Kebijakan baru terkait PLTS Atap dibuat untuk mengejar target 1 Gigawatt (GW) PLTS Atap yang terhubung jaringan PLN dan 0,5 GW dari non-PLN setiap tahun.
Capaian pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap hingga Desember 2023 baru 140 Megawatt (MW), sehingga perlu dilakukan percepatan pengembangan PLTS Atap atau PLTS Rooftop on Grid/Photovoltaic. Untuk itu, lewat Program PLTS Atap, pemerintah mengajak masyarakat ikut berkontribusi langsung dalam pemanfaatan energi hijau, serta meningkatkan kesadaran dalam melakukan efisiensi energi.
Pasalnya, bauran energi di Indonesia masih didominasi energi fosil yang berasal dari minyak, gas, dan batu bara. Padahal, pemerintah sudah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2023, capaian bauran EBT di Indonesia baru mencapai sekitar 13 persen.
Pemerintah telah mendorong penerapan PLTS Atap sejak 2018. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap, yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Peraturan itu direvisi melalui Permen ESDM nomor 2 tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Regulasi itu mengatur instalasi PLTS Atap baik untuk PLN maupun wilayah usaha non-PLN. Peraturan ini mulai berlaku mulai 31 Januari 2024.
“Pemerintah memandang implementasi regulasi PLTS Atap belum mencapai potensi optimalnya. Hanya saja kami yakin, tantangan ini dapat diatasi dengan kerja keras, inovasi, dan kolaborasi seluruh stakeholders baik pemerintah, akademisi, badan usaha, media, serta masyarakat, salah satu hasilnya dengan terbitnya aturan ini,” ujar Plt Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu, saat Sosialisasi Peraturan Menteri ESDM nomor 2 tahun 2024 di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Kebijakan tersebut dibuat untuk mengejar target 1 Gigawatt (GW) PLTS Atap yang terhubung jaringan PLN dan 0,5 GW dari non-PLN setiap tahun. Dengan asumsi kapasitas 1 modul surya 450 Wp, maka diperlukan produksi sekitar 3,3 juta panel surya. Dari sisi hulu, Indonesia memiliki sumber daya pasir silika, yang dapat dimanfaatkan untuk industri panel surya (solar cell).
Pasir silika merupakan salah satu material tambang yang dapat dipergunakan untuk pembuatan gelas, kaca, bahan campuran semen, blasting pipa (sand blasting), dan lainnya. Oleh karenanya, program PLTS Atap diharapkan dapat mendorong tumbuhnya industri modul surya di Indonesia dan mendukung rencana pembangunan industri hulu panel surya yang direncanakan di Jawa Tengah, Pulau Batam, dan Pulau Rempang.
Dengan begitu, melalui peraturan terbaru PLTS Atap ini, pemerintah memperbaiki aturan yang secara umum bertujuan untuk efisiensi dan transparansi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam memasang PLTS Atap.
Adapun pokok-pokok pengaturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 2 tahun 2024 tentang PLTS Atap, di antaranya kapasitas pemasangan PLTS Atap tidak dibatasi 100 persen dari daya terpasang PLN tetapi berdasarkan ketersediaan kuota PLN.
Kuota kapasitas sistem PLTS Atap dalam clustering (di tingkat PLN UP3) yang dipublikasikan oleh PLN melalui laman, aplikasi, dan/atau media sosial resmi milik PLN. Kuota ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan setiap lima tahun.
Peniadaan mekanisme ekspor impor. Nilai kelebihan energi listrik dari sistem PLTS Atap pelanggan ke jaringan pemegang IUPTLU tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan. Di samping itu, peniadaan biaya kapasitas untuk semua jenis pelanggan PLN.
Pengaturan dan penyederhanaan waktu permohonan pemasangan PLTS Atap oleh Pelanggan PLN dan pengajuan dilayani oleh PLN berdasarkan mekanisme FIFS (First In First Serve). Biaya pengadaan advanced meter sebagai pengganti meter kWh ekspor impor ditanggung Pemegang IUPTLU.
Pusat Pengaduan PLTS Atap menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU dan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menambahkan, para pemegang IUPTLU, baik PLN maupun Wilayah Usaha Non-PLN, perlu menindaklanjutinya dengan mengusulkan kuota sistem PLTS Atap selama lima tahun kepada Kementerian ESDM. Usulan itu melalui Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan Dirjen EBTKE, untuk kemudian dievaluasi dan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Sebelumnya, PLN telah membatasi pemanfaatan PLTS Atap hanya 10--15 persen dari kapasitas listrik PLN yang terpasang. Kebijakan ini berlaku bagi pelanggan rumah/residensil, komersil maupun industri yang akan menggunakan atau pemasangan PLTS sistem On Grid Tie dan System Hybrid On. Kebijakan ini merupakan syarat pengajuan KWH meter ekspor-impor daya, di mana penggunaan PLTS Atap dapat mengekspor kelebihan daya yang dihasilkan PLTS ke jaringan PLN.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari