Elang Jawa atau yang biasa dikenal sebagai Burung Garuda belum lama ini ditemukan kembali sarangnya di kawasan TNGGP. Tim monitoring berhasil mengabadikan sebuah sarang dari satwa tersebut, lengkap bersama induk dan anaknya.
Sang penguasa Langit Jawa ini pertama kali terpantau oleh Tim Monitoring pada 13 April 2019. Kemudian kembali memantau ulang pada 18 April 2019. Anak Elang Jawa ini diidentifikasi berumur sekitar 1-2 minggu. Meskipun begitu, Tim monitoring tidak ingin terlalu dekat menghampiri sarang Elang Jawa ini. Mereka takut kehadirannya justru dapat mengganggu aktfitas satwa tersebut.
Tim monitoring TNGGP juga tidak ingin menyebutkan lokasi tepatnya dari keberadaan satwa Elang Jawa. Satwa yang dilindungi ini memang bernilai ekonomis yang sangat tinggi. Mereka khawatir satwa tersebut diburu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Mengenal Elang Jawa
Elang Jawa atau yang bahasa ilmiahnya Nisaetus Bartelsi merupakan salah satu spesies elang yang endemik di Indonesia, yaitu keberadaannya di Pulau Jawa. Keberadaannya yang langka, membuat satwa ini dijadikan sebagai maskot satwa langka di Indonesia sejak tahun 1992.
Ciri khas Elang Jawa ini adalah jambul di atas kepalanya yang menonjol sekitar 12 cm. Sebagai spesies elang berukuran sedang, elang Jawa memiliki tubuh 56-70 cm. Dengan rentang sayap sekitar 110-130 cm. Bunyinya nyaring tinggi. Suaranya hampir mirip dengan spesies Elang Brontok. Begitu pula, ketika terbang, Elang Jawa mirip dengan Elang Brontok. Hanya saja warna elang Jawa lebih kecoklatan.
Sebaran burung ini berada di ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) sampai ujung timur (Semenanjung Blambangan Purwo) Pulau Jawa. Tapi burung ini hanya terbatas di wilayah hutan primer dan daerah peralihan antara dataran rendah dan pegunungan. Dengan kata lain, Elang Jawa berspesialisasi hidup di kawasan berlereng.
Sebagai burung pemangsa, Elang Jawa seringkali bertengger di pohon-pohon tinggi. Hal tersebut dilakukan agar dengan sigap bisa memantau dan menyerang mangsa. Bukan saja burung-burung kecil sejenis punai dan walik. Burung ini, juga memangsa mamalia kecil seperti tupai, musang, bahkan anak monyet.
Masa bertelur Elang Jawa sendiri sekitar 1-2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan Januari hingga Juni. Hal tersebut menyebabkan keberadaan burung ini menjadi langka. Hutan primer juga semakin berkurang, sehingga tempat tinggal Elang Jawa juga ikut berkurang. Selain itu manusia juga sering memburu satwa ini untuk dijual karena nilai ekonomisnya cukup tinggi. Bagi sebagian orang, memiliki satwa langka merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.
Elang Jawa, Garuda Pancasila, dan Lambang Indonesia
Pada mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, Garuda merupakan kendaraan Dewa Wishnu. Bentuknya menyerupai burung Elang Rajawali. Sehingga tidak jarang menemukan lambang garuda di candi-candi.
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia merasa negara ini membutuhkan lambang negara. Akhirnya pada 10 Januari 1950, pemerintah membentuk panitia untuk melakukan sayembara pemilihan lambang negara. Panitia tersebut beranggotakan beberapa orang, diantaranya M.A. Pelaupessy, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Yamin, M. Natsir dan RM Ngabehi Purbatjaraka. Dari sayembara tersebut, akhirnya terpilih rancangan Sultan Hamid II dari Pontianak.
Rancangan lambang Garuda tersebut mengalami perbaikan dan masukan dari Presiden Soekarno. Untuk membedakan dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Presiden Soekarno menambahkan jambul di kepala Garuda. Sehingga Lambang Indonesia pertama kali diperkenalkan pada 19 Februari 1950.
Jambul di atas kepala memang identik dengan Elang Jawa. Meskipun Garuda dan Elang Jawa itu kedua hal yang berbeda. Namun, kemiripan itu muncul karena dirancang seperti Elang Jawa. Dalam pemaknaan Elang Jawa, hampir sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia. Elang Jawa dianggap sebagai penguasa Langit di Jawa sejalan dengan cita-cita agar Indonesia menjadi bangsa yang besar dan kuat. (K-IK)