Indonesia.go.id - Upacara Pelebon

Upacara Pelebon

  • Administrator
  • Selasa, 14 Mei 2019 | 17:00 WIB
KEKAYAAN TRADISI
  Lembu Pelembon. Sumber foto: Istimewa

Kita sudah tahu pasti, Pulau Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang sudah tersohor di seantero dunia. Jutaan wisatawan mendatangi Bali setiap tahunnya. Pesohor atau selebriti kelas dunia kerap menghabiskan waktunya di Bali.

Tidak hanya itu, Bali juga didatangi tokoh dunia. Sebut saja Raja Salman dari Saudi Arabia yang berlibur cukup lama di Pulau berjulukan Pulau Dewata ini.

Apa yang ditawarkan Bali? Yang sudah kita sangat kenal adalah keindahan alamnya. Bali tidak hanya menawarkan keindahan pantai berpasir putih saja seperti Kuta dan Pandawa. Bali juga menawarkan keindahan alam danau dan pegunungan.

Kebudayaan Bali seperti tari-tarian hingga pokaian daerah juga memiliki ciri khas tersendiri. Tapi dari semua itu, ada sebuah tradisi yang kerap menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Tradisi tersebut adalah Pelebon. Apakah Pelebon ini?

Miungkin pembaca lebih mengenal istilah Ngaben. Ngaben dan Pelebon ini memiliki kemiripan atau serupa tapi tidak sama. Ngaben dan Pelebon, adalah tradisi pemakaman di Bali.

Tapi dua ritual atau prosesi pemakaman ini berbeda, dari sisi proses, biaya dan tampilan. Bukan hanya itu saja, Pelebon ini adalah ritual atau prosesi upacara pemakaman untuk bangsawan atau raja-raja di Bali.

Pelebon ini, pelaksanaannya bisa berbulan-bulan dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Prosesu dari Pelebon ini terbagi dalam dua. Yang pertama Pembaringan jenazah beserta upacara sakral lainnya dan yang kedua adalah kremasi jenazah/pelebon di setra (kuburan).

Untuk Upacara pembaringan jenazah mendiang akan dilengkapi dengan barang-barang kesukaan mendiang selama hidupnya. Setiap hari, keluarga mendiang membawakan sesajian dan suguhan berupa makanandan minuman. Keluarga mendiang menganggap bahwa mendiang masih “hidup”.

Keluarga kemudian dibantu masyarakat bergotong -royong mempersiapkan berbagai perangkat upacara pelebon, seperti bade pelebon (menara kremasi) yang beratnya kurang lebih 6 ton dan tingginya 26 meter dengan tumpang sia (sembilan), lembu yang tingginya bisa mencapai 7,5 meter yang akan dibakar bersama jenazah, bebantenan (sesajian), dan sebagainya.

Pengerjaan bade ini melibatkan sekitar 50-100 orang setiap harinya selama kurang lebih 15 hari sejak meninggalnya mendiang.

Biasanya, setelah diadakan berbagai upacara skaral diantaranya: upacara Nanceb, Nuasen lanNegtegan Karya yang bermakna memilih hari yang baik untuk mempersiapkan seluruh keperluan upacara agar segala hal bisa berjalan lancar, tanpa adanya halangan baik secara sekala maupunniskala.

Upacara lainnya adalah Upacara Ngingsirang Layon (memindahkan jenazah) dari ruangan tempat beliau disemayamkan di Gedong (yang merupakan ruangan tertutup) ke Bale Gede (bangunan terbuka). Selanjutnya diadakan Upacara Mendak ke Pura Dalem Puri lan Pura Dalem Ubud memohon ke hadapan Sang Hyang Widhi yang berstana di Pura Dalem seandainya atma (roh) yang meninggal masih dalam genggaman beliau agar bisa dibebaskan untuk bisa diupacarai. Tak lupa diadakan upacara lainnya seperti Upacara Ngreka.

Prosesi selanjutnya adalah Kajang (kawitan yang didapat dari pedanda dihias dengan berbagai macam bunga, uang kepeng, dan kwangen berwujud manusia serta ditaburkan minyak wangi dan bunga harum)di Pamerajan Agung (pura besar). Serta Upacara Ngening Ring Beji (mengambil air suci) di sungai Campuhan dan UpacaraNyiramin Layon (memandikan layon atau jenazah).

Setelah itu, bade lan lembu diupacarai/disucikandulu sebelum diusung ke setra (kuburan). Seluruh keluarga  akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa kepada mendiang.

Bade dan lembu beserta perlengkapan upacara lainnya selanjutnya diusung beramai-ramai menuju tempat kremasi. Bahkan karena betapa besar dan mewahnya bade, maka sepanjang perjalanan jaringan kabel listrik disterilkan/dimatikan.

Tentunya ini sudah dikonfirmasi pihak puri dengan pihak PLN setempat. Bahkan ada sejumlah lampu dan penerangan jalan yang rusak tertabrak bade. Pengusungan inidilaksanakan secara estafet oleh beberapa kelompok dan akan digantikan oleh kelompok lainnya. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 300 orang. Pergantian pengusung secara estafet ini merupakan lambang dari kerjasama dan peran-serta seluruh lapisan masyarakat yang berasal dari berbagai banjar.

Di setiap pertigaan atau perempatan jalan, bade akan diputar sebanyak tiga kali dengan maksud agaratma (roh) mendiang tidak kembali ke tempat semula.

Sesampainya di setra (kuburan) jenazah dipindahkan dari bade ke dalam lembu. Sebelum bade, lembu dan perangkat upacara pelebon lainnya dibakar, diadakan tarian sakral untuk mengusir hal-hal yang tidak diinginkan.Selanjutnya lembu beserta jenazah yang ada di dalamnya, bade, dan perangkat upacara pelebon lainnya akan dibakar hingga menjadi abu.

Setelah proses kremasi selesai, dilakukan upacara Nuduk Galih(mengumpulkan sisa-sisa tulang untuk diupacarai yang selanjutnyadilarung ke laut (Pantai Matahari Terbit) di Sanur. Ritual yang benar-benar agung dan melibatkan partisipasi ribuan masyarakat dan menjadi kearifan lokal masyarakat Hindu Bali yang lestari dan tujuan wisatawan. (K-TB)