Demand berubah, dari susu bubuk dan susu kental manis, menjadi susu cair (UHT dan pasteurisasi). Investasi industri pengolahan susu pun melampaui Rp23 triliun.
Menyusul rencana pemerintah meluncurkan program makanan bergizi, satu-satu komponen bahan makanan yang layak diperhatikan adalah susu. Bahan yang satu ini merupakan sumber nutrisi seimbang yang dibutuhkan oleh tubuh.
Susu mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dalam satu gelas susu bisa memenuhi gizi harian orang dewasa sebanyak 20 persen protein, 15 persen lemak, 9 persen energi, 4 persen kalium hidrida, 3 persen kolesterol, serta 40 persen sampai 45 persen kalsium/vitamin A/B6/B12.
Selain itu, satu gelas susu sehari juga memenuhi gizi harian orang dewasa berupa 20 persen sampai 30 persen vitamin B1/B2/D/E/P, 10 persen vitamin B5/zinc/magnesium, 5 persen natrium/kalium, 2 persen sampai 15 persen zat besi (difortifikasi), dan sebagainya.
Meski kaya nutrisi, tingkat konsumsi susu per kapita di Indonesia tergolong rendah. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia selama lima tahun terakhir cenderung stagnan, dari yang sebesar 16,29 kg/kapita/tahun pada 2017, 16,49 kg/kapita/tahun di 2018, 16,23 kg/kapita/tahun pada 2019, serta 16,27 kg/kapita/tahun di 2020.
Angka tersebut ada di bawah rata-rata negara-negara di Asia Tenggara. Sebut saja negara tetangga, yakni Malaysia, yang mencatatkan konsumsi susu masyarakatnya sebesar 26,2 kg/kapita/tahun, Thailand sebanyak 22,2 kg/kapita/tahun, dan Myanmar yang mencapai 26,7 kg/kapita/tahun.
Populasi Sapi Perah
Salah satu penyebab tingkat konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia rendah, terkait dengan faktor biologis. Umum terjadi di populasi di Asia dan Afrika. Juga di beberapa daerah di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Australia.
Mereka secara biologis, dalam istilah kedokteran mengalami intoleransi laktosa atau kondisi saat seseorang tidak mampu mencerna laktosa atau gula dalam produk susu sepenuhnya, karena kekurangan enzim laktase yang terdapat di dalam saluran pencernaan.
Intoleransi laktosa umumnya banyak terjadi pada orang tua zaman sekarang, lantaran saat kecil tak dibiasakan untuk rutin mengonsumsi susu. Selain faktor biologis, konsumsi susu rendah di tanah air juga terkait rendahnya populasi sapi perah. Merujuk data Kementerian Pertanian pada 2021, jumlah sapi perah di Indonesia hanya sebanyak 578.579 ekor, dengan produksi susu segar dalam negeri sebesar 962,68 ribu ton per tahun.
Angka produksi susu segar itu meningkat menjadi 968.980 ton pada 2022. Meski total produksi susu segar cukup besar, tetap masih di bawah total kebutuhan susu di tanah air, yang mencapai 4,4 juta ton (2022).
Mencermati hal itu, Kementerian Perindustrian terus berupaya meningkatkan produksi susu, termasuk menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan susu agar produktivitasnya berjalan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar domestik hingga ekspor.
Adanya investasi baru di sektor industri pengolahan susu, khususnya produsen susu cair, menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan baku susu segar dari dalam negeri. Saat ini, merujuk keterangan tertulis Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, dalam keterangannya di Bali, Jumat (24/5/2024), terjadi perubahan demand di pasar, dari susu bubuk dan susu kental manis, menjadi susu cair (UHT dan pasteurisasi) dalam beberapa tahun terakhir.
Adapun produksi terbesar di industri pengolahan susu saat ini didominasi susu cair dan krim (49 persen), sisanya adalah susu kental manis (17 persen), dan susu bubuk (17,5 persen). Seiring hal ini, industri pengolahan susu sudah mampu ekspor dengan beragam produk seperti susu formula, makanan bayi, es krim, keju, yogurt, susu bubuk, susu kental manis, serta susu cair dan krim.
Terkait kinerja industri pengolahan susu, Ditjen Industri Agro memaparkan bahwa sampai 2023 realisasi investasi sektor ini sebesar Rp23,4 triliun dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 37 ribu orang. “Saat ini kondisi perkembangan sektor ini cukup baik, sudah ada 88 pabrik industri pengolahan susu dan turunannya, dengan total kapasitas produksi mencapai 4,64 juta ton per tahun,” jelas Dirjen Putu.
