Indonesia.go.id - “Trance” ala Sintren

“Trance” ala Sintren

  • Administrator
  • Selasa, 9 April 2019 | 08:45 WIB
BUDAYA
  Kesenian tari tradisional Sintren. Sumber foto: Pesona Indonesia

Sarat unsur magis, awalnya Sintren hanya dipentaskan saat bulan purnama. Sekarang, tarian ini telah menjadi sarana hiburan.

TRANCE tidak melulu identik dengan dugem atau dunia gemerlap. Kondisi ini juga dapat dijumpai pada penari Sintren.

Sintren adalah seni tari yang berasal dari Indramayu. Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian tradisional rakyat ini berkembang hingga ke Cirebon, Majalengka, Kuningan, Serang, Pekalongan dan Pemalang. Sintren sarat unsur magis.

Secara etimologis, Sintren terdiri dari dua suku kata, “si” dan “tren”. “Si” dalam bahasa Jawa berarti dia. “Tren” bermakna “tri” yang merupakan panggilan dari kata “putri”. Sesuai namanya, si putri menjadi pemeran utama dalam tari Sintren.

Keunikan Sintren, penari utama harus lah perempuan yang masih gadis. Si Putri demgan busana sehari-hari dimasukkan ke dalam kurungan tertutup kain. Setelah itu, pawang membawa anglo berisi kemenyan dan mengelilingi kurungan sembari membaca mantra. Terakhir, kurungan dibuka dan penonton kan melihat si putri telah berganti busana. Selanjutnya sintren menari kondisi trance atau kesurupan roh bidadari.

Karena ada unsur magis, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti selama tarian berlangsung. Ada beberapa versi mengenai riwayat Sintren. Walaupun beda versi, kisahnya sama-sama tentang cinta yang tidak direstui sang ayah.

Percintaan Tidak Direstui

Raden Sulandono adalah putra Bupati Mataram, Bahurekso, dari hasil pernikahannya dengan Rr Rantamsari. Ia mencintai seorang perempuan bernama Sulasih. Namun hubungan mereka tidak mendapat restu sang bupati.

Berangkat dari penolakan tersebut, Rr Rantamsari memerintahkan Sulandono bertapa. Ia juga membekali selembar sapu tangan sebagai sarana Sulandono bertemu Sulasih setelah masa bertapa selesai.

Agar Sulandono dapat berjumpa dengan Sulasih, Rr Rantamsari memberi satu syarat. Sulasih harus menari saat ada upacara bersih desa di bulan purnama. Kekasih Sulandono ini menyanggupi syarat tersebut.

Ketika upacara bersih desa tiba, Sulasih menari. Sulandono memanfaatkan kesempatan ini untuk sembunyi-sembunyi menemui Sulasih sembari membawa sapu tangan pemberian Rr Rantamsari. Saat sang kekasih menari, ia melempar sapu tangan hingga Sulasih kesurupan dan pingsan. Bagian inilah yang disebut Sintren.

Dalam kondisi trance, Sulasih dibawa kabur Sulandono. Kemudian keduanya akhirnya menikah.

Menelusuri Jejak Kekasih

Versi lain asal-mula Sintren adalah kisah cinta  Bupati Mataram, Bahurekso, dengan Rr Rantamsari yang tidak direstui Sultan Agung Raja Mataram.

Demi memisahkan Bahurekso dari Rr Rantamsari, Sultan Agung memerintahkan sang putra menyerang VoC di Batavia. Bahurekso pun menjalankan perintah sang ayah. Menggunakan perahu Kaladita, ia berangkat ke Batavia.

Sebelum berpisah, ia memberi tanda cinta berupa sapu tangan. Ternyata Bahurekso gugur di medan perang. Rantamsari amat sedih dan berusaha menelusuri jejak gugurnya sang kekasih. Selama pencarian, ia menyamar sebagai penari Sintren bernama Dewi Sulasih.

Berbekal sapu tangan pemberian sang kekasih, Rantamsari berhasil menemukan Bahurekso yang ternyata masih hidup. Setelah berjumpa kembali, keduanya tidak kembali ke Mataram, melainkan pergi ke Pekalongan dan hidup bersama hingga akhir hayat.

Di kota tersebut, Bahurekso juga bertapa agar kesaktiannya bertambah dan dapat mengalahkan VoC.

Melihat asal-mulanya, Sintren memang sarat unsur magis. Babak demi babak tarian ini juga tidak dapat dilepaskan dari istilah “balangan” dan “tomohon”. Balangan adalah babak ketika penonton melempar penari Sintren dengan sesuatu. Pada babak ini, Sintren akan jatuh pingsan. Kemudian pawang memainkan perannya mengasapi Sintren dengan kemenyan dan mengusap wajah si penari agar kembali dirasuki roh bidadari dan dapat melanjutkan tarian.

Temohon merupakan babak ketika Sintren menghampiri penonton sembari membawa tampah untuk meminta tanda terima kasih. Di babak ini penonton biasanya memberi uang. Beda dengan dahulu, tari Sintren sekarang tidak selamanya benar-benar mengalami kondisi trance karena sejumlah sanggar tari menghilangkan unsur magis pada tarian. (K-RG)