Masyarakat Ende dikenal sangat mendukung toleransi. Interaksi masyarakat terjadi di tengah keragaman etnis dan agama.
Sejak pagi, puluhan kapal nelayan, Sabtu (28/5/2022) dikawal oleh kapal Polairud Nusa Tenggara Timur (NTT) melepas sauh dari Pulau Ende mengelilingi perairan Ende. Parade puluhan kapal tersebut dihiasi dengan bendera merah putih dan tulisan dan gambar yang menunjukkan kesetiaan terhadap Pancasila. Terdapat tulisan 'Hari Lahir Pancasila, dari Ende untuk Indonesia' dan dari toa kapal terdengar lagu-lagu nasional seperti 'Garuda Pancasila'.
Setelah konvoi di laut sekitar 20 menit, satu kapal besar yang membawa replika patung Garuda Pancasila bersandar di dermaga Pelabuhan Bung Karno, Kabupaten Ende. Kemudian, replika patung burung Garuda Pancasila itu diturunkan dan disambut oleh tim yang terdiri dari puluhan personel TNI, Polri, dan Satpol PP Kabupaten Ende.
Sebelum replika patung burung Garuda Pancasila itu diarak ke Kota Ende, dilakukan dulu upacara penyambutan di atas KRI Teluk Banten milik TNI-AL. Turut hadir sejumlah pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pemkab Ende, dan jajaran petinggi TNI/Polri.
Dari situ, Garuda Pancasila diarak ke kota Ende dan ribuan masyarakat setempat tumpah ruah mengikuti pada acara Parade Kebangsaan. Turut memeriahkan warga dari berbagai unsur, seperti paguyuban Maluku dan kelompok masyarakat Bali.
Warga melakukan napak tilas ke tempat bersejarah lahirnya Pancasila di Ende, yakni Rumah Pengasingan Bung Karno, Taman Perenungan, dan Gedung Immaculata. Prosesi ini merupakan rangkaian kegiatan untuk menyemarakkan hari lahir ke-77 Pancasila yang dipusatkan di Ende pada 1 Juni. Direncanakan Presiden Joko Widodo akan memimpin langsung pada Peringatan Hari Lahir Pancasila di Lapangan Pancasila, Kota Ende.
Seperti dituturkan dalam autobiografi Bung Karno karya Cindy Adams, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", Ir Sukarno atau Bung Karno merenungkan gagasan Pancasila di wilayah Indonesia timur tersebut. Sebelum berada dalam masa pengasingan (1934–1939), Bung Karno berada di penjara Sukamiskin, Bandung.
Pergerakannya bersama para rekan seperjuangan kemerdekaan di Partai Nasional Indonesia membuat Belanda memutuskan untuk mengasingkannya di Ende, Pulau Flores. Hal ini sengaja dilakukan guna memutus hubungan Bung Karno dengan para loyalisnya.
Sebelum tiba di Ende, dia harus menempuh perjalanan selama delapan hari menggunakan kapal. Selama empat tahun (14 Januari 1935-18 Oktober 1938), Bung Karno tinggal di rumah Abdullah Ambuwawu di Jl Perwira, Ende. Ia tinggal bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, dan mertuanya, yaitu Ibu Amsi.
Aktivitas Bung Karno ketika masa pengasingan, antara lain, melukis, mengajar, dan menulis lakon pementasan bersama warga sekitar. Di sekitar lokasi pengasingan, terdapat sebuah taman yang dimanfaatkan Bung Karno untuk merenung. Tepatnya di bawah sebuah pohon sukun. Renungannya nantinya membuahkan hasil falsafah dan dasar negara Indonesia, Pancasila.
Lokasi itu sekarang dikenal dengan Taman Renungan Bung Karno atau Taman Pancasila. Di sana terdapat patung Bung Karno. Patung tersebut diibaratkan seperti dirinya yang sedang duduk termenung di bawah pohon sukun bercabang lima dan menatap ke arah laut.
Saat ini, kawasan Taman Renungan Soekarno dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan kreasi seni dan budaya, serta diskusi. Bagi BPIP ada sejumlah keistimewaan Ende hingga diputuskan menjadi pusat peringatan hari lahir Pancasila pada tahun ini.
Menurut Wakil Kepala BPIP Profesor Hariyono, ketika di Ende inilah ada ruang bagi Bung Karno, yang biasanya sangat sibuk mengonsolidasikan perjuangan nasional, untuk merenungkan dasar-dasar negara yang kelak akan dia pimpin. Di Ende, Bung Karno sadar bahwa Indonesia itu bukan hanya Jawa.
Pulau Flores, khususnya Ende, memiliki warga dari kalangan etnis dan agama beragam. Bung Karno yang merupakan aktivis kemerdekaan dari kalangan nasionalis dan beragama Islam, kerap berdiskusi dengan tokoh-tokoh agama lain di Ende.
Tak hanya itu, saat itu, Bung Karno juga semakin mendalami ajaran Islam serta melakukan diskusi korespondensi dengan tokoh Persis Bandung, A Hasan. "Dari sinilah ketuhanan, menurut Bung Karno, tak bisa dipersempit menjadi ketuhanan bagi agama tertentu," kata Hariyono di Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende di sela acara Parade Kebangsaan untuk menyambut puncak Hari Lahir Pancasila, Sabtu (28/5/2022).
Sejarah Ende pun memiliki tradisi kemandirian. Ini terbukti bahwa Ende baru bisa ditaklukkan Hindia Belanda pada 1917. Sementara itu, wilayah Nusantara lainnya sudah dikuasai lebih dulu oleh kolonial Belanda.
Masyarakat Ende juga dikenal sangat mendukung toleransi. Meskipun, ada etnis dan agama yang berbeda, tetapi masyarakatnya saling berinteraksi. "Bung Karno menilai Ende adalah miniaturnya Indonesia," kata Hariyono, yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang.
Satu hal, Ende juga merupakan wilayah yang mencerminkan kemaritiman. Makanya, ketika Bung Karno pidato di depan BPUPK pada 1 Juni 1945, dikatakan bahwa Indonesia bukan hanya kelautan tetapi lautan yang ditaburi pulau-pulau. Sehingga, negara kepulauan ini tak bisa disatukan jika tidak memiliki dasar negara yang berakar dari nilai-nilai masyarakat. "Maka ketika di Ende, lima mutiara (sila Pancasila) sudah terlihat dan itulah peran Ende," kata Hariyono.
Hariyono mengatakan, Ende adalah salah satu rahim proses kelahiran Pancasila dengan keistimewaannya. Karena itu, BPIP ingin peringatan hari lahir Pancasila ke depannya dirayakan di daerah-daerah yang memiliki peran dalam proses sejarah terbentuknya Pancasila.
"Ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Pancasila itu bukan hanya milik orang Jawa, tetapi ada Bengkulu, Banda, hingga Boven Digul," kata Wakil Kepala BPIP.
Parade Kebangsaan di Ende hanya salah satu dari rangkaian Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022. Ada beberapa kegiatan lainnya seperti Pameran Ekonomi Kreatif dan Pameran UMKM serta Pentas Seni Budaya pada 29-30 Mei 2022, Pembekalan Penguatan Pembinaan Ideologi Pancasila pada 30 Mei 2022, serta Napak Tilas Pengalian dan Perumusan Pancasila pada 31 Mei 2022.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari