Indonesia.go.id - Orangutan, Taman Nasional, dan Daerah Penyangga

Orangutan, Taman Nasional, dan Daerah Penyangga

  • Administrator
  • Rabu, 6 November 2019 | 04:22 WIB
KONSERVASI
  Kapuas Hulu Orangutan. Foto: Dok. Yayasan Palung

Selama tiga tahun riset dilakukan di sana untuk mengetahui pola migrasi orangutan dan pola buah yang jadi makanannya.

Ismu (39), belum genap satu tahun berada di kawasan konservasi Taman Hutan Nasional Kapuas Hulu. Ismuwijaya nama lengkapnya, mempunyai latar belakang pendidikan Manajemen Informatika di sebuah universitas swasta di Surakarta, Jawa Tengah.

Bagaimana bisa mencebur ke dalam kegiatan konservasi hutan? Ismu mengatakan dirinya tidak berlatar khusus pencinta alam. Sebelum menjadi relawan, Ismu lebih banyak berkegiatan sebagai 'film-maker' indpenden. Kecintaannya terhadap pembuatan film dokumenter yang berlatar lingkungan membawa dia ke wilayah Kalimantan bagian barat ini.

"Aku sebelumnya di Pontianak ... sejak tahun 2010, sebelum di WWF, banyak kegiatan membuat film dokumenter," jawab Ismu.

Aktivitas membuat film dokumenter membuatnya banyak bertemu dengan penggiat konservasi lingkungan. Padahal sebelumnya kedatangan Ismu lebih banyak lantaran tertarik keunikan kultur Dayak.

"Dulu waktu masih di Solo, aku membaca majalah National Geographic. Di sana aku melihat foto seorang Dayak yang mempunyai tato pesawat terbang di tubuhnya. Bagiku itu unik sekali," tutur Ismu. 

Sejak saat itu dia berniat untuk pergi ke pedalaman Kalimantan. Tak heran, saat ini Ismu telah bertemu seorang perempuan yang menjadi istrinya. Perempuan itu berasal dari Suku Dayak. Tepatnya orang Tamambaloh.

Ismu, adalah salah seorang relawan World Wild Foundation atau WWF kawasan Kapuas Hulu yang kantornya berada di Putussibau. Pada Jumat, 25 Oktober 2019, Ismu bersama beberapa orang rekannya menyiapkan boot atau anjungan di dalam lapangan tempat berlangsungnya Festival Tahunan Danau Sentarum 2019. Tema yang diambil dalam festival tahun ini adalah "Konservasi Hasil Hutan untuk Peningkatan Ekonomi Berkelanjutan".

Ekowisata Kawasan Danau Sentarum

Anjungan tempat Ismu dan kawan-kawan berada saat itu belum banyak diisi dengan berbagai produk yang akan dipamerkan. Di bidang berukuran 3 x 8 meter itu hanya ada beberapa kursi dan meja dengan beberapa rak yang berisi produk-produk olahan hasil hutan yang dibuat oleh masyarakat yang ada di sekitar hutan Taman Nasional Danau Sentarum.

"Ini adalah event tahunan kerja dengan stakeholder konservasi. Setiap tahunnya kita membuat boot untuk menyampaikan update capaian desa-desa yang didampingi," jelas Ismu.

Festival Danau Sentarum adalah rangkaian kegiatan yang termasuk di dalamnya jambore desa yang diadakan di daerah sekitar kawasan hutan Taman Nasional Danau Sentarum. Ismu dan kawan-kawannya selama ini melakukan pendampingan di desa-desa, seperti Desa Melembah, Labian Iraan, dan Semenanjung. Desa-desa itu adalah kawasan penyangga Taman Nasional Danau Sentarum.

Kegiatan relawan WWF pada beberapa waktu terakhir rata-rata berkisar pada pendampingan sistem tata kelola desa yang selaras dengan azas keberlanjutan.

"Kalau (desa) Melembah kami memberikan pendampingan tentang tata ruang ekowisata untuk pengamatan orangutan dan sport fishing. Labian Iraan (mengelola) hasil hutan nonkayu. Misalnya, Buah Tengkawang yang dibuat menjadi sabun herbal. Sabun ini biasanya dipakai oleh orang-orang yang berkulit sensitif," papar Ismu.

Buah atau biji Tengkawang, adalah buah pohon berkayu yang di dalam bijinya terdapat lemak nabati yang bisa diolah salah satunya menjadi mentega. Pohon ini hanya berada di daerah-daerah tertentu seperti Labian Iraan.

"Melembah adalah salah satu bufferzone atau penyangga Taman Nasional Danau Sentarum. Tempatnya sekitar dua jam dari Lanjak jika air pasang. Sedangkan kalau air surut bisa empat jam ke arah Selatan," papar Ismu.

Sedangkan Labian Iraan, berada tidak jauh dari Lanjak, tempat berlangsungnya festival. Untuk menuju ke sana harus menempuh jalan darat berjalan kaki sekitar 45 menit. Yang cukup mudah dijangkau adalah Desa Tanjung yang untuk mencapainya adalah dengan kendaraan selama 1 jam ke arah selatan. Desa Tanjung berjarak 75 KM dari Putussibau. Desa ini berada di kaki pegunungan Muller-Schaner, yang merupakan pegunungan purba penyangga air Pulau Kalimantan.

