Indonesia.go.id - Ketika Atap Kapal Jadi Sumber Energi

Ketika Atap Kapal Jadi Sumber Energi

  • Administrator
  • Rabu, 8 Juli 2020 | 02:06 WIB
ENERGI TERBARUKAN
  Nelayan mengecek instalasi lampu tenaga surya (panel surya) yang terpasang di kapal miliknya di Desa Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah. Foto: Antara Foto/ Yusuf Nugroho

Nelayan sekarang sudah bisa memanfaatkan energi matahari untuk mengganti bahan bakar solar. Bayu berganti surya.

Suatu sore akhir Juni lalu, ada pemandangan tak biasa tampak di galangan kapal milik PT Barokah Marine di kawasan pantai di Slamaran, Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, Jawa Tengah.  Sebuah perahu nelayan bertenaga surya resmi diluncurkan. Kapal itu siap melaut.

Pembuatan perahu nelayan bertenaga surya itu dilakukan selama tiga bulan yang diinisiasi oleh beberapa awak business development dari Yayasan Amanah Kita Pekalongan, yaitu Idi Amin, David Susanto Ang, dan Risma Adi Candra. Mereka memperkenalkan cara baru, di mana nelayan tak perlu lagi membeli bahan bakar minyak (BBM) sebelum pergi melaut. Mereka bisa memanfaatkan energi terbarukan yang melimpah, yaitu sinar matahari.

Panel solar cell yang ada di bagian atap kapal merupakan sumber energi. Yang tersambung langsung ke kebutuhan kelistrikan di kapal, termasuk untuk menjalankan mesin. Total energi yang dapat dihasilkan dari panel solar cell tersebut mencapai 1.000 watt.

Daya listrik itu sebagian bisa digunakan menjalankan mesin, sebagian lain untuk kebutuhan elektrikal lainnya, seperti mesin penggulung tali dan refrigerator kecil. Jika sedang tidak digunakan, panel solar cell dapat membantu mengisi (men-charge) baterai yang sudah ditanamkan di kapal agar bisa bekerja lebih lama. Dalam bentuk energi listrik, out put panel surya ini fleksibel penggunaannya.

Kapal nelayan tenaga surya ini berukuran 3 GT (gross ton), panjang 7,25 meter, dan lebar 1,8 meter. Kapal itu mampu mengangkut tiga ton muatan di dalamnya, termasuk jaring, awak, mesin, dan bagian-bagiannya. Bentuknya sama dengan kapal nelayan pada umumnya. Hanya saja di atap kapal itu  dipasangi dengan solar panel. Ada delapan lembar solar panel 120 W/18 V dan satu lembar panel 160 W/18 V. 

Kapal tersebut menggunakan motor dengan empat rangkaian baterai motor DC 3.000 Watt/48V dengan putaran maksimum 3.000 rpm. Penggerak utamanya  memang empat baterai lithium 48V/50Ah dan 1 baterai 12V/80Ah dibantu inverter 48V/1000W dan controller Mppt Multi 40A. Sambil melaju, rangkaian panel surya itu  mampu mengisi keempat baterai itu. Output daya dari empat baterai itu setara dengan mesin diesel 12 PK. Cukup aman beroperasi di kawasan 12 km dari pantai.

Menurut pembuatnya, kapal nelayan bertenaga surya itu dapat beroperasi selama delapan jam pada kondisi cuaca normal. Baterainya merupakan produk dari perusahaan baterai dalam negeri asal Boyolali. Perahu nelayan bertenaga surya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan, karena dapat mengurangi penggunaan BBM.

“Ya harapan kita, perahu nelayan dengan solar cell ini bisa bermanfaat bagi nelayan. Dengan solar cell, nelayan mau melaut kapanpun bisa, karena ongkosnya rendah tidak perlu BBM solar lagi," kata Idi Amin, yang juga anggota DPRD Kota Pekalongan.

Untuk membangun kapal ini, mulai dari riset hingga selesai membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Biaya pembuatan bodi kapal lengkap dengan mesin, baterai lithium serta sembilan panel surya sekitar Rp70 juta. Tidak mahal, bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk operasional setiap hari. 

Kini sejumlah daerah telah memesan kapal serupa. Termasuk pesanan dari Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Bupati Lingga memesan 50 unit untuk dibagikan ke nelayan setempat.

BBM adalah pos pengeluaran operasional nelayan paling besar. Direktur Kapal dan Alat Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini pernah mengatakan, 60 persen uang yang dikeluarkan oleh nelayan saat melaut ialah BBM.

Setiap harinya satu unit kapal nelayan yang mulai berangkat sekitar pukul 06.00 WIB dan pulang melaut pada pukul 12.00 WIB membutuhkan operasional BBM sebanyak 35 liter solar.

Energi surya sebenarnya sudah dikenal oleh sebagian nelayan di Pantai Utara Jawa bagian timur sejak 2017. Bahkan di Lamongan, para nelayan sudah memanfaatkan energi surya untuk keperluan melaut. Hanya saja penggunaan solar sel mereka terbatas untuk penerangan saja dan membantu keperluan recharge baterai/aki. Untuk keperluan ini, nelayan memasang panel surya yang seharga Rp2,2 juta.

Menurut mereka memakai energi surya relatif lebih irit dan sederhana. Para nelayan tidak lagi harus bongkar pasang aki untuk menambah daya. Bongkar muat biaya jasa pengisian listrik sekitar Rp25 ribu per aki. Kalau empat baterai berarti Rp100 ribu. Mahal dan merepotkan.

Pada 6 Oktober 2016, di kawasan mangrove Ngurah Rai diuji coba perahu dengan tenaga surya. Perahu tersebut merupakan karya anak-anak SMKN 1 Kuta, Bali. Perahu tersebut diperuntukkan bagi mereka yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Wanasari Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Program itu didukung oleh Community Development PT Pertamina Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Ngurah Rai, sebagai bentuk corporate social responsibility (CSR) di PT Pertamina.

Perahu nelayan bertenaga surya tersebut dirancang sejak 2015 dan dikerjakan SMKN 1 Kuta Selatan untuk membuat perahu bagi nelayan di Wanasari Tuban.  Untuk membuat perahu yang diberi nama “Katamaran” bertenaga surya itu biayanya Rp80 juta. Tapi ternyata kapal itu belum bisa ke laut lepas karena tenaga mesinnya baru 2 PK. Karena nelayan memerlukan mesin kapal yang setidaknya  5 PK untuk melaut di laut lepas.

Walaupun belum bisa digunakan untuk melaut waktu itu, perahu sudah digunakan oleh nelayan di Wanasari, Tuban, untuk mengantarkan wisatawan yang hendak menikmati ekowisata.  Sambil mengantar wisatawan, para nelayan itu bercerita bahwa dulu mereka pakai perahu layar bertenaga bayu (angin), lalu berganti menjadi mesin Yanmar, dan kini perahu bertenaga surya. Perahu listrik untuk ekowisata tentu klop.

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini