perempuan atau Wanita
Benar, bahwa dalam bahasa Indonesia sendiri hingga kini masih belum sepenuhnya hilang perdebatan mengenai tafsir nilai terhadap kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’. Perdebatan seputar pada pilihan kata yang dianggap memiliki makna atau nilai yang lebih tinggi atau mulia. Perdebatan ini mulai mengemuka kuat sejak era 1990-an, sebagai bagian dari kritik terhadap politik bahasa rezim Orde Baru, yang kental nilai-nilai patriarkhinya.
Sudarwati dan Jupriono dalam ‘Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, dan Pragmatik’ (1997) memaparkan, bahwa kata perempuan terang bernilai lebih tinggi daripada kata wanita. Menurutnya secara etimologis, berasal dari bahasa Sanskerta, ‘mpu’, ‘empu’, yang berarti 'tuan', atau 'orang yang mahir’, pun juga berarti 'kepala', atau 'yang paling besar'. Maka dari sini dikenal kata empu jari yang berarti 'ibu jari', atau empu gending yang berarti 'orang yang mahir mencipta tembang'.
Kata perempuan juga berhubungan erat dengan kata ‘ampu’ yang berarti 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah negeri'; dan masih ada arti lainnya yaitu 'penahan, penyangga, penyelamat'.
Selain itu, masih merujuk artikel di atas, kata perempuan juga berakar erat dari kata ‘empuan’; kata ini mengalami pemendekan menjadi ‘puan’ yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan yang berfungsi sebagai 'sapaan hormat pada lelaki'.
Tak jauh berbeda ialah merujuk Kamus Jawa Kuno yang disusun oleh PJ Zoetmulder. Makna kata ‘perempuan’ secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, ‘mpu’, ‘empu’, ‘ampu’, yang artinya artinya orang yang terhormat, tuan, atau yang mulia.
Sudah tentu di kalangan para aktivis feminis, yang peduli pada isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, sudah tentu memilih diksi ‘perempuan’ ketimbang wanita untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya.
Berbeda diametral dengan kata wanita, yang cenderung didefinisikan oleh kaum laki-laki sehingga lebih terkesan bermakna sebagai obyek atau bahkan benda, bersifat pasif dan juga ditandai inferioritas diri. Maka sebaliknya kata perempuan justru tercakup makna perihal otonomi diri dan kesadaran posisi diri sebagai subyek, yang aktif serta dinamis, plus memiliki rasa kepercayaan diri yang unggul.
Menariknya, bahkan sejak zaman pergerakan nasional sebenarnya di antara kalangan aktivis perempuan saat itu telah muncul “kepekaan” bahasa untuk memilih diksi kata perempuan ketimbang wanita. Pasca-Sumpah Pemuda 1928, diselenggarakan sebuah "Kongres Perempoean Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928. Bertempat di Yogyakarta, kongres ini tiba pada kesimpulan bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak lagi terjajah. Langkah pertama yang dilakukan ialah membentuk "Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI).
Pada Kongres Perempoean Indonesia ke-3 di Bandung pada 1938, keputusan kongres menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Merujuk pada tanggal dilaksanakannya kongres kaum perempuan yang pertama ini pulalah, pada momen ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia, Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 pada 16 Desember 1959 kemudian mengukuhkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai ‘Hari Ibu’.
Bahwa, hanya berselang setahun Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia, entah mengapa kemudian justru berganti nama menjadi ‘Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia di 1929. Ya, memang tidak terlalu jelas latar belakang perdebatan yang menjadi dasar perubahan nama wadah itu.
Namun demikian sejak itu pula terlihat bahwa pilihan pada diksi kata perempuan mulai menghilang, dan nantinya berpuncak perubahan nama forum kongres itu sendiri, yaitu dari Kongres Perempuan Indonesia menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada 1946.
Dari semua organisasi kaum perempuan arus utama yang bermunculan, bahkan yang terbesar dan sekaligus termaju sekalipun, sebutlah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang berasal dari Gerwis (Gerakan Wanita Sadar) yang berdiri pada 1950 dan pada 1957 ditaksir memiliki anggota ratusan ribu, pun ternyata memilih diksi kata wanita daripada perempuan.
Dalam struktur pemerintahan di masa Orde Baru pada 1978 muncullah ‘Menteri Muda Urusan Peranan Wanita’. Berjalan satu periode, pada 1983 posisi ini naik kelas menjadi ‘Menteri Negara Urusan Peranan Wanita’. Dan barulah memasuki pasca-Orde Baru, tepatnya masa Presiden Abdulrrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001), kementerian ini berubah nomeklatur menggunakan diksi perempuan: ‘Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan’. Memasuki masa pemerintahan Presiden SBY (2009-2014), nomenklatur kembali berubah menjadi ‘Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak’ hingga sekarang.
Tulisan ini tak bermaksud membahas konteks sejarah pasang dan surutnya penggunaan diksi kata perempuan dalam dinamika Indonesia Modern. Tulisan ini lebih bermaksud mengajak sidang pembaca mundur jauh ke periodesasi sejarah sebelum Republik dilahirkan, dan menyimak catatan sejarah kaum perempuan yang sanggup menorehkan posisi dirinya di puncak kekuasaan.
Catatan Kronik Sejarah
Membaca karya Anthony Reid yang berjudul ‘Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (1450-1680) setidaknya akan membuka mata kita, bahwa posisi kaum perempuan menikmati ruang otonomi yang cukup tinggi khususnya pada peran ekonomi.
Menurut Reid, kegiatan di pasar sangat dikuasai oleh kaum perempuan. Hipotesa ini dibangun dari beberapa catatan di sekitar era Kurun Niaga itu.
“Perempuan-lah yang melakukan tawar-menawar di Maluku, membuka usaha, membeli dan menjual” (Gatviio, 1544).
“Sudah lazim bagi suami untuk mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. Hanya perempuan yang pergi ke pasar, dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum pria Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang” (Thomas Raffles, 1817).
Dari ruang otonomi di bidang ekonomi inilah, seturut Reid, membuat kaum perempuan juga menikmati otonomi dalam banyak aspek kehidupan lainnya, seperti pernikahan yang secara umun cenderung monogami kecuali sedikit di kalangan bangsawan, keberanian mengajukan hak bercerai, bahkan hingga menuntut kepuasan aktivitas seksualnya. Tapi pokok tulisan ini bukanlah di sana.
Yang penting dicatat di sini ialah, Reid mengutip catatan Coolhaas mengatakan, bahwa di abad ke-17 para perempuan pemegang kekuasaan di Aceh, Jambi, dan Indragiri juga berdagang dan melakukan spekulasi bisnis, yang paling tidak sama gigihnya dengan kaum laki-lakinya.
Mari bertandang ke Aceh. Tercatat di sepanjang 1641-1699 atau selama 59 tahun, Kerajaan Aceh Darussalam selalu diperintah oleh empat orang ‘Sultanah’. Sultanah sendiri ialah gelar raja perempuan dalam bahasa Arab. Ratu-ratu ini memerintah secara beruntun dan saling mewarisi tahta kepada ratu sesudahnya. Adapun keempat ratu itu ialah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), Nurul Alam Nakiyatuddin Syah (1675-1678), Inayat Syah Zakiyatuddin Syah (1678-1688), dan Kamalat Syah (1688-1699).
Jauh sebelum era itu, kepemimpinan kerajaan di Aceh juga pernah dipegang oleh perempuan. Sebutlah nama Puteri Lindung Bulan (1333–1398) yang memerintah Kerajaan Teuming atau juga Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (1400–1428) yang memerintah Kerajaan Samudra Pasai.
Sedangkan dari ranah keperwiraan tercatat nama sohor pemimpin perang perempuan, Laksamana Malahayati dari abad ke-16 dan Cut Nyak Dhien awal abad ke-20.
Tanah Jawa tentu juga mencatat kisah sejarah kepemimpinan kaum perempuan yang menarik. Sebutlah Ratu Kalinyamat, sebagai anak Sultan Trenggana dan kepala daerah di Jepara (1579-1599), sebuah vasal Kerajaan Demak, telah memainkan peranan penting. Tak hanya di bidang ekonomi melainkan juga di bidang politik, baik di tingkat lokal maupun global.
Di tingkat lokal, Ratu Kalinyamat berperan penting pada masa transisi kekuasaan pasca-Sultan Trenggana. Sementara di tingkat global, bukti sohor dan pengaruhnya dapat ditunjukkan dari adanya permintaan Raja Johor kepada Ratu Kalinyamat untuk ikut mengusir Portugis dari Malaka pada 1550. Ratu Kalinyamat menyetujui anjuran itu. Maka pada 1551 Ratu Kalinyamat mengirimkan ekspedisi ke Malaka. Dari berbagai sumber disebutkan, setidaknya terapat 200 buah kapal perang dari persekutuan masyarakat Islam bergerak menyerbu ke Malaka, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara.
Di era Kerajaan Majapahit muncul nama Tribhuwana Wijayatunggadewi. Penguasa ketiga dari Wangsa Ken Arok ini memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhiseka raja perempuan ini ialah Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Peran penting Tribhuwanattunggadewi ialah sebagai peletak fondasi munculnya Raja Hayam Wuruk, raja terbesar Kerajaan Majapahit yang berhasil menorehkan masa keemasan di Nusantara.
Mundur jauh ke awal abad ke-7. Catatan berita China dari Dinasti Tang (618–906) menerakan keberadaan Ho-ling atau Jawa. Dikatakan bahwa sejak 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (Simo). Ia ialah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling dikenal sangat aman dan tentram.
Folklore yang berkembang di Jawa Tengah utara menceritakan Ratu Shima. Seorang Maharani legendaris, yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu. Dikisahkan Ratu Shima mendidik rakyatnya selalu jujur dan menindak keras kejahatan. Ia menerapkan hukuman keras bagi siapa saja yang melakukan kejahatan.
Syahdan, Raja Ta-shih, seorang raja dari seberang lautan mendengar kemashuran Kerajaan Kalingga, yang terkenal jujur dan taat hukum. Bermaksud menguji kabar itu, ia meletakkan sekantung emas di persimpangan jalan dekat sebuah pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang menyentuh barang yang bukan miliknya. Konon, hingga tiga tahun lebih, barulah kantung berisi emas itu disentuh oleh putra mahkotanya sendiri.
Atas nama law enforcement, Ratu Shima kemudian menjatuhkan hukuman mati. Namun para penasehat meminta supaya Ratu Shima mengampuni kesalahan putra mahkotanya. Karena kaki pangeranlah yang bersalah menyentuh kantung berisi emas, para penasehat memohon pengampunan supaya cukup kakinya pangeran saja yang dihukum.
Walhasil, Ratu Shima pun membatalkan hukuman mati dan memerintahkan supaya jari-jari kaki putra mahkotanya dipotong sebagai peringatan bagi seluruh penduduk. Mendengar kisah tersebut Raja Ta-shih dari seberang lautan itu menjadi takut dan mengurungkan niat untuk menyerang Kerajaan Kalingga.
Kembali masuk era Indonesia modern. Tentu di sini pantas disebutkan nama Megawati Soekarnowati sebagai Presiden Keempat 2001-2004. Naiknya seorang presiden perempuan yang pertama ini, bagaimanapun merupakan sebuah lompatan eksponensial secara kebudayaan.
Bagaimana tidak, Amerika yang konon adalah negeri kampiun praktik demokrasi, namun di usianya yang hampir dua setengah abad toh nisbi belum pernah memiliki seorang presiden perempuan. (W-1)