"Jika tidak ada Muller-Schwaner Arabela ini habislah air di Kalimantan," kata Ismu. Pegunungan di tengah-tengah pulau Borneo ini adalah tempat penyimpanan cadangan air bagi tiga sungai besar di Kalimantan. Mereka adalah Barito, Kapuas, dan Mahakam. Pembagian wilayah tiga sungai besar ini pula yang menentukan keberagaman hayati Pulau Kalimantan.

Pegunungan yang namanya berasal dari nama Perwira Belanda yang hilang sewaktu mengadakan eksplorasi pada awal abad 19 ini menjadi sangat dikenal dunia ketika diteliti oleh seorang geolog bernama Carl Anton Ludwig Maria Schwaner. Dia meneliti geologi Pulau Borneo pada 1843 sampai dengan 1848. Jika Perwira Muller meninggal di pedalaman pegunungan pada 1926, Schwaner adalah orang Eropa pertama yang berhasil menempuh jalur Banjarmasin menuju Pontianak melalui pedalaman pada 1948.

Orangutan Lebih Suka di Bufferzone

Beberapa gambar dan foto orangutan terlihat di anjungan Festival Danau Sentarum. Selain orangutan adalah berbagai foto lain seperti kera hidung panjang atau bekantan dan burung-burung yang terancam punah seperti burung enggang atau rangkong gading. Ketika ditanya tentang kawasan konservasi orangutan di Kapuas Hulu, Ismu menjelaskan beberapa perkembangan yang berlangsung selama beberapa waktu terakhir.

"Beberapa waktu terakhir kami melakukan survei di sekitar Meliaw. Selama tiga tahun kami melakukan riset di sana untuk mengetahui pola migrasi orangutan dan pola buah yang jadi makanannya. Kami sudah mempunyai datanya," tutur Ismu.

Orangutan di Kalimantan Barat dalam penjelasan Ismu terbagi dalam dua lanskap. Pertama adalah Taman Nasional Tanjung Puting yang ada di daerah Ketapang. Yang kedua adalah kawasan konservasi Sintang. Kawasan Kapuas Hulu termasuk dalam pembagian lanskap konservasi Sintang menurut pembagian WWF.

"Di Tanjung Puting yang ada di Ketapang, orangutan yang ada di sana adalah subspesies Pongo pygmeus morio. Sedangkan di Sintang adalah Pongo pygmae pygmae yang cirinya lebih muda warna rambutnya," jelas Ismu.

Jika ada beberapa foto orangutan yang viral beberapa waktu terakhir akibat kebakaran hutan itu adalah kawasan konservasi Tanjung Puting, menurut penjelasan Ismu. Kawasan Konservasi Danau Sentarum adalah kawasan yang tidak terkena kasus kebakaran hutan. Kawasan konservasi di belantara Kapuas Hulu ini bahkan tercatat UNESCO sebagai kawasan yang masih lestari atau tidak terjamah perubahan hingga beberapa waktu terakhir.

"Kawasan konservasi di taman nasional ini masih cukup baik, tetapi siklus hidup orangutan yang ada di dalamnya tetap berisiko. Penelitian kami menunjukkan bahwa orangutan lebih suka tinggal di bufferzone kawasan lindung. Mereka lebih suka tinggal di sekitar kawasan yang dilindungi, mereka tidak banyak yang menyukai tinggal di kawasan yang dilindungi," papar Ismu.

Pola berpindah dan pola makan buah yang menyusuri kawasan penyangga hutan lindung membuat orangutan sangat berisiko terancam kehidupannya karena bertemu dengan aktivitas manusia. Hal ini membuat kampanye bagi kelestarian hidup Orangutan harus dilakukan di semua kalangan dan di semua wilayah yang memungkinkan terjadinya kontak dengan hewan yang merupakan habitat satwa langka kera besar di dunia.

Jejak Wallace

Alfred Russel Wallace (1823-1923), peneliti alam (naturalis) dari Skotlandia, Inggris Raya, adalah salah seorang yang menulis tentang perburuan orangutan di pertengahan abad 19. Dia datang di Sarawak, pada November 1854. Selama empat belas bulan berikutnya dia menghabiskan waktu dengan mencari spesimen (potongan atau serpihan mahluk hidup) serangga, burung, reptil, dan primata Borneo.

Buku catatan perjalanan Wallace The Malay Archipelago mencatat pertama kali Wallace melihat maias di kawasan hutan yang ada di pedalaman Sungai Sandong menuju Batang Lupar. Ada sembilan bulan dihabiskan Wallace untuk melacak jejak maias (sebutan orang Iban untuk orangutan). Menurut Ismu, kemungkinan bertemunya Wallace dengan maias terjadi di kawasan yang saat ini berada di perbatasan Sarawak-Kapuas Hulu. Wilayah di sekitar Lanjak di sebelah utara Danau Sentarum adalah wilayah yang dialiri oleh Sungai Batang Lupa yang mengalir menuju hilir di Sarawak.

"Sulit untuk membayangkan catatan Wallace di bukunya yang cukup ringkas itu. Bisa jadi dia bertemu dengan maias daerah aliran sungai Batang Lupar," papar Ismu. Ismu menjelaskan kawasan habitat orangutan di Sarawak sebenarnya adalah satu bagian tak terpisahkan dari hutan hujan tropis Kapuas Hulu. Kawasan konservasi Batang Aik di Sarawak masih merupakan satu kawasan yang sama dengan habitat Taman Nasional Danau Sentarum. (Y-1)