Putu juga mengemukakan, industri pengolahan susu merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Pada 2022, meskipun masih terjadi pandemi Covid-19, industri pengolahan susu mampu berkembang yang ditandai dengan munculnya beberapa investasi baru seperti PT Frisian Flag Indonesia di Kabupaten Bekasi, PT Nestle Indonesia di Kabupaten Batang, PT Kian Mulia di Kabupaten Bekasi, dan rencana investasi Baladna (perusahaan asal Qatar) di Kabupaten Indramayu.
“Ini menunjukkan bahwa bisnis di sektor industri pengolahan susu masih cukup prospektif sekaligus mencerminkan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi karena terciptanya iklim usaha yang kondusif dengan berbagai kebijakan yang probisnis,” tuturnya.
Putu menyatakan, industri pengolahan susu turut memberikan andil besar terhadap pertumbuhan industri agro. “Pada 2023, industri agro mampu tumbuh 4,15 persen, yang menjadi penopang utamanya adalah industri makanan dan minuman dengan pertumbuhannya mencapai 4,47 persen. Sementara itu, industri pengolahan susu termasuk di dalam industri makanan dan minuman,” jelasnya.
Pada triwulan I-2024, industri makanan dan minuman tumbuh sebesar 5,87 persen, meningkat dibandingkan periode triwulan I-2023. “Sedangkan untuk kontribusi industri agro terhadap PDB industri pengolahan nonmigas sebesar 51,54 persen, dan terhadap PDB Nasional sebesar 9 persen,” imbuhnya.
Putu optimistis, kinerja industri pengolahan susu akan semakin gemilang seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan bertumbuhnya kelas menengah. Selain itu bertransformasinya gaya hidup masyarakat menjadi lebih sehat, diyakini konsumsi produk susu olahan akan terus tumbuh tinggi ke depannya.
Memacu Produksi
Saat ini, tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia sebesar 16,9 kg per kapita per tahun setara susu segar. “Jumlah ini perlu dipacu lagi untuk bisa bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Apalagi, peluang peningkatan konsumsi susu di Indonesia masih sangat besar, yang membuat investor berlomba-lomba untuk meningkatkan investasi di industri pengolahan susu,” ungkapnya.
Namun demikian, diperlukan langkah untuk menjaga ketersediaan bahan baku. Sebab, kondisi saat ini, hanya sekitar 20 persen bahan baku susu yang dipasok dari dalam negeri. “Masalah ini disebabkan laju pertumbuhan produksi susu segar di dalam negeri, yaitu sebesar rata-rata 1 persen dalam enam tahun terakhir, sehingga tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu yang tumbuh rata-rata 5,3 persen,” sebut Putu.
Menurutnya, kendala utama dalam pengembangan produksi susu segar dalam negeri (SSDN) adalah masih sedikitnya populasi sapi perah di Indonesia (sekitar 592 ribu ekor), rendahnya produktivitas sapi perah rakyat (8-12 liter per ekor per hari), dan tingginya rasio biaya pakan dengan hasil produksi susu (0,5-0,6).
“Pengembangan produksi susu segar juga dihadapkan pada terbatasnya lahan untuk kandang dan pakan hijauan,” imbuhnya. Selain itu, minimnya kepemilikan sapi perah peternak rakyat (2-3 ekor per peternak), biaya pembesaran (rearing) anakan sapi perah yang cukup mahal, kurangnya pemahaman peternak rakyat akan Good Dairy Farming Practices (GDFP), serta masih minimnya minat anak muda untuk menjadi peternak.
Oleh karenanya, guna mengatasi berbagai persoalan dalam pengembangan SSDN, diperlukan dukungan dan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada penanganan di sektor hulu baik koperasi susu dan peternak sapi perah. Misalnya, Kemenperin telah memberikan bantuan sebanyak 84 cooling unit kepada 68 koperasi susu di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Pada 2021, kami telah membantu mendirikan Milk Collection Point (MCP) di koperasi susu di Pengalengan, Jawa Barat, dan pada 2022 kami melakukan digitalisasi di 40 tempat penerimaan susu (TPS) di Jawa Timur sebagai implementasi program industri 4.0 untuk memantau kualitas susu secara real time,” tutur Putu.
Lebih lanjut, Dirjen Industri Agro juga menegaskan, keberhasilan pengembangan SSDN memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Contohnya, Kemenperin terus mendorong industri pengolahan susu untuk ikut hadir dan berperan aktif dalam mengatasi berbagai masalah persusuan di sektor hulu, khususnya melalui program kemitraan yang saling menguntungkan dengan koperasi susu dan peternak sapi perah rakyat.
“Pola kemitraan ini sangat penting, antara pelaku industri dengan peternak, untuk peningkatan populasi peternak dan sapi perah serta memfasilitasi bantuan sarana prasarana penunjang produksi. Selain itu juga perlu adanya pelaksanaan program pelatihan SDM peternak terkait Good Agricultural Practices untuk peningkatan produktivitas peternak,” pungkasnya.
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari