Ribuan bocah kumal tak terurus bermain berlarian di antara tenda-tenda hunian. Wajah, rambut, mata, dan perawakan mereka beraneka rupa, menunjukkan asal-usul orang tua mereka yang datang dari berbagai penjuru dunia. Di belakang anak-anak, ada ribuan perempuan lalu-lalang mengenakan burqa warna hitam. Mereka memiliki beragam wajah dan warna kulit, berbicara dengan banyak bahasa.
Semua mereka menjalani hidup dengan segala keterbatasan di Kamp Pengungsi Al-Hol di Suriah Utara, dekat perbatasan Irak. Inilah kamp pengungsi bagi bekas pendukung ISIS terbesar di medan konflik. Kondisinya kotor, centang-perenang, dan murung.
Kini ada sekitar 70 ribu pengungsi, terdiri dari 20 ribuan perempuan dewasa, sekitar lima ribu pria, dan selebihnya anak-anak. Mereka adalah bekas pendukung ISIS, Negara Islam Irak-Suriah yang didirikan secara sepihak oleh kelompok radikal salafi-jihadis. Simpatisan ISIS yang datang dari 110 negara itu kini terdampar di kamp pengungsian dan sel-sel penjara, setelah secara bertahap kekhalifahan radikal itu dihancurkan. Dunia internasional menyebut ISIS organisasi teroris.
Di antara mereka yang hidup dalam kamp pengungsian yang kumuh dan serba kekurangan itu, ada ratusan kaum perempuan dan anak-anak yang berasal dari Indonesia. Salah satunya adalah Nada Fedullah, remaja kelahiran Kota Bandung. Bersama ibu dan neneknya, Nada diboyong ayahnya, Arif Fedullah, hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada 2015.
Tidak perlu waktu lama bagi Nada Fedullah untuk merasakan getirnya hidup dalam lingkungan ISIS. Ia tak menemukan bangku sekolah di negeri impian sang ayah itu. "Dulu saya bercita-cita menjadi dokter. Saya suka belajar," kata Nada dalam wawancara dengan BBC. Ketika ayahnya mengajaknya hijrah, ia sempat mengutarakan soal cita-citanya itu. Sang ayahya dengan enteng berkata, "Kamu akan masuk fakultas kedokteran di sana."
Setelah tinggal beberapa tahun di wilayah yang dikuasai ISIS, Nada harus rela mengubur cita-citanya. Alih-alih mendapat kesempatan belajar yang membanggakan, Nada harus menerima kenyataan bahwa sering melihat orang-orang dibantai di jalanan dan jenazahnya dipajang di depan umum. “Mereka sengaja melakukannya di jalanan agar orang melihatnya,” tutur Nada. Air matanya pun berderai.
Nada hanyalah satu dari sekian banyak anak-anak WNI yang tak bisa mengelak ketika dibawa ayah-ibunya ke Suriah. Mereka menjadi korban orang tuanya yang tergiur ingin berjihad lewat jalur ISIS. Diperkirakan ada setidaknya 44 ribu pria dewasa dari 110 negara yang bergabung dengan ISIS dan banyak di antara mereka yang membawa keluarga seperti Arif Fedullah dari Bandung itu.
Pada masa jayanya 2013-2016, kelompok ekstrimis ISIS itu pernah menguasai kawasan seluas 88.000 km persegi, sekitar 75% luas Pulau Jawa, di Suriah, dan Irak. ISIS berhasil menduduki kota-kota penting di Irak seperti Mosul, Tikrit, Ramadi, dan Fallujah, serta Raqqa dan Allepo di Suriah. Ketika itu ISIS diperkirakan memiliki 40.000 hingga 50.000 kombatan dari berbagai ras, yang menyatu dengan impian mendirikan sebuah kekhalifahan bersyariah.
Pada saat itulah rezim ISIS memperlihatkan wataknya yang bengis, keji, dan brutal, tapi selalu mendapat dukungan buta dari kalangan pengikutnya. Kekejaman itulah yang sempat disaksikan Nada Fedullah. Tak hanya melibatkan orang dewasa, kekejian itu juga diajarkan dan dilakukan oleh anak-anak lelaki ISIS sejak usia praremaja.
Pada akhirnya dengan bantuan Amerika Serikat dan sekutunya, Rusia juga Iran, yang bertindak melalui aliansi masing-masing di Irak dan Suriah, kekuatan ISIS dihancurkan. Serangan udara Amerika dan Rusia membuat kekuatan kavaleri dan artileri ISIS cepat lumpuh. Namun, masih memerlukan waktu bagi pasukan darat untuk mengambil alih wilayah.
Benteng terakhir ISIS di Baghus, kota kecil distrik di Wilayah Suriah Timur, akhirnya jebol dan berhasil diambil alih Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Maret 2019. ISIS ambruk. Wilayah timur Laut Suriah itu kini berada di bawah kendali Pemerintahan Otonomi Suriah Timur, yang membawahi SDF. Kamp Pengungsi Al-Hol itupun di bawah kontrol SDF.
Sisa-sisa kombatan ISIS ini disinyalir kini mencoba membangun kekuatan kembali di Khorasan, Afganistan Utara. Namun, sebagian tertinggal di Kamp Pengungsi Al Hol. Perempuan dan anak ditempatkan di lokasi yang sama, sementara kaum lelakinya ditahan di tempat terpisah. Hal itu yang dialami Nada yang berada di Kamp Al Hole bersama saudara kandung, ibu dan neneknya. Ia bahkan tak tahu keberadaan ayahnya.
Nada merasa menderita hidup di tenda pengungsian. Air dan listrik sangat terbatas. Hari-harinya dipenuhi kecemasan dan ketidakpastian. Ia pun merindukan kampung halamannya di Indonesia. "Saya sudah sangat lelah tinggal di sini. Saya berterima kasih jika ada yang memaafkan dan bisa menerima kami pulang," kata Nada dalam wawancara dengan BBC.
Nada tidak sendiri. Ada juga Maryam, yang seperti halnya Nada, mengaku datang dari Bandung. Kepada BBC, perempuan bercadar hitam itu menuturkan bahwa dirinya ditangkap setelah para kombatan ISIS yang tersisa kabur atau menyerah kepada pasukan SDF. Maka bersama empat anaknya, Maryam pun menghuni kamp pengungsi Al Hol. "Kami ingin pulang ke negara asal kami, ke Indonesia," katanya.
Nada dan Maryam hanyalah dua dari ratusan anggota keluarga pendukung ISIS asal Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan ada banyak nama lagi yang terdampar di kamp pengungsi atau sel tahanan di Turki, setelah mereka lari dari Irak dan Suriah, pascakekalahan ISIS di medan laga. Yang pasti, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah mencatat ada 689 orang asal Indonesia, yang pernah bergabung dengan ISIS, dan kini harus menghuni sel penjara atau tenda pengungsian di sekitar area konflik.
Keinginan mereka kembali ke tanah air, setelah ISIS gagal mewujudkan kekhalifahan seperti yang dijanjikan, menuai penolakan keras dari dalam negeri. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menolak ide Pemerintah RI memulangkan mereka ke tanah air. Dalam pandangan PBNU, mereka pergi secara diam-diam, atas kemauan sendiri, dan menunjukkan kesetiaan pada Negara ISIS, maka tak ada alasan untuk membawa mereka kembali pulang.
Apalagi sesampai di Negara ISIS, mereka tak segan menunjukkan sikap bermusuhan. “Mereka rame-rame bakar paspor. Menyatakan ini paspor (Indonesia) taghut pula,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Lebih dari itu, Said Agil juga mengkhawatirkan ideologi ISIS yang sudah memapari mereka, yang menghalalkan kekerasan bahkan kekejian dalam urusan perbedaan pandangan dan cara hidup.
Pandangan khas kaum salafi-jihadis itu, disebut Agil Siradj, seperti virus berbahaya dan mudah menular pula. Kehadiran bekas pendukung ISIS itu akan mengganggu dan mengancam 267 juta penduduk Indonesia. Pandangan semacam ini juga muncul dari banyak kalangan.
Posisi ke-689 jiwa pendukung ISIS asal Indonesia itu sendiri, menurut Kepala BNPT Suhardi Alius, ada di tiga kamp pengungsi di Suriah. Secara umum mereka disebut sebagai foreign terrorist fighters. Suhardi mengaku, mendapat informasi itu dari beberapa lembaga intelijen dari Timur Tengah serta Palang Merah Internasional (International Commitee of the Red Cross/ ICRC).
“Mereka ada di Kamp Al Roj, Al Hol, dan Ainisa,” kata Suhardi Alius. Urusannya menjadi lebih rumit karena di sana ada tiga entitas kekuasaan yang berbeda, yakni Pemerintah Suriah yang dipimpin Presiden Bashar Al-Assad, ada Pemerintahan de facto Otonomi Suriah Timur yang didukung SDF (Syrian Democratic Forces), dan Pemerintah Kurdistan. Ketiganya tidak terlalu akur satu sama lain. BNPT masih kesulitan melakukan verifikasi karena kawasan itu pun masih diwarnai konflik bersenjata terkait penegakan otoritas baru tersebut.
Namun BNPT tak menyerah. Lembaga ini meminta bantuan sejumlah organisasi yang punya akses agar Indonesia bisa memastikan keberadaan WNI itu. Suhardi mengaku sudah meminta bantuan ke badan intelijen Timur Tengah dan ICRC.
Pemerintah memang tak tinggal diam. Persoalan pemulangan WNI bekas ISIS ini singgah Istana Bogor. Dalam rapat kabinet Selasa, 11 Februari 2020, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak akan memulangkan mereka yang pernah bergabung ISIS. Alasannya sama dengan mirip PBNU. Pemerintah khawatir kepulangan mereka bakal mengganggu ketenangan rakyat Indonesia.
“Kalau FTF, Foreign Terrorist Fighters, ini pulang, mereka bisa jadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta ini tidak aman,” kata Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD, seusai mengikuti rapat paripurna di Istana Bogor.
Meski menutup pintu buat para bekas kombatan ISIS, pemerintah masih membuka peluang bagi anak-anakmereka yang usianya di bawah 10 tahun. “Tapi nanti case by case," kata Mahfud. Menurut Mahfud, ke-689 WNI eks ISIS itu tersebar di sejumlah kamp pengungsi dan tahanan di kawasan Suriah dan Turki. Dari jumlah itu, 228 orang tercatat identitasnya. “Sisanya, yang 401 belum,” Mahfud menambahkan.
Pemerintah masih terus berusaha menginventarisasi dan memverifikasi para penghuni kamp dan tahanan eks ISIS itu. Pendataan ini dianggap penting agar pemerintah bisa mengawasi pergerakan mereka, yang sewaktu-waktu bisa saja diam-diam pulang ke Indonesia. Bila mereka kembali ke Indonesia, pemerintah bisa mengenakan tindakan hukum yang mengacu pada UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme. UU ini bisa memidanakan orang Indonesia yang melakukan tindak pidana terorisme di luar negeri.
Kemungkinan bahwa pendukung ISIS ini kembali diam-diam ke Indonesia, tidak bisa diabaikan. Pemerintahan Otonomi Suriah Timur sudah menyatakan kewalahan mengurus pengungsi bekas pendukung ISIS itu. Mereka tak mampu menyediakan infrastruktur yang memadai, dan bantuan internasional pun tak kunjung datang.
Kondisi kamp pengungsi kumuh dan rombeng. Sanitasi buruk. Air, listrik, dan makanan terbatas. Tidak ada sekolah, fasilitas kesehatan minim, kurang gizi, juga angka kematian balita tinggi. Program deradikalisasi tak dikenal. Penjagaan tak terlalu ketat hingga sejumlah pengungsi bisa kabur dari kamp.
Beberapa perempuan bercadar masih lantang menyebut dirinya pendukung ISIS, dan di depan kamera seorang anak ingusan dengan wajah datar mengancam wartawan asing, yang sepertinya dianggapnya kafir. “Saya akan membantai kalian,” katanya.
Persoalan mantan pendukung kekhalifahan di bumi Irak-Suriah ini agaknya tak bisa dipandang sebagai urusan hukum simpatisan ISIS dengan negara asal mereka. Seperti halnya isu terorisme, penanganan mereka tampaknya perlu melibatkan lembaga internasional secara lebih dalam.
Penulis : Fajar Wahyu Hermawan
Editor : Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini