Indonesia.go.id - Menguatkan Perlindungan Konsumen

Menguatkan Perlindungan Konsumen

  • Administrator
  • Kamis, 25 April 2024 | 16:49 WIB
PERDAGANGAN
  Belanja daring paling banyak menghadirkan aduan konsumen. ANTARAFOTO
Perlindungan konsumen di 11 sektor prioritas menjadi krusial, menyusul tingginya pengaduan dan sengketa konsumen.

Masalah perlindungan konsumen telah kini dinilai telah menjadi masalah yang krusial yang perlu segera ditangani. Pasalnya, masalah hak-hak konsumen mulai diabaikan seiring dengan semakin maraknya jasa layanan berbasis digital.

Cerita keluhan konsumen, seperti diceritakan seorang ibu rumah tangga bernama Maya, 40 tahun, asal Tangerang, bisa jadi banyak ditemukan. Ketika itu, Maya sangat membutuhkan sebuah panci untuk membuat kue. Maya langsung membuka ponselnya. Kemudian ibu rumah tangga itu membuka pelbagai laman e-dagang hingga akhirnya dirinya menemukan barang yang dibutuhkan di satu toko online yang berlokasi di Bekasi.

Tanpa berpikir untuk mencari informasi soal reputasi toko online tersebut, Maya langsung bertransaksi setelah yakin dengan barang yang dipilih di display toko online, termasuk kapan barang yang dipesan diterima di rumahnya. Di layanan toko online disebutkan barang diterima dua hari kemudian.

Pesanan Maya datang dua hari kemudian. Dengan wajah semringah, paket pesanan itu pun dibuka oleh Maya. Namun apa lacur, barang itu tidak sesuai dengan bayangannya. Ternyata barang pesanannya bukan sebuah panci beserta tutupnya, melainkan hanya sebuah tutup panci.

Sontak Maya pun terkejut dan marah. Langkah berikutnya yang dilakukan ibu rumah tangga itu adalah mencari informasi layanan konsumen toko online itu. Sayangnya, telepon yang tertera di laman toko online tidak ada yang menjawab panggilannya.

Cerita di atas banyak terjadi seiring semakin maraknya layanan berbasis e-commerce tersebut. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun mengakui fenomena itu. Demikian pula laporan yang pernah disampaikan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

Menurut laporan lembaga yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang ditindaklanjuti dengan PP nomor 04 tahun 2019 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional, pengaduan soal pengabaian hak konsumen mencapai 80 pengaduan pada 2024.

BPKN pernah memperoleh puncak pengaduan pada 2021 dengan jumlah mencapai 3.256 pengaduan. Setelah itu turun menjadi 1096 pengaduan (2022) dan 929 pengaduan (2023). Jenis pengaduan yang dominan adalah layanan jasa keuangan, e-commerce atau e-dagang. Berikutnya masalah properti dan keluhan telekomunikasi. Fenomena pengaduan seperti ini telah berlangsung 3--5 tahun terakhir.

Dari gambaran di atas, tidak dipungkiri masalah perlindungan konsumen menjadi isu yang menjadi disinsentif bagi dunia ekonomi digital yang digadang-gadang oleh pemerintah sebagai elemen penting pendorong ekonomi nasional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, implikasi dari risiko transaksi digital tercermin dalam pengaduan dan kasus sengketa konsumen yang bergeser, berkaitan dengan sektor perdagangan obat dan makanan, elektronik/kendaraan bermotor, keuangan, perumahan, listrik/gas, telekomunikasi, jasa kesehatan, dan jasa transportasi, di samping sektor perdagangan di e-commerce.

Sementara itu, pengaduan konsumen yang berkaitan dengan sektor perdagangan melalui e-commerce mengalami peningkatan yang signifikan. Pada 2022, sebagai dampak dari pandemi Covid-19, sebanyak 92,6 persen dari pengaduan yang masuk ke Kementerian Perdagangan adalah pengaduan terkait e-commerce

Jenis pengaduan tertinggi yaitu terkait aplikasi/konten, makanan dan minuman, penipuan online, serta jenis pengaduan lainnya yaitu pakaian, elektronik, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain.

Masih maraknya pengabaian terhadap hak-hak konsumen disadari oleh pemerintah, meski negara telah menerbitkan UU nomor 8/1999 soal Perlindungan Konsumen. Bisa jadi, hal itu dilatarbelakangi pelbagai masalah seperti disebutkan di atas. Alhasil, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk lebih menguatkan soal perlindungan konsumen, yakni melalui Peraturan Presiden 49/2024 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen.

Melalui penerbitan perpres itu, pemerintah memandang bahwa kebijakan Strategi Nasional (Stranas) Perlindungan Konsumen yang telah dilaksanakan perlu dilanjutkan melalui optimalisasi program lintas kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan instansi terkait, serta peran serta pelaku usaha, masyarakat, dan pemangku kepentingan.

“Stranas-Perlindungan Konsumen merupakan dokumen yang memuat arah kebijakan, strategi, dan sektor prioritas perlindungan konsumen untuk pencapaian target tahun 2024,” bunyi Ayat (2) Pasal 1 Perpres 49/2024, dikutip Selasa (9/4/2024). Pasal 2 beleid itu menyebutkan, Stranas Perlindungan Konsumen memiliki empat tujuan. Pertama, untuk memberikan arah kebijakan dan strategi perlindungan konsumen yang lebih sinergis, harmonis, dan terintegrasi bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan instansi terkait.

Kedua, mempercepat penyelenggaraan perlindungan konsumen di sektor prioritas. Ketiga, mendorong peningkatan keberdayaan konsumen yang mampu membuat keputusan yang optimal dan memahami preferensinya dari pilihan yang tersedia, serta memahami haknya untuk menuju konsumen yang sejahtera.

Keempat, mendukung penguatan permintaan domestik guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan. Dalam lampiran perpres itu juga diterakan bahwa perlindungan konsumen menjadi suatu isu yang sangat penting bagi masyarakat, mengingat kebutuhan masyarakat terus meningkat dari tahun ke tahun.

Oleh karena lingkup perlindungan konsumen yang luas dan melibatkan hampir seluruh sektor, pemerintah menetapkan 11 sektor prioritas perlindungan konsumen untuk tahun 2024. Penetapan sektor prioritas ini didasarkan pada banyaknya jumlah pengaduan dan sengketa konsumen yang diajukan ke lembaga pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen, masalah-masalah struktural kelembagaan, serta perkembangan isu terkini terkait kebutuhan masyarakat.

Ke-11 sektor tersebut di antaranya sektor obat dan makanan, listrik dan gas rumah tangga; keuangan; jasa telekomunikasi; jasa transportasi; jasa pariwisata dan ekonomi kreatif; sektor perumahan, air, dan sanitasi; barang elektronik, telematika, dan kendaraan bermotor; sektor perdagangan melalui sistem elektronik; serta sektor jasa logistik. Melalui Perpres 49/2024 diharap ada pijakan untuk lebih menguatkan hak-hak konsumen.

 

Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari