Bangka selain dikenal dengan lada putihnya juga diketahui sebagai produsen timah nasional. Terdapat produk kerajinan berbahan timah yang dikenal sebagai pewter dan menjadi andalan industri ekonomi kreatif di Pulau Bangka.
Apakah pembaca pernah mendengar atau mengetahui kata "pewter"? Kalaupun jawabannya belum pernah, tentu wajar adanya. Pasalnya, pewter bukanlah kata yang umum diucapkan. Tetapi jika ditanyakan kepada masyarakat di Pulau Bangka, misalnya, pewter bukanlah sesuatu yang asing di telinga mereka.
Pewter sendiri adalah seni kerajinan logam dari timah, mineral tambang berwarna putih keabuan yang terdapat di perut bumi pulau seluas 11.623,54 kilometer persegi tersebut. Hasil tambang Bangka sudah dikenal dunia sejak lebih dari 350 tahun lampau dan banyak dipakai oleh industri logam daratan Eropa sejak abad 19 dengan kode Banka Tin.
Seperti ditulis Louis-Charles Damais yang dalam buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara, terdapat dua kitab sastra India yang menyebutkan nama Bangka. Menurut sejarawan Prancis yang memiliki spesialisasi mengenai Indonesia tersebut, kitab pertama adalah kitab sastra kuno India dari abad 1 Sebelum Masehi, Milindapanca dan kemudian Mahaniddesa, kitab dari abad 3 Masehi. Di dalam kedua kitab tersebut, Bangka disebut sebagai ‘vanca’ atau ‘wangkadwipa’, alias Pulau Timah.
Sedangkan pewter secara etimologi diduga berkaitan erat dengan kata “spelter” dalam bahasa Inggris. Demikian dikatakan ahli sejarah bahasa dan naskah kuno (filolog) Walter William Skeat yang hidup di abad 19 dalam bukunya An Etymological Dictionary of The English Language (Kamus Etimologi dari Bahasa Inggris), terbitan 1893. Pria berkebangsaan Inggris itu menyebut spelter bermakna sebagai kegiatan melebur dan menempa timah batangan (ingot) untuk dibuat alat makan-minum (tableware) seperti sendok-garpu, mangkuk sup, baskom buah, piring makan, cangkir dan teko (teapot).
Produk sejenis lainnya adalah kotak jam dinding, gantungan lilin (candlestick), tudung penutup lampu (light fixture), serta medali. Sebagian produk ditujukan untuk kebutuhan keluarga kerajaan sejak abad 15.
Produk-produk kerajinan berbasis spelter tadi akhirnya menyebar pada awal abad 16 di daratan Eropa dengan penyebutan berbeda. Misalnya peltro di Italia, peltre (Spanyol), piautre (Prancis), atau peauteur (Belanda). Pematung Prancis, Jacques Limousin pada awal abad 20 menjadikan teknik spelter untuk pembuatan patung-patungnya yang bertema Art Nouveau dan Art Deco dan ornamen lainnya.
Namun menurut kurator kerajinan timah asal Inggris, Charles Hull, seni pewter sesungguhnya telah ada sejak Zaman Perunggu dengan ditemukannya potongan pewter di sekitar makam kuno Mesir dari abad 1450 Sebelum Masehi. Dalam bukunya, Pewter yang dirilis pada 1992, Hull yang nenek moyangnya telah menekuni kerajinan timah sejak tahun 1415, masih tidak yakin bahwa itu merupakan penemuan pertama dari seni pewter di Mesir. Menurutnya seni pewter sudah berkembang sejak era Mesir kuno dan Romawi kuno sebelum meluas di daratan Eropa abad petengahan.
Pewter memadukan antara keterampilan dan teknologi di dalam proses pembuatannya. Bahan baku pewter berasal dari timah berkadar timah putih (Sn) sebesar 97 persen ditambah tembaga (Cu) sebesar 2 persen dan 1 persen sisanya yaitu antimon (Sb). Menurut Budi Pramono seperti dikutip dari bahan penulisan “Pelatihan Dasar Pewter”, penggunaan tembaga adalah untuk mengkilapkan timah sedangkan antimon untuk membuat timah menjadi keras.
Ini lantaran timah putih merupakan logam lunak karena dapat melebur pada titik didih 223 derajat. Berbeda dengan antimon yang baru melebur di suhu 630 derajat atau tembaga pada suhu 1.083 derajat. Dari kerajinan pewter ini bisa dibuat bermacam-macam produk, yaitu produk tetap dan yang dibuat sesuai permintaan konsumen. Contoh produk tetap seperti gantungan kunci dari replika-replika mini seperti balok timah, Pulau Bangka. Ada pula replika kereta dorong pengangkut balok timah, dan kereta tas golf.
