Gelombang resesi boleh saja melanda dunia, bahkan dua negara (Jepang dan Inggris) sudah masuk resesi, namun tidak dengan ekonomi Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia hingga akhir 2023, ibarat kata, jauh panggang dari api resesi.
Ekonomi Indonesia, meminjam istilah Menteri Keuangan Sri Mulyani, nyatanya “laen” dengan ekonomi negara lain. Melalui unggahan di akun instagram resminya, Sri Mulyani mengungkapkan kinerja positif perekonomian Indonesia dan APBN KiTA.
Dalam paparannya, Sri Mulyani membeberkan fakta bahwa hingga Januari 2024 pendapatan negara sudah terkumpul Rp215,5 triliun atau 7,7 persen target, belanja negara Rp184,2 triliun atau 5,5 persen pagu, dan APBN masih surplus Rp31,3 triliun atau 0,14 persen produk domestik bruto (PDB).
Namun harus diakui bahwa perkembangan ekonomi global, ditambah dengan perkembangan geopolitik seperti ketegangan di Laut Merah sebagai imbas dari konflik Timur Tengah, tidak urung berdampak pada perlambatan jalur pergerakan barang.
Sementara itu, penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2024 di beberapa negara mitra utama Indonesia, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Taiwan, juga tidak lepas sebagai indikator yang mempengaruhi perilaku bisnis mereka ke Indonesia.
Tumbuh Positif
Dalam situasi global yang belum stabil tersebut, perekonomian Indonesia masih tetap tumbuh dan tampak terkendali, termasuk sektor industri manufaktur. Rata-rata pertumbuhan PDB industri manufaktur Indonesia mencapai 3,44 persen (2014-2022), lebih tinggi dari pertumbuhan dunia maupun OECD (data world bank), dengan kontribusi mencapai 19,9 persen.
Nilai Manufacturing Value Added Indonesia tahun 2021 yang mencapai USD288 miliar (data UNStats), menunjukkan Indonesia merupakan salah satu power house manufaktur dunia. Ekspor produk Industri nonmigas menyumbang 72,24 persen ekspor Indonesia (tahun 2023). Penyerapan tenaga kerja hingga 19,29 juta orang (naik 23,5 persen dibandingkan 2014), dan investasi sektor industri yang mencapai Rp3.031,85 triliun selama satu dekade menunjukkan bahwa industri manufaktur tetap kuat dalam menghadapi resesi global saat ini.
Sementara itu, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur menunjukkan selama 29 (dua puluh sembilan) bulan berturut-turut Indonesia mengalami ekspansi. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Indeks Kepercayaan Industri sejak dirilis November 2022 hingga Februari 2024 ini.
“Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Februari 2024 mencapai 52,56, meningkat 0,21 poin dibandingkan Januari 2024,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, menyampaikan saat rilis IKI Februari di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Prediksi IKI
Kenaikan IKI pada Februari 2024, tidak lepas dari pengaruh peningkatan nilai IKI pada 15 subsektor. Selain itu, Pemilu 2024 yang telah berlangsung juga merupakan faktor yang membuat ekspektasi pelaku usaha terhadap perekonomian domestik menjadi lebih optimis.
Faktor musiman Ramadan dan Idulfitri mendatang juga mendukung naiknya optimisme para pelaku industri, terutama di subsektor industri makanan dan minuman, pakaian jadi, serta kendaraan bermotor. “Sehingga kami memprediksi IKI pada Maret 2024 akan meningkat dibandingkan Februari 2024,” imbuh Feri.
Kondisi umum kegiatan usaha Februari 2024 lebih baik dibanding Januari 2024. Hal ini dilihat dari persentase responden yang menjawab kondisi usahanya meningkat naik dari 30,1% menjadi 31,7%, atau responden yang menjawab meningkat dan stabil naik dari 76,4% menjadi 76,8%.
Demikian juga dengan optimisme pelaku usaha enam bulan ke depan juga sangat baik, naik lagi dari 67,6% pada Januari 2024 menjadi 71,0% di Februari. Level pesimisme juga turun, dari 10,6% di bulan sebelumnya menjadi hanya 7,9%. Nilai ini menunjukkan persepsi terbaik sejak IKI dirilis.
Jumlah subsektor industri yang mengalami ekspansi menjadi 17 subsektor dengan kontribusi terhadap PDB triwulan IV-2023 sebesar 87,91%. Nilai IKI terbesar atau ekspansi terbesar masih dialami oleh industri minuman, disusul oleh subsektor industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri makanan, industri barang galian bukan logam, dan industri farmasi, obat kimia dan tradisional.
Variabel Pembentuk
Apabila dilihat dari variabel pembentuk IKI, peningkatan nilai IKI berasal dari peningkatan variabel persediaan produk (3,48 poin) dan pesanan baru (0,97 poin). Adapun variabel produksi mengalami penurunan hingga pada 50,45 (turun 3,23 poin), meskipun masih pada level ekspansi.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa industri pengolahan nonmigas pada Februari masih menghabiskan hasil produksi periode sebelumnya. Adapun beberapa subsektor yang mengalami penurunan produksi yang signifikan yaitu subsektor industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki; industri minuman; industri pengolahan tembakau; industri karet, barang karet dan plastik; industri makanan; industri barang logam bukan mesin; industri pakaian jadi; industri kendaraan bermotor, trailer; industri farmasi, obat kimia dan tradisional, dan seterusnya.
Penurunan aktivitas produksi tersebut, jelas Febri, mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja industri. Namun, secara umum, faktor dominan yang menyebabkan pelaku usaha menurunkan produksinya adalah penurunan pesanan, tingkat ketersediaan produk, ketersediaan bahan baku/penolong, dan faktor musiman.
Krisis di Laut Merah yang telah disebutkan tadi menyebabkan peningkatan biaya logistik dan waktu pengiriman produk beberapa subsektor, seperti pada industri kayu dan barang dari kayu. Dari sisi ketersediaan bahan baku, ketegangan geopolitik menghambat pengiriman sedangkan kekeringan El Nino menyebabkan kelangkaan bahan baku. Perang Rusia-Ukraina menyebabkan kelangkaan ketersediaan kalium sebagai bahan baku pupuk NPK yang diimpor dari Rusia sebagai mitra utama. Selain itu, banyaknya hari libur pada Februari diduga mengurangi waktu produksi di sebagian besar subsektor, yang mengakibatkan kontraksi.
Penurunan nilai IKI terbesar dialami oleh industri alat angkutan lainnya sebesar 5,15 poin, yang mengubah level ekspansinya menjadi kontraksi. Beberapa faktor dominan yang menyebabkan nilai IKI subsektor ini turun yaitu penurunan pesanan domestik dan luar negeri, masih banyak persediaan produk, ketersediaan bahan baku, dan faktor musiman.
Enam subsektor mengalami nilai IKI kontraksi secara berurutan dari yang terendah, yaitu industri komputer, barang elektronik dan optik, industri peralatan listrik, industri tekstil, industri pengolahan lainnya, industri kayu, barang kayu dan gabus, dan industri alat angkutan lainnya.(*)
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Penulis: Dwitri Waluyo