Indonesia.go.id - Perbaikan Kualitas Demokrasi

Perbaikan Kualitas Demokrasi

  • Administrator
  • Minggu, 19 Mei 2019 | 17:00 WIB
INDEKS TOLERANSI
  Pendistribusian logistik Pemilu 2019 di Kabupaten Belu, NTT, Selasa (16/4/2019). Sumber foto: Antara Foto

Keragaman Indonesia jelas mensyaratkan secara sine qua non hadirnya demokrasi dan pluralisme serta toleransi dalam satu tarikan nafas. Tagline Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada simbol Garuda Pancasila, bagaimanapun ialah aksioma pluralisme dan toleransi sebagai keniscayaan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara.

Benar, adalah susah untuk memungkiri fakta, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada perwakilan telah berkembang pesat di Indonesia. Pascaberakhirnya rezim otoriterianisme Orde Baru pada 1998, sejak itu sistem perwakilan dan presiden yang dipilih secara demokratis telah memerintah negeri dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia ini.

Bahkan dalam arti tertentu, Indonesia bisa mendaku lebih demokratis ketimbang Amerika. Dalam pemilihan presiden, misalnya, pemilihan langsung yang dilakukan di Indonesia nisbi lebih demokratis daripada cara di Amerika.

Belum lama berselang, pada April 2019, pemilu serentak yang bukan hanya memilih anggota parlemen dan utusan daerah melainkan juga sekaligus presiden, pun nisbi berhasil dipraktikkan dengan baik.

Menyelenggarakan proses pemungutan suara di sebuah negeri kepulauan, di mana pulau-pulaunya tidak semuanya memiliki akses infrastruktur yang memadai, melibatkan total jumlah pemilih sebanyak 192,83 juta jiwa dengan titik TPS sebanyak 809.497 unit, tentu sebuah pekerjaan yang sangat besar dan lagi rumit.

Mengingat besarnya jumlah pemilih dan sebaran titik TPS di seluruh Indonesia, wajar saja sekiranya di sana-sini masih terjadi kesalahan teknis. Namun demikian, secara keseluruhan, proses pemungutan suara itu telah berlangsung secara jujur dan adil atau sering disingkat “jurdil.”

Asas jurdil ini dipastikan telah terpenuhi. Mengingat proses pengawalan suara dari hasil penghitungan suara di TPS di tingkat desa atau kalurahan, kecamatan, provinsi, dan hingga tingkat nasional, bukan saja dilakukan oleh semua unsur yang berkontestasi dalam pemilu. Melainkan, melibatkan pula partisipasi masyarakat secara terbuka.

Pancasila ialah Demokrasi Substantif

Namun demikian tampaknya praktik demokrasi hingga saat ini masih sekadar bekerja secara formal dan prosedural. Demokrasi belumlah seiring sejalan dengan pluralisme dan toleransi. Agenda demokrasi dan agenda pluralisme serta toleransi belum menjadi satu tarikan nafas. Demokrasi dalam arti substansial belum menjadi realitas sehari-hari.

Pertanyaannya ialah, apakah dimungkinkan praktik demokrasi berlangsung tanpa mekarnya nilai-nilai pluralisme dan toleransi, mengingat Indonesia ialah negara yang multietnis, multibahasa, multibudaya, dan bahkan multiagama? Apakah toleransi di antara kelompok masyarakat yang berbeda merupakan syarat untuk mewujudkan demokrasi?

Ini tentu sekadar pertanyaan retoris dan tak perlu jawaban. Pasalnya keragaman Indonesia (per se) jelas mensyaratkan secara sine qua non hadirnya demokrasi dan pluralisme serta toleransi dalam satu tarikan nafas. Tagline Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada simbol Garuda Pancasila, bagaimanapun ialah aksiomatik perihal hadirnya pluralisme dan toleransi sebagai keniscayaan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara.

Para founding parent, khususnya Soekarno dan Mohammad Hatta, sejak awal persiapan pembangunan Republik, sudah menegaskan urgensi toleransi dalam bingkai Pancasila. Mohammad Hatta pernah berujar:

“Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.....Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan....”

Dalam menjelaskan Sila Pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa,” Bung Hatta merujuk dua fungsi agama. Pertama, fungsi internal, yakni sikap saling menghormati. Kedua, fungsi eksternal, yakni dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Bagi Hatta, Pancasila sebagai ideologi meniscayakan toleransi sebagai jalan menuju tercapainya kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.

Tak kecuali Soekarno. Presiden pertama ini pernah menegaskan makna yang sama dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, yang kini oleh Presiden Joko Widodo telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keppres No 24 Tahun 2016. Kusno, demikian nama kecil Bung Karno itu, pada momen itu berkata:

“… Marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama...”

Soekarno melihat Sila Ketuhanan merupakan kompas yang akan memandu masyarakat untuk beragama secara leluasa dan berkebudayaan. Bagi Soekarno, ekspresi Ketuhanan menuntut adanya ruang toleransi, yaitu kehendak untuk tidak bersikap dan berperilaku egois atas nama agama.

Celakanya pasca-Orde Baru, secara diskursus justru ditandai oleh terpinggirkannya ideologi Pancasila sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya itu, yang terjadi di Indonesia--ialah sebagaimana di tingkat global sejak ambruknya Uni Soviet pada akhir 1980-an boleh dikata di sepanjang Era Reformasi juga tidak imun dari merebaknya nalar “politik identitas” (identity politics). Gerakan politik-identitas ini lazaimnya berbasis etnisitas maupun agama ataupun kombinasi antara keduanya.

Merujuk tulisan Ahmad Syafii Maarif (2012) dalam “Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita” di antara berbagai gerakan politik identitas yang patut diwaspadai ialah, kelompok-kelompok radikal dan setengah radikal yang berbaju Islam.

Lanjut Buya Syafii demikian ia bisa dipanggil kelompok-kelompok ini mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang berpusat di beberapa negara di Timur Tengah. Sekalipun beragam, semua gerakan Islamis dan Salafi memiliki titik temu yang sama, yaitu menuntut pelaksanaan Syariah Islam dalam kehidupan bernegara.

Gerakan-gerakan yang berbasis politik identitas, menurutnya Buya Syafii, membahayakan masa depan Indonesia. Pasalnya mereka cenderung antipluralisme, antidemokrasi, dan antinasionalisme.

Menyadari arah perkembangan demokrasi dan tren politik identitas yang cenderung tidak sehat, setelah peminggiran Pancasila hampir selama dua dekade ini Presiden Joko Widodo menginisiasi lahirnya Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang kemudian diubah jadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Lembaga ini sengaja dibentuk sebagai revitalisasi kelembagaan eksistensi BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

BPIP bertugas melakukan pembinaan ideologi Pancasila. Juga bertugas membantu presiden untuk merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian proses pembinaan tersebut secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Dalam kerangka mewujudkan demokrasi dan pluralisme serta toleransi menjadi satu tarikan nafas inilah, BPIP bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam Negeri, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, dan SETARA Institute melakukan kajian terkait derajat praktik toleransi di kota-kota di Indonesia.

Menurut SETARA Institute, fenomena intoleransi dan prasangka yang bertujuan untuk mem-bullying dan mengintimidasi seseorang didasarkan pada ras, etnis, agama, gender, dan bahkan orientasi seksual atau karena faktor different ability seperti difabel, ialah sebuah kejahatan serius. Tujuan lembaga ini ialah penghapusan diskriminasi dan intoleransi, serta mendorong tumbuhnya solidaritas bagi mereka yang lemah dan dirugikan.

SETARA Institute mencatat, terjadinya fenomena penguatan intoleransi, bahkan telah mewujud sebagai “supreme,” yang bukan saja telah meruntuhkan supremasi hukum melainkan juga melanggar konstitusi. Lebih jauh, menurut mereka, intoleransi ini bahkan kini terlihat mulai mengakar secara kultural.

Riset ini dilakukan untuk memperingati Hari Toleransi Internasional, yang jatuh setiap tanggal 16 November. Sengaja dilakukan pada 94 kota di Indonesia, riset ini bermaksud mempromosikan wacana dan praktik toleransi sekaligus mengukur sejauh mana budaya toleransi telah berkembang di kota-kota tersebut.

Sedangkan yang dimaksud sebagai kota toleran ialah kota yang memiliki beberapa atribut, antara lain, pertama, pemerintah kota memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan. Kedua, sejauh mana pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.

Ketiga, peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan cenderung rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Dan terakhir atau keempat, sejauh mana kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya.

Hasil kajian itu ialah Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2018. Ini merupakan laporan ketiga untuk studi yang sama, setelah sebelumnya SETARA Institute pernah merilis laporan yang sama pada 2015 dan 2017. (W-1)

Sepuluh kota dengan skor tertinggi dalam praktik demokrasi ialah:

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1558322709_Part_1.jpeg" />

Sedangkan sepuluh kota dengan skor terendah dalam praktik demokrasi ialah:

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1558322801_Part_2.jpeg" />