Indonesia.go.id - Di Balik Ritual Tatung, Resep Rahasia Zaman Lampau

Di Balik Ritual Tatung, Resep Rahasia Zaman Lampau

  • Administrator
  • Senin, 25 Februari 2019 | 04:57 WIB
SENI BUDAYA
  Pawai Perayaan Cap Go Meh 2570/2019 di Singkawang, Kalbar. Sumber foto: Antara Foto

Orang umumnya menghindari derita dan rasa sakit, tetapi saat suasana perang terjadi kebersamaan yang muncul karena kesamaan penderitaan memunculkan ikatan yang mengikat secara kolektif.

Cap berarti sepuluh, Go berarti lima, dan Meh adalah malam. Cap Go Meh adalah puncak perayaan tahun baru Cina yang jatuh pada hari ke lima belas setelah pergantian kalender. Selama itu pula Festival Bulan Purnama atau Festival Lampion adalah penanda berkumpulnya kawan, saudara, dan handai taulan untuk mempererat ikatan persaudaraan. Kembang api, gong, simbal, dan tambur yang bertalu-talu dipukul keras-keras mengiringi arak-arakan penolak bala. Menurut tradisi, kemeriahan itu sengaja dilakukan untuk menakut-nakuti dan mengusir roh-roh jahat yang akan membawa bencana dan kesialan di tahun yang akan datang.

Perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, adalah salah satu perayaan komunal yang sangat unik di dunia. Perayaan di wilayah yang biasa disebut sebagai "Hongkongnya Indonesia" ini memadukan kepercayaan Cina kuno, budaya Dayak setempat, dan tradisi spiritual Melayu yang melahirkan prosesi ritual berupa arak-arakan penolak bala yang tidak hanya mengusung patung-patung atau simbol-simbol dewata, tetapi mengusung juga "aksi" para Tatung atau orang-orang yang rela menusuk-nusuk tubuh mereka dengan jeruji, kait, pedang, jarum, hingga rantai pemberat.

Aksi yang menurut persepsi orang sekarang bisa dibilang keji, ekstrim, liar, bahkan biadab ini adalah tradisi yang telah melewati ratusan bahkan ribuan tahun sejarah manusia. Di belahan dunia lain, di kota Karbala, Irak, tiap tahun ratusan orang berkumpul untuk meratapi kematian Imam Husain bin Ali. Mereka memukul-mukul kepala dan punggung mereka dengan pedang, tombak, dan benda-benda tajam lainnya hingga sepanjang jalan bermandikan darah. Tiap tahun dalam perayaah Jumat Agung di Filipina, para martir merelakan diri mereka menjalani penyaliban lengkap dengan paku yang ditancapkan melewati telapak tangan dan kaki mereka ke tiang salib. Sementara itu di Phuket, Thailand, prosesi yang mirip dengan yang terjadi di Singkawang mengiringi perayaan Sembilan Dewa atau Vegetarian Festival, yang ironisnya mempertunjukkan bagian kulit dan daging manusia yang ditusuk-tusuk berbagai benda tajam mulai dari jeruji, payung besi, hingga skuter mainan. 

Dimitrios Xygalatas, antropolog dari University of Connecticut, berkeliling berbagai tempat di dunia untuk menjawab satu pertanyaan. Yakni, bahwa dengan segala risiko dan ekstrimitas yang ada, kenapa praktik semacam itu masih berlangsung, tidak punah, bahkan lestari. Lebih dari sepuluh tahun dihabiskan Xygalatas mengunjungi berbagai tempat dari Spanyol, Yunani, Bulgaria, Tamil, Phuket, hingga Mauritius.

Xygalatas adalah generasi antropolog yang mau repot. Alih-alih meneliti objek penelitiannya ke dalam ruang lingkup laboratorium yang mempunyai berbagai kelengkapan penelitian, Xygilitas membalik metodenya. Dia membawa para peneliti dari antropologi, sosiologi, psikologi, kedokteran, neurosains, hingga perekam film dokumenter ke tempat kejadian. Yang diteliti Xygalatas, adalah masyarakat yang melakukan ritual, konskuensinya adalah berbulan-bulan persiapan dan puluhan kru lengkap dengan 40 paket alat ukur presisi tinggi yang bisa dikenakan pada para pelaku ritual termasuk juga pada kerabatnya sampai dengan penontonnya.

San Pedro Manrique adalah desa di Spanyol yang terkenal dengan ritual berjalan di atas bara api. Berbagai alat sensor telah dipasang pada para calon "pejalan api" yang akan beraksi malam itu. Alat sensor lainnya dipasang pada kerabat yakni, saudara, pacar atau istri calon "pejalan api". Sensor lainnya dipasang pada penonton di luar kerabat.

Tiga ribu orang berkumpul di sebuah kalangan kecil yang dipersiapkan untuk ritual itu.  Di tengah kalangan yang terbuat dari tanah liat itu telah menyala tempat bara api yang berbentuk kotak persegi panjang  ukuran 2 x 7 meter dengan kedalaman sekitar 20 cm lengkap dengan dua ton arang yang terbuat dari kayu Oak yang sudah dibakar sejak hari petang. Alat ukur menunjukkan panas dari bara sudah menunjukkan 677 derajat Celsius.

Petang pun berganti malam. Para pejalan menari mengelilingi bara api ditingkahi sorak-sorai dan tepuk penonton menyanyikan lagu-lagu setempat. Tiba-tiba musik berhenti. Orang bersiap-siap. Para pejalan melepas sepatunya dan tampak tegang menunggu gilirannya. Mereka adalah lelaki dan perempuan dari berbagai latar belakang. Anak muda, pensiunan, petani, ibu rumah tangga, aparat desa, hingga pendeta. Satu kesamaan antarmereka yakni semua lahir di San Pedro. Semua mata penonton tertuju ke mereka, kerabat menanti dengan berdebar-debar, pengambil gambar siap-siap dengan kameranya, para peneliti memonitor alat-alatnya.

Tepat tengah malam, suasana menjadi hening ternyata tepat tengah malam. Para pejalan menunggu tanda dari trompet yang akan mengiringi langkah mereka. Dan, mulai, tap-tap-tap-tap satu per satu pejalan berjalan melewati bara dengan langkah-langkah yang khas. Beberapa berjalan sambil menggendong istri atau kerabatnya. Tiap kali berhasil melewati bara mereka disambut suka cita kerabatnya, peluk dan cium disertai tepuk tangan penonton. Begitu para pejalan selesai menjalankan hajatnya, acara dilanjutkan dengan kemeriahan pesta dansa, makan dan minum sendau gurau merayakan keseleamatan bersama.

Tinggal para peneliti mencermati berbagai hasil alat sensor. Ternyata mencengangkan Para "pejalan api" saat akan melakukan ritualnya tercatat jantungnya berdenyut mendekati 200 detak per menit. Dengan kata lain tekanan darah yang dihasilkan bisa membuat para pelaku terkena serangan jantung. Sensor lain menunjukkan para istri, pacar atau kerabat juga menunjukkan detak jantung yang mendekati para pelaku. Sedangkan teman, hanya sedikit berada di bawahnya dan penonton luar adalah yang paling rendah ukurang denyutnya. Semua fakta ini menunjukkan ikatan kolektif yang terbangun selama ritual berlangsung. ikatan ini menunjukkan terciptanya kebersamaan, keterikatan yang kuat, dan perasaan menjadi satu. Tetapi apa manfaat dari munculnya kebersamaan ini? Xygalatas mencari tahu jawabannya ke tempat lain.

Tempat yang dia pilih adalah Pulau Mauritius di tengah Samudra Hindia tempat perayaan Thaipusam, yang serupa dengan ritual di Singkawang berlangsung. Para calon "dukun" atau di Singkawang disebut Tatung beberapa hari sebelumnya, antara dua minggu hingga sepuluh hari telah menjalani persiapan yang diperlukan. Persiapan itu meliputi puasa, pemberkatan, pembersihan diri, dan tidur di lantai. Dan pada hari yang ditentukan seperti pada perayaan Cap Go Meh, para 'dukun" menusuk-nusuk bagian tubuh mereka dengan berbagai benda tajam yang mereka sukai. Beberapa orang menarik beban berat yang disangkutkan dengan rantai ke punggung mereka, dan beberapa berjalan di atas sandal terbuat dari bantalan paku sepanjang beberapa kilometer.

Singkat kata, dengan melakukan beberapa eksperimen survei, termasuk di dalamnya mengisi beberapa lembar pertanyaan survei terdapat petunjuk bahwa pelaku yang lebih ekstrim dalam melakukan ritual cenderung lebih besar untuk mendermakan apa yang dia punya. Peneliti memberikan sejumlah uang saat melakukan survei. Kesimpulannya, ekstrimitas itu terkait dengan terbentuknya ikatan sosial. Semakin besar derita yang mereka rasakan dalam ritual semakin efektif kohesi sosial yang dihasilkan.

Sociolog Prancis Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of Religious Life (1912) menulis bahwa ritual kolektif bisa memunculkan semacam "arus listrik" yang menghasilkan kenikmatan ekstatik yang dia istilahkan sebagai "collective effervercence" atau bahasa gampangnya penyegaran kolektif. Dengan kata lain ritual adalah perekat sosial bagi masyarakatnya.

Ritual ekstrim adalah resep kuno yang ampuh bagi komunitas. Xygalatas menggarisbawahi bahwa para antropolog awal dengan segala keterbatasannya ternyata menyimpulkan dengan benar. Orang umumnya menghindari derita dan rasa sakit, tetapi saat suasana perang terjadi kebersamaan yang muncul karena kesamaan penderitaan memunculkan ikatan yang mengikat secara kolektif. Dalam masyarakat yang relatif damai tetapi menyimpan potensi kekacauan dan konflik laten, ritual yang ekstrim berfungsi sebagai resep rahasia penjaga kebersamaan dan kerukunan. (Y-1)