Kalau produk yang dibuat sesuai dengan permintaan konsumen, misalnya, bentuk-bentuk mini (miniatur) dari perahu pinisi, kendaraan tambang, rumah adat Bangka, Jembatan Ampera, atau piala, helm tambang berukir, vas bunga, kaligrafi, dan asbak rokok. Untuk pembuatan pewter produk tetap rata-rata memerlukan waktu produksi selama 1-3 hari. Dan jika berdasarkan pesanan konsumen, waktu pembuatannya antara 1 minggu hingga 1 bulan tergantung dari tingkat kesulitannya.
Kendati kegiatan penambangan timah sudah berlangsung sejak 350 tahun lalu di Bangka, pengembangan pewter sebagai sebuah produk kerajinan baru dilakukan pada 1980-an. Demikian disebutkan Mary F Somers Heidhues di dalam bukunya Timah Bangka dan Lada Mentok: Peran Masyarakat Tionghoa Dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad ke XVIII s/d XX.
Di dalam dokumen "Inventaris Arsip PT Timah (Persero) Tbk 1950-1991" yang disimpan di Arsip Nasional RI (ANRI), disebutkan bahwa terdapat kesepakatan kerja sama antara PT Timah dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil Departemen Perindustrian untuk pengembangan kerajinan logam pewter periode 7 Februari 1986 hingga 20 April 1990. Demikian pula dengan adanya surat 29 Juni 1990 terkait permintaan Direktur Pemasaran PT Timah kepada Direktur Indometal Limited agar menghadirkan perajin timah asal Inggris, ED Blower untuk memberikan technical assistance bagi pengembangan industri kerajinan pewter di Bangka. PT Timah merupakan pemilik 100 persen saham Indometal Limited yang berkedudukan di London, Inggris.
Bervariasi dan Terjangkau
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat PT Timah Anggi Siahaan seperti dikutip dari Antara, pihaknya sejak awal perkembangan industri pewter ini telah melakukan pembinaan terhadap sejumlah perajin. Puncaknya adalah ketika Tuti Hermiatin memberikan perhatian lebih kepada para perajin di akhir 1980-an. Tuti tak lain istri Kuntoro Mangkusubroto, Direktur Utama PT Timah antara 1989-1994.
Anggi menyebutkan, pihaknya saat itu memberikan bantuan permodalan tidak hanya dalam bentuk uang tunai, tetapi juga peralatan dan perbengkelan (workshop). "Ibu Tuti ingin memberdayakan ekonomi kreatif masyarakat melalui industri pewter. Kerajinan jenis ini kemudian berkembang sehingga membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda-pemuda setempat pada saat itu," kata Anggi.
Kendati demikian, dengan rentang harga jual tiap karya dari pewter antara Rp100 ribu hingga Rp15 juta, membuat produk tersebut hanya mampu dibeli oleh kalangan menengah atas saja karena dinilai relatif mahal. Mengutip penjelasan Kepala Bidang Program Kemitraan PT Timah, Erwan Sudarto, pihaknya berusaha menjadikan seni pewter lebih terjangkau sehingga dapat dibeli oleh semua kalangan masyarakat.
Sejak 2019, pihak Erwan mengajak para perajin pewter di Bangka berguru kepada Timbul Raharjo, seniman dan perajin gerabah di Kasongan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Timbul dinilai berhasil menciptakan kreasi patung-patung gerabah kontemporer di antaranya dipadukan dengan unsur logam seperti aluminium pada beberapa karya kerajinannya. Kreasi ini diharapkan mampu menekan tingginya harga jual seni pewter selain karena harga timah sebagai bahan bakunya relatif mahal.
Sementara itu, menurut peneliti utama Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Sriyono, kelemahan produk pewter asal Bangka karena dibuat dengan teknologi yang masih sederhana, cepat kusam, dan desainnya lambat berkembang serta sederhana. Oleh karena itu, Bambang mengatakan, LIPI telah membangun Pusat Teknologi Pewter di Kota Pangkalpinang, Bangka untuk membantu meningkatkan mutu produk lebih berkualitas dan memiliki daya saing tinggi. Sekaligus meningkatkan keterampilan para perajin pewter di Bangka.
Dari Pusat Teknologi Pewter tersebut, saat ini produk-produk pewter yang dihasilkan semakin beragam seperti seni diorama pengolahan timah, maket gedung perkantoran, logo-logo dan emblem perusahaan berbahan dasar timah, gantungan kunci bermotif kepala hewan langka khas Sumatra seperti badak dan harimau sumatra. Diproduksi juga lempengan timah dengan cetak timbul replika gedung-gedung ikonik di tanah air, seperti Masjid Istiqlal, Gedung MPR DPR RI, Gedung Sate, dan Museum Timah. Serta beberapa pesanan dari korporasi untuk cetak timbul replika gedung kantor mereka.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari