Orang yang berilmu adalah orang yang benar-benar memperhatikan kata-katanya. Ungkapan ini disampaikan oleh pengasuh pondok pesantren Raudhah Al Hikam KH Zein Djarnuzi, saat memberikan sambutan pada acara “Ngaji Mantiq untuk Penguatan Literasi Publik, yang berlangsung pada Maret lalu.
Ungkapan itu sederhana tetapi mengena. Memperhatikan kata-kata adalah ruang lingkup yang mendasari Ilmu Mantiq. Mantiq dalam kaidah tata bahasa Arab adalah sebuah kata sifat. Kata dasarnya adalah “nutq” yang artinya adalah ucapan atau sumber pembicaraan. Kata bahasa Arab lainnya adalah “kalam”. Oleh karenanya Mantiq juga disebut sebagai Ilmu Kalam.
Bahasa Indonesia pada saat ini mengenal istilah logika. Ini adalah kata benda. Kamus Bahasa Indonesia menerangkannya sebagai pengetahuan tentang kaidah berpikir. Kata sifatnya logis, yang artinya masuk akal.
Ahli Pikir Ujung Sumatra
Ilmu Mantiq atau logika dalam tradisi Islam telah menjadi kajian di wilayah Nusantara sejak abad pertengahan. Data-data epigrafi dan arkeologi bahkan menunjukkan pengaruh peradaban Islam di Nusantara telah ada sejak masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkembang di Afrika Utara. Makam Fatimah binti Maimun di Leran, Jawa Timur, yang diperkirakan didirikan di permulaan abad 11, adalah bukti yang menguatkan adanya masyarakat kosmopolit yang berkembang di pantai utara Jawa.
Sejarah dunia mencatat pesatnya kemajuan teknologi navigasi perjalanan samudera di sekitar abad 11 masehi. Sementara itu, catatan relief Borobudur bahkan sudah menggambarkan kemampuan navigasi orang Nusantara ratusan tahun sebelumnya. Penelitian Genomic Lembaga Molekular Eijkman, yang mengambil sampel dari wilayah-wilayah perdagangan di Samudera Hindia dari Afrika Barat hingga Malaka, bahkan mengkonfirmasi adanya denyut ekonomi sejak 2.000 tahun yang lalu.
Perdagangan adalah kegiatan manusia yang membutuhkan kemampuan berpikir logis. Perdagangan menggabungkan kemampuan menghitung nilai atau harga, kemampuan berbahasa, dan kemampuan menghitung waktu. Semuanya adalah syarat-syarat tindakan ekonomis. Komunikasi, kepercayaan, dan pertukaran.
Peradaban Islam yang datang melalui perdagangan sudah dengan sendirinya mengharuskan pelaku-pelaku perdagangan untuk cakap dalam berpikir. Syair-syair Hamzah Fansuri di akhir abad 16 yang menjadi kajian di kotaraja Aceh Darussalam mengandaikan sebuah masyarakat yang sudah berperadaban tinggi.
Apalagi syair-syair Hamzah ditulis dalam berbagai bahasa. Pertama, Bahasa Melayu yang merupakan Lingua Franca. Kedua, Bahasa Arab yang saat itu telah menjadi bahasa perdagangan internasional. Kemudian Bahasa Persia yang merupakan bahasa ibu Hamzah, hingga bahasa lokal yang berkembang di kotaraja.
Nama Serambi Mekah bagi wilayah di ujung pulau Sumatra bukanlah julukan yang dibuat-buat. Generasi sesudah Hamzah Fansuri adalah generasi ahli berpikir dan ahli bahasa yang merupakan catatan polemik keagamaan tertua di Nusantara. Kritik Nuruddin Ar Raniri terhadap ajaran Hamzah Fansuri memperlihatkan kemahiran menggunakan khasanah Ilmu Mantiq, Ilmu Bahasa, Ilmu Fiqih (Yurisprudensi), dan Ilmu Akidah (Teologi).
Sulitnya Mencari Pesantren Tertua
Polemik pemikiran Hamzah Fansuri dengan Nuruddin Ar Raniri mengandaikan adanya tradisi sekolahan yang mengembangkan kaidah-kaidah ilmu berpikir. Sayangnya hingga saat ini tidak cukup ada bukti sejarah yang memperlihatkan kesinambungan tradisi skolastik awal itu dengan kemunculan pesantren yang hingga kini menjadi sumber paling banyak pembelajaran Islam di Nusantara.
Penelitian Martin Van Bruinessen tentang pesantren yang berkembang di Nusantara memperlihatkan, baru pada pertengahan abad 18 masehi bisa dicatat adanya pondok atau asrama tempat orang-orang belajar khazanah intelektual Islam. Sebagai contoh, Raffles dalam History of Java mencatat adanya perguruan para pengikut Muhammad di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Bukti-bukti pendiriannya mencatatkan tahun 1742.
Survei pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 19 mencatat tempat-tempat yang “mirip” dengan pesantren hanya di beberapa wilayah saja. Antara lain Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Madiun, Ponorogo, dan Surabaya. Tempat pendidikan itu rata-rata berujud masjid dan rumah pribadi. Entah mengapa Belanda tidak mencatat tempat-tempat pembelajaran yang ada di pulau Sumatra. Salah satu yang menjelaskan itu adalah berkuasanya Inggris di sebagian besar wilayah Sumatra dan independensi Aceh hingga akhir abad 19.
Sangat Khas Nusantara
Pesantren adalah istilah yang muncul belakangan. Awalnya orang menyebutnya pondok. Manuskrip-manuskrip lama menyebutnya sebagai “peguron”. Istilah pondok sendiri merupakan serapan dari bahasa Arab yang menyerap dari bahasa Yunani “funduq” yang berarti asrama.
Van Bruinessen menyimpulkan bahwa institusi pesantren di Indonesia adalah benar-benar khas nusantara. Kekhasan pesantren di Indonesia bisa dilihat dari kurikulum yang diajarkan. Komposisi pelajaran yang ada di pesantren di Nusantara walaupun mengacu pada pelajaran-pelajaran yang ada di pusat intelektual Islam di Mekah tetapi selalu disesuaikan dengan selera orang Nusantara.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1557199217_Tantangan_Pengembangan_Sains_di_Pesantren,_Berkaca_dari_Sejarah.JPG" />
Diagram kue di atas adalah komposisi pelajaran-pelajaran di pesantren yang disusun Van Bruinessen setelah mengumpulkan kitab-kitab yang dipelajari dari berbagai pesantren yang ada di berbagai kota di Indonesia dengan tambahan beberapa tempat di Asia Tenggara.
Hasilnya terlihat bahwa materi-materi fikih yang berkaitan dengan yurisprudensi atau hukum syariat Islam menjadi materi yang paling banyak dipelajari. Berikutnya adalah pelajaran yang berkaitan dengan akidah atau doktrin agama. Setelah itu baru pelajaran tata bahasa. Berikutnya adalah pembahasan tentang Hadits, Tassawuf, Akhlaq, pegangan ringkas doa dan wirid, dan yang paling sedikit adalah Manakib atau puji-pujian kepada Nabi Muhammad.
Di mana letak Ilmu Mantiq di dalam diagram di atas? Berdasarkan tradisi yang berkembang hingga saat ini Ilmu Mantiq masuk dalam kategori Ilmu Alat. Kedudukannya sejajar dengan tatabahasa yang akan banyak dipergunakan ketika mempelajari kitab-kitab Fikih, Ushul Fikih, maupun Akidah.
Sayangnya, pembelajaran Ilmu Mantiq, yang merupakan warisan dari tradisi Filsafat Yunani, tidak menjadi pembelajaran yang wajib. Hanya pesantren-pesantren tertentu yang mengajarkannya. Ada banyak riwayat yang mengatakan bahwa mempelajari Ilmu Mantiq yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu sekuler cenderung membawa kesesatan. Selain itu tradisi dan budaya yang berkembang di pesantren dan rata-rata Islam khas Nusantara hingga saat ini masih tidak menjadi ladang subur bagi pengembangan ilmu logika yang menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah atau sains.
Pesantren memang mempunyai sejarahnya sendiri yang kompleks. Walaupun terpengaruh pada pendirian “madrasa” di masa Turki Utsmani dan Kesultanan Mughal, pesantren mempunyai proses perkembangannya sendiri. Snouck Hurgronje mencatat pada pertengahan abad 19 saat dia berada di Mekah, institusi “madrasa” bentukan Turki Usmani sudah banyak menjadi pemukiman penduduk dan penginapan haji.
Haji-haji awal Nusantara yang banyak berdatangan pada waktu itu tidak sempat mengalami masa pendidikan “madrasa” yang berkembang sejak abad ke 15. Haji-haji Nusantara hanya sempat mengikuti Zawiya atau pengajian-pengajian terbuka yang dilakukan di sekitar Masjidil Haram dengan pengajar-pengajar yang memberikan kurikulum sesuai dengan kemampuan mereka.
Padahal jika membandingkan dengan kurikulum pendidikan “madrasa” yang berkembang di zaman kekuasaan Turki Utsmani, seharusnya materi-materi Logika, Filsafat, Matematika, Astronomi, Fisika, Kedokteran, Etika, Politik, Ekonomi dan Linguistik adalah materi-materi yang mampu dikembangkan oleh murid-muridnya.
Sebagai pembanding berikut adalah katalog seorang Pendeta Kristen Syria Yuhanna bin Say Allah yang mencatat berbagai buku yang dia pelajari saat dia belajar di Madrasa Mudhafariya bentukan Turki Utsmani yang ada di wilayah Anatolia bagian Tenggara (Suriah) pada sekitar tahun 1496.
Katalog ini diterjemahkan oleh Iskandar Bcheiry yang bisa dirujuk pada blog www.atla.com
- Isaghuji (pengantar logika)
- Categorie (buku logika II)
- Interpretarion (al Ibarah)
- Prior Analytics (al Qiyassah)
- Posterior Analytics (al Burhan)
- Topics (al Gazal)
- Sophistical Refutation (al Muqalatat)
- Rhetoric (Al Khitabah)
- Poetics (Maqasid As Suara)
- Logic of Physics (atTabiah)
- Heaven and The World (asSama wal Alam)
- Generation and Corruption (Kitab ul Kawn wal Fasad)
- Mineral (al Ma’adin)
- Metrology (Hawadits al Gaw min Atsar Al Ulwiyah)
- Plants (al Nabat)
- Animal (al Hayawan)
- Soul (al Nafs)
- Phylosophy
- Theology
- Ethics
- Economics
- Politics
- Sign
(Library of the University of Cambridge, Syriac manuscript collection, DD. 3. 81.). (Y-1)