Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah berusia 11 tahun sejak kelahirannya. Usia UU itu memang belum bisa dikatakan tua, karena ada UU yang lebih tua dan hingga kini belum juga direvisi.
Khusus UU No. 4 Tahun 2009, pemerintah menilai perlu adanya revisi untuk menjawab tantangan zaman yang menuntut akomodasi terhadap perubahan spektrum dari sektor mineral dan batu bara. Apalagi, dengan lahirnya UU “sapu jagat” Omnibus Law, UU lainnya juga harus menyesuaikannya.
Beberapa poin krusial dari UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang dinilai perlu direvisi adalah masalah soal kewenangan. Bila di UU Minerba, peran pemerintah kabupaten sangat kuat sekali. Dalam perjalanannya, kewenangan itu bergeser ke gubernur provinsi menyusul lahirnya UU No. 23 Tahun 2014.
Begitu juga masalah perizinan. Memang antara UU Minerba dan RUU Minerba tidak ada perbedaan yang mendasar. Namun, terkait dengan luas wilayah keberlakuan izin, ada sedikit perbedaan.
Di antaranya, wilayah izin usaha produksi (WIUP) eksplorasi batuan di dalam Pasal 58 Minerba hanya diatur umum bahwa paling sedikit lima hektare dan paling banyak 5.000 hektare.
Sementara itu, di dalam RUU Minerba diatur lebih rinci dengan klasifikasi mineral logam dan bukan logam. Pembatasan wilayah paling sedikit untuk kedua jenis minerba tersebut tak diatur.
Sedangkan batas maksimal mineral bukan logam paling banyak 25.000 hektare, batuan paling banyak 5.000 dan untuk jenis batuan tertentu maksimal 1.000 hektare.
Berikutnya, UU Minerba ini perlu direvisi lebih lanjut adalah masalah penghiliran karena di UU yang lama ketentuan mengenai peningkatan nilai tambah tak diatur rinci. Hanya ada ketentuan Pasal 102 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu bara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batu bara. Sementara itu, Pasal 103 mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut mengenai hal itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah.
Itulah poin-poin krusial dari perlunya revisi UU Minerba, selain UU Minerba versi lama juga beberapa kali mengalami gugatan, bahkan ada yang sampai dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Draft RUU Minerba pertama kali dirilis pada 25 Januari 2016. Draft RUU itu pun sempat dibahas oleh DPR periode 2014-2019. RUU itu pun dikebut pembahasannya. Sayangnya DPR periode 2014-2019 tidak bisa diselesaikan sehingga akhirnya tertunda dan dibahas kembali oleh anggota DPR periode 2019-2024. Harapannya, pembahasan RUU Minerba Juni ini rampung dan pada 2021 bisa segera diimplementasikan.
Di era pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang memasuki periode kedua, RUU Minerba dimasukkan kembali ke DPR untuk dibahas kembali. Ini sesuai dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VII, Rabu (27/11/2019).
Menurutnya, pemerintah sepakat melanjutkan pembahasan RUU Minerba yang belum rampung saat DPR RI periode 2014-2019. Keputusan ini menandakan pemerintah akan segera merampungkan sesuai progres terakhir pembahasan RUU ini.
“Enggak [ditolak]. Ini, kan, tinggal melanjutkan saja dengan panja,” ucap Menteri Arifin Tasrif.
Dalam kesempatan itu, Arifin sepakat dengan usulan anggota DPR untuk segera membentuk panja. Melalui pembentukan panja ini, mereka menargetkan RUU ini bisa cepat rampung. Dalam rangka itu, pemerintah pun sudah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan dilanjutkan pembentukan panitia kerja (Panja) RUU Minerba. Panja soal revisi Undang-Undang Minerba mulai dibahas Senin, (16/02/2020).
Panja yang dibentuk terdiri dari 26 anggota perwakilan DPR dan 60 orang perwakilan dari pemerintah. Panja akan membahas sebanyak 703 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dalam Panja akan ada 703 DIM yang dibahas.
Tidak dipungkiri, sektor minerba merupakan salah satu sektor yang sangat vital bagi ekonomi negara ini. Wajar saja, regulasi yang mengatur sektor itu perlu segera dibenahi dan diselaraskan sehingga memenuhi tuntutan bisnis di masa depan dan ekonomi bangsa ini.
Jadi Andalan
Apalagi negara ini membutuhkan pembangunan dan sektor minerba merupakan sumber daya yang menjadi andalan untuk mengakselerasi ekonomi nasional. Sebagai gambaran, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor pertambangan minerba mencapai Rp3,23 triliun hingga awal Februari 2020.
Tak dipungkiri, penerimaan negara dari sektor itu kini masih dibayangi oleh ketidakpastian pergerakan harga batu bara global yang terjadi sejak 2019. Pasalnya komoditas batu bara mayoritas berkontribusi cukup besar bagi penerimaan negara di sektor pertambangan.
Seperti disampaikan Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Jonson Pakpahan, Jumat (7/2/2020), realisasi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) hingga awal Februari sekitar 7,29% dari target yang ditetapkan sebesar Rp44,32 triliun tahun ini. Target PNBP tahun ini ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 sebesar Rp43,27 triliun.
Adapun penetapan target itu berdasarkan asumsi produksi batu bara mencapai 530 juta ton, nilai kurs Rp14.400 dan harga batu bara acuan (HBA) USD90/ton. Sebenarnya asumsi yang ditetapkan itu berbeda dengan kondisi saat ini. Produksi batu bara ditetapkan 550 juta ton, kemudian nilai tukar rupiah sudah menguat di kisaran Rp13.000-an.
Sayangnya, seperti komoditas lainnya yang masih terkena krisis global, baik adanya perang dagang Tiongkok vs Amerika Serikat dan pascavirus Corona, telah menyebabkan harga batu bara anjlok di level USD60-an/ton.
Namun, Kementerian ESDM pun masih tetap optimistis target PNBP bakal tercapai tahun ini. Hal itu becermin pada realisasi 2019 yang melampaui target yakni sebesar Rp44,19 triliun.
Selain PNBP, berdasarkan data Kementerian ESDM, target investasi sektor minerba tahun ini mencapai USD7,74 miliar, lalu pada 2021 sebesar USD5,69 miliar. Selanjutnya pada 2022 yang diperkirakan kembali turun menjadi USD4,35 miliar dan mencapai USD3,22 miliar di 2023. Pada 2024, target investasi sektor minerba diperkirakan hanya mencapai USD3,17 miliar.
Berkaitan dengan realisasi investasi di sektor minerba, memang fluktuatif. Misalnya realisasi investasi minerba pada 2015 mencapai USD5,26 miliar dari yang ditargetkan USD6,14 miliar.
Sementara itu pada 2016, realisasi investasi minerba mencapai USD7,28 miliar, melampaui target USD6,5 miliar. Namun realisasi investasi sektor minerba menurun pada 2017 yang hanya mencapai USD6,13 miliar dari yang ditargetkan USD6,9 miliar.
Pada 2018, realisasi investasi minerba kembali naik mencapai USD7,48 miliar dari target USD7,41 miliar. Tahun lalu sendiri, realisasi investasi minerba tercapai 105% yakni sebesar USD6,5 miliar dari target sebesar USD6,17 miliar.
Dari gambaran di atas, sektor minerba sangat menjanjikan bagi ekonomi bangsa ini. Oleh karena itu, wajar saja RUU Minerba sebagai regulasi yang mengatur iklim bisnis di sektor itu kini terus digeber untuk dirampungkan.
Seperti disampaikan di atas, ada beberapa poin revisi dari RUU Minerba ini dibandingkan dengan UU yang lama. Misalnya, masalah kewenangan pemberian izin, begitu juga masa transisi kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan (IUP), serta pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Selain itu, RUU Minerba juga mengatur cukup detail mengenai ketentuan peningkatan nilai tambah di dalam satu bab tersendiri, yakni Bab X. Pasal 76 menyebutkan ada enam jenis peningkatan nilai tambah minerba yang harus dilakukan oleh para pemegang IUP dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).
Keenamnya adalah pengolahan mineral logam, pengolahan, dan pemurnian mineral logam, pengolahan mineral bukan logam, pengolahan batuan, pengolahan batu bara, dan pemanfaatan batu bara.
Selain menyebutkan jenis peningkatan nilai tambah itu, diatur pula secara eksplisit bahwa pemegang IUP dan IUPK yang telah dan akan melaksanakan peningkatan nilai tambah itu berhak mendapatkan insentif fiskal dan nonfiskal dari pemerintah.
Menariknya, pelaksanaan kewajiban hilirisasi tersebut baru berlaku 5 tahun setelah RUU Minerba disahkan.
Berkaitan dengan masalah itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan harus ada penyesuaian kewenangan berkaitan dengan izin. Nantinya perusahaan yang melakukan hilirisasi atau membangun smelter, proses perizinannya diharapkan berbeda.
Sebagai ilustrasi, bagi yang membangun smelter nantinya akan dikenakan rezim kontrak Izin Usaha Pertambangan (IUP). Izin ini berada di bawah Kementerian ESDM. Sementara itu, perusahaan yang hanya membangun smelter tapi tidak mempunyai lahan tambang izinnya melalui rezim kontrak Izin Usaha Industri (IUI). Sebaliknya, industri smelting yang terintegrasi dengan tambang mengikuti rezim izin IUP.
"Itu harus ada penyesuaian kewenangan berkaitan dengan izin khususnya pertambangan dan juga proses produksi. Permurnianya. Smelting. Itu tentu yang perlu," ungkapnya di Komisi VII DPR RI, Kamis, (13/02/2020).
Tentunya, kita patut mendukung revisi UU Minerba tersebut. Pasalnya, RUU Minerba ini sangat sarat dengan kewajiban untuk penghiliran. Ekspor berupa tanah dan air saja sudah tidak zamannya dan tidak memberi nilai tambah bagi bangsa ini.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Ratna Nuraini