Tekad berumur 6 tahun 3 bulan, dan Patih 4 tahun 4 bulan. Keduanya tumbuh sehat, berbadan kekar, berbulu coklat, dan masing-masing memiliki sepasang tanduk yang runcing melengkung. Untuk ukuran banteng jawa jantan, mereka sudah berusia dewasa. Keduanya lahir dan tumbuh di lingkungan rumah penangkaran banteng, yang berada di pinggiran Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur.
Namun, sejak Kamis (9/9/2020), keduanya harus pamitan dengan keluarga besarnya. Kedua banteng muda ini akan pulang kampung, dilepasliarkan di habitat asli nenek moyang, yakni di hutan Baluran, tidak jauh dari rumah penangkaran itu. Dalam sejarah konservasi satwa di Indonesia, ini kali pertama banteng dibiakkan di penangkaran kemudian dilepasliarkanke habitat aslinya.
Hutan Baluran adalah salah satu habitat asli banteng jawa. Tak banyak lagi hutan alamiah yang masih dihuni sapi liar itu. Selain di Baluran, banteng jawa (Bos javanicus) itu juga masih tertahan di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (keduanya di daerah Banyuwangi) serta Ujung Kulon di Banten.
Dengan kondisi yang prima, bebas dari penyakit, diharapkan pula Tekad dan Patih bisa menghasilkan bayi-bayi banteng baru yang lebih sehat bila mereka kelak mengawini betina asli. Kedua banteng itu tidak dilepas begitu saja. Pada badannya telah terpasang GPS Collar, yang bisa digunakan memantau keberadaannya. GPS tersebut sumbangan dari Kebun Binatang Kopenhagen Denmark.
Sebelum dilepasliarkan, Tekad dan Patih dipersiapkan cukup lama. Mereka telah diadaptasikan pada lingkungan asli di pinggir hutan Baluran, mencari makan sendiri, dan dijauhkan dari pergaulan manusia. Untuk memastikan bahwa keduanya bisa bergabung dengan populasi banteng yang asli, ada petugas yang akan mengawasinya selama beberapa bulan.
Taman Nasional Baluran itu menghampar seluas 250 km2. Di sisi Selatan ada Gunung Baluran yang puncaknya 1.243 meter di atas muka laut. Di kawasan gunung ini curah hujan cukup tinggi sehingga vegetasinya hijau sepanjang tahun. Namun, di lembah di sisi Utara yang menghadap Selat Madura kondisinya berbeda, dengan iklim yang khas untuk lingkungan Pulau Jawa.
Hujan di Baluran ini hanya sekitar 4-6 bulan. Selebihnya kering-kerontang. Jangan heran bila pada Lembah Baluran itu struktur hutannya seperti savana, padang rumput dengan gerumbul semak perdu, dan secara terpencar ada pohon asam jawa, kemiri, kepuh, dan belakangan ini Acacia nilotica, spesies asing yang berpotensi mengganggu karakter habitat aslinya.
Padang savana di Baluran tak kurang dari 100 km2 luasnya. Di situlah hidup banteng jawa, antara lain, bersama rusa bawean dan beberapa jenis kera. Namun, gangguan terhadap ekosistem Baluran dan adanya perburuan liar membuat populasi banteng jawa ini kritis, di ambang kepunahan. Kini banteng jawa masuk dalam daftar spesies genting versi International Union for Conservation of Nature (IUCN). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.92/2018 menyebutkan banteng jawa itu sebagai satwa yang dilindungi.
Secara umum, Bos javanicus itu menunjuk jenis sapi liar yang hidup endemik di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya, banteng ini menyebar di banyak kawasan, dan pascazaman es kawanan banteng itu masing-masing beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Yang hidup di Jawa, sosoknya mirip Tekad dan Patih asal Baluran itu.
Yang beradaptasi di Kalimantan berkembang menjadi galur tersendiri dan disebut Bos javanicus lowi, sedangkan yang di Myanmar, Thailand, Vietnam, Kamboja, relatif tak terlalu berbeda satu sama lain, dan digolongkan dalam strain (subspesies) Bos javanicus burmanicus. Secara keseluruhan populasinya tak lebih dari 5.000 ekor.
Pengayaan Genetik
Dari tiga jalur itu, ukuran banteng jawa relatif paling besar. Pembeda di antara ketiga sub spesies itu adalah warna dan ukuran tubuhnya. Secara umum, ukuran banteng jawa lebih besar dibandingkan banteng Asia, sedangkan banteng Kalimantan memiliki ukuran yang lebih kecil lagi.
Seekor pejantan banteng jawa yang berukuran besar, beratnya bisa mencapai 900 kg, dengan tinggi badan 170 cm. Galur yang lain paling besar 600-700 kg dengan tinggi 160 cm. Di Balai Penelitian dan Pengembangan Ternak Bogo, seekor sapi yang lahir dari silangan pejantan banteng jawa dan betina sapi Madura bisa tumbuh hingga mencapai berat satu ton. Banteng jawa ini juga bisa menjadi sumber genetik untuk sapi budi daya.
Dalam keterangan tertulisnya yang dirilis Sabtu (5/9/2020), Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wiratno mengatakan bahwa Tekad dan Patih akan terus dipantau pergerakannya melalui GPS. “Secara manual, perilaku mereka pun akan diawasi sampai tiga bulan ke depan,” kata Wiratno.
Lebih jauh, kata Wiratno, populasi banteng liar di Baluran selama lima tahun terakhir menunjukkan tren meningkat. Dari estimasi 2015, hanya ada 44-51 ekor, kini telah meningkat menjadi 124-140 ekor. Estimasi populasi tersebut didapatkan dari analisa data jebakan kamera yang dilakukan setiap tahun.
Meskipun demikian, dia tidak memungkiri satwa yang dilindungi itu tetap berpotensi punah. Banteng-banteng itu kini hanya hidup di fragmen-fragmen habitat kecil yang terisolasi antara satu dengan yang lainnya. Fragmentasi itu memecah kawanan banteng itu menjadi populasi-populasi kecil yang tak lagi saling berhubungan.
Akibatnya, akan terjadi perkawinan dalam lingkup kecil saja dan mengakibatkan terjadinya pemiskinan genetik. Degradasi genetik tak terhindarkan dan berpotensi menghasilkan keturunan yang kerdil serta ringkih. Kepunahan secara alamiah pun menjadi keniscayaan. Dari aspek ini, pelepasliaran Tekad dan Patih bisa menjadi model pengayaan genetik.
Namun, pengelola Taman Nasional harus lebih dulu fokus mengatasi ancaman jangka pendek. Potensi kerusakan ekosistem akibat pembalakan liar tentu ada, perburuan liar dan pengendalian atas vegetasi asing yang invasif seperti Acacia nilotica yang secara tak terkonsep diintrodusir ke Taman Nasional ini sekitar 40 tahun lalu. Kini Acasia telah menyebar di kawasan seluas 6.000 hektar dan mengubah sifat dan karakter hutan aslinya.
Bila gangguan-gangguan itu bisa teratasi, menurut Dirjen Wiratno, populasi banteng jawa itu bisa pulih secara cepat. “Kemampuan reproduksinya relatif cepat, di mana hampir setiap tahun banteng mampu bereproduksi,” katanya. Maka, ia optimistis bahwa Taman Nasional Baluran bisa dihuni banteng jawa dengan populasi yang optimal. Syaratnya, para pemangku kepentingan yang lain ikut menjaga Hutan Baluran ini tetap lestari.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini