Indonesia.go.id - Kembalinya Kecintaan pada Buah Lokal

Kembalinya Kecintaan pada Buah Lokal

  • Administrator
  • Selasa, 11 Februari 2020 | 03:18 WIB
DAMPAK PANDEMI
  Buah lokal menjadi primadona setelah mewabahnya virus corona. Foto : ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

Pemerintah tidak melarang impor seluruh komoditas dari Tiongkok. Larangan hanya berlaku terhadap hewan hidup dari negeri itu.

Ekonomi dunia kini mengalami turbulensi setelah penyakit akibat Novel coronavirus merebak di Wuhan, Tiongkok, sejak akhir Desember lalu. Indonesia sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi dunia yang ikut terkena dampaknya.

Salah satu sektor yang terkena dampak epidemi itu adalah hortikultura. Dan subsektor hortikultura itu berupa komoditas buah-buahan. Sebelum merebaknya isu virus corona, buah impor asal Tiongkok menguasai kebutuhan pasar buah di negara ini. Namun kini, konsumen lebih meminati buah-buahan lokal.

Suasana itu yang terasa saat berkunjung ke beberapa pasar buah, seperti di Kramat Jati atau Cimanggis, Jakarta. Dalam seminggu ini, buah-buahan lokal laris manis dibeli.

Konsumen lebih melirik membeli buah lokal dibandingkan buah impor. Buah lokal kembali jadi primadona. Bayangkan, berdasarkan pantauan terkini, jeruk medan ataupun apel malang mulai diserbu pembeli.

Pasalnya, kedua komoditas dari sisi harga masih bersaing dan dinilai aman untuk dikonsumsi. Sebaliknya, jeruk mandarin, yang sebelumnya cukup berjaya, kini tidak cukup memikat konsumen.

Nasib serupa terjadi pula di beberapa pasar ritel modern. Terhadap buah impor asal Tiongkok, konsumen mulai enggan melakukan pembelian. Alhasil, penjualan buah pun didominasi buah lokal seperti durian, jeruk medan, dan apel malang.

"Kebanyakan konsumen membeli buah lokal. Kalau impor paling baru yang berasal dari Amerika, seperti apel. Kalau yang dari Tiongkok sih banyak stok, tapi jarang dibeli. Jadi kita minta pasokannya sedikit saja, nggak kita keluarin banyak," jelas Eko, pelayan di satu pusat pasar ritel modern di kawasan Jakarta Selatan.

Pemerintah pun sebenarnya sudah mengambil kebijakan proaktif berkaitan dengan merebaknya penyakit mematikan itu. Selain mengevakuasi WNI dari Wuhan, menyetop penerbangan langsung ke Tiongkok, pemerintah juga telah melakukan langkah antisipatif berkaitan dengan pandemi tersebut.

Data terakhir, seperti dilansir Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok, Minggu (9/2/2020), jumlah korban meninggal akibat terinfeksi virus itu di daratan Tiongkok hingga 8 Februari sudah mencapai 811 orang.

Sebarannya cukup eksponensial, kini sudah menjalar ke-27 negara. Angka itu sudah melebihi jumlah kematian epidemik SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) yang terjadi pada 2002-2003.

Mengutip paper dari ekonom Victoria Fan, dekan dari Jamison and Lawrence Summer yang terbit pada 2017, diestimasi risiko pandemik itu menggerus sekitar USD500 miliar, atau 0,6% dari pendapatan global per tahun. 

Satu studi lainnya yang dirilis Commission on a Global Health Risk Framework for the Future yang dilakukan pada 2016 menyebutkan penyakit pandemik bisa menggerus ekonomi global lebih dari USD6 triliun di abad 21, atau setara dengan USD60 miliar per tahun.

Tulisan ini tidak membahas masalah itu lebih jauh, melainkan membahas dampak virus itu dan langkah antisipatifnya terutama berkaitan produk hortikultura. Harus diakui, langkah pemerintah sudah cukup antisipatif. Antara lain, dengan melakukan pengetatan pemeriksaan di pintu-pintu kedatangan baik di bandara dan pelabuhan. Bahkan, Kementerian Pertanian telah menangguhkan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Tiongkok.

Importir dapat melakukan aktivitas impor sepanjang perusahaan itu telah mengantongi surat rekomendasi tersebut. Seperti disampaikan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, komoditas pangan dari Tiongkok bakal dikarantina terlebih dahulu sebelum didistribusikan ke pasar-pasar dalam negeri. “Semua bahan yang masuk akan diisolasi dulu,” ujarnya, Kamis (30/1/2020).

Asosiasi Hortikultura Indonesia pun bisa memahami kebijakan pemerintah tersebut. Mereka menyakini produk hotikultura lokal bisa menjadi substitusi produk pangan impor tersebut.

Produk yang diimpor dari Tiongkok, berdasarkan data BPS, antara lain bawang putih yang nilainya mencapai USD530 juta tahun lalu atau naik 7,37% dari tahun 2018. Ada pula jeruk mandarin yang pada tahun 2019 nilainya mencapai USD107,6 juta atau naik 703,71% dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Tidak Melarang

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto kembali menegaskan pemerintah tidak melarang impor dari Tiongkok. Larangan impor itu hanya berlaku untuk hewan hidup dari negeri tersebut, terlebih terhadap hewan-hewan yang dianggap sebagai sumber penularan virus corona.

"Keputusannya, kita larang impor hewan-hewan hidup. Hewan hidup ya semuanya itu, seperti kura-kura, ular, dan reptil, itu nggak boleh. Itu berkaitan dengan virus," ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/2/2020).

Sementara itu, untuk produk pangan holtikultura, pemerintah masih memperbolehkan masuknya produk impor dari Tiongkok. Agus mengatakan, terkait kebijakan itu Kementerian Perdagangan akan membuat peraturan sesegera mungkin di bulan ini.

Agus mengatakan, kebijakan ini akan berlaku hingga pemerintah kembali melakukan evaluasi. Meski begitu, dia menyakini bahwa dampak dari pelarangan impor hewan hidup dari Tiongkok tidak akan besar.

“Sampai nanti dievaluasi kembali. Setelah presiden mengevaluasi kembali. Sifatnya sementara, tidak selamanya karena ini mengantisipasi saja," ujarnya.

Bagi Indonesia, dampak virus corona yang menjadi momok warga dunia harus diambil hikmahnya. Apalagi, seperti diyakini Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia Anton Muslim Arbi, produk hortikultura masih dapat dipenuhi dari dalam negeri.

Dampak wabah juga memberi pelajaran berharga kepada pelaku usaha agar mau meluaskan perdagangannya dan tidak hanya tergantung ke satu negara, misalnya Tiongkok. Toh mereka masih punya opsi untuk mengambil produk dari negara-negara lain. Jeruk, misalnya, bisa diambil dari Pakistan. Lalu apel bisa dari Australia sampai Amerika. Opsi itu kian memungkinkan karena beban pajak yang ditanggung pelaku usaha tak signifikan berbeda.

Di sisi lain, dampak virus juga menjadi modal bagi komoditas lokal untuk bangkit. Salah satunya adalah mulai menggalakkan swadaya bawang putih di dalam negeri. Begitu juga pengadaan buah-buahan. Negara ini sangat kaya buah-buahan. Saatnya seluruh pemangku negeri untuk bangkit dan bangga dengan komoditas lokal.

 

Penulis : Firman Hidranto
Editor Bahasa : Ratna Nuraini