Indonesia berpotensi menjadi pemain utama LNG (liquefied natural gas) dunia pada 2030. Kabar itu tentunya menjadi kabar gembira bagi bangsa ini. Pasalnya, posisi negara ini saat ini masih menjadi negara net importir di sektor migas.
Janji itu dikemukakan otoritas SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi)—lembaga yang mendapatkan mandat untuk mengelola sektor migas—tentu bukan asal bunyi saja.
Apa yang melandasi lembaga itu sehingga memiliki keberanian untuk membuat target serupa itu? Cadangan migas yang masih besar dan kini sedang diupayakan untuk dicarikan investornya dan akhirnya diekploitasi untuk diproduksi yang menjadi misi seluruh pemangku kepentingan di sektor itu.
SKK Migas pun punya bukti untuk memperkuat argumentasinya. Dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan mendapatkan tambahan kapasitas kilang sehingga Indonesia berpotensi menjadi pemasok LNG dunia tersebut.
Seperti disampaikan oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, saat ini kapasitas kilang LNG di Indonesia sebesar 16 MTPA (juta ton per tahun/million ton per annual) yang berasal dari LNG Tangguh 7,6 MTPA dan LNG Bontang 8,6 MTPA.
"Kapasitas kilang LNG akan bertambah sebesar 13,3 MTPA jika proyek train 3 Tangguh dengan kapasitas 3,8 MTPA dan Abadi LNG (Masela Project) sebesar 9,5 MTPA selesai dibangun,” ujar Dwi, Rabu (4/3/2020).
Sebagai informasi, selain untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, Indonesia juga melakukan ekspor LNG ke Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan. Produk ekspor itu dipasok dari kilang LNG Badak dan LNG Tangguh.
Asumsi Dwi Soetjipto bahwa negara ini jadi pemain utama LNG dunia disebabkan sejumlah proyek unggulan di sektor itu sudah beroperasi. Beberapa proyek itu, dua di antaranya adalah proyek pembangunan train 3 LNG Tangguh dan proyek LNG Masela.
Khusus proyek train 3 LNG Tangguh ditargetkan tuntas pada 2021. Proyek itu mundur dari rencana semula pada triwulan III 2020. Sedangkan proyek LNG Abadi, atau juga dikenal proyek LNG Masela, pembangunannya diharapkan sudah bisa dimulai pada 2021 dan tuntas 2026, maju satu tahun lebih awal dari rencana semula.
Kemudian, bagaimana dengan kondisi cadangan gas negara ini? Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total cadangan gas Indonesia yang tercatat pada 2018 mencapai 135,55 TSCF (triliun kaki kubik).
Rincian data ini terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 99,06 TSCF, cadangan potensial (P2) 21,26 TSCF dan cadangan yang mungkin (P3) 18,23 TSCF. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian ESDM seperti disebutkan di Neraca Gas 2018-2027”, total cadangan gas pada 1 Januari 2017 mencapai 142,72 TSCF.
“Potensi cadangan gas nasional masih besar. Perlu kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengolah potensi tersebut, salah satunya mendatangkan investor," ujar Djoko Siswanto, Dirjen Migas, Kementerian ESDM.
Tentu tidak ringan untuk bisa segera mengusahakan sejumlah potensi cadangan itu. Tantangan dan kendala yang dihadapi dalam mencari cadangan gas ini. Kini kebanyakan temuan-temuan cadangan baru tersebut terletak di beberapa lapangan yang marginal dan laut dalam yang sulit dijangkau.
Seiring dengan penurunan produksi gas, pemerintah dalam kebijakannya lebih memprioritaskan penggunaan gas ke pasar domestik dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan mendukung peningkatan daya saing industri dalam negeri.
Sesuai dengan rencana umum energi nasional (RUEN) disebutkan produksi gas di Indonesia akan terus menurun karena decline rate secara alamiah sebesar 20% per tahun. Namun, sepanjang 2015-2019 SKK Migas mampu mempertahankan produksi migas di atas target RUEN melalui optimalization work program dengan berbagai cara untuk mencapai operational excellence.
Melalui antara lain Filling The Gap (FTG), Production Enchancement Technology (PET), Management Work Through (MWT), Optimisasi Planned Shutdown dan lainnya, maka produksi gas dapat dipertahankan di level yang tinggi pada 2019 mencapai 7.254 MMSCFD dengan lifting sebesar 5.923 MMSCFD.
"Giant discovery gas di Saka Kemang pada 2019 serta selesainya revisi POD pengembangan blok Masela pada Juli 2019 semakin menambah optimistis akan masa depan industri hulu migas Indonesia dengan gas akan menjadi dominan dibandingkan minyak," terang Dwi Soetjipto.
Dwi mengungkapkan, dalam penetapan target hulu migas 2030 dengan target 1 juta BOPD, produksi gas diperkirakan akan mencapai 12.300 MMSCFD sehingga kekhawatiran adanya defisit gas pada tahun-tahun mendatang sebagaimana diprediksikan dalam RUEN tidak akan terjadi.
Dwi juga menyakini rampungnya proyek kilang Masela dan proyek utama hulu migas serta penemuan lapangan migas baru lainnya akan mendorong Indonesia kembali menjadi salah satu produsen gas utama dunia dan mendukung pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dengan ketersediaan pasokan gas.
"Serta menjadikan Indonesia berpeluang untuk kembali menjadi pemasok utama LNG dunia," ungkap Dwi.
Sekadar informasi, SKK Migas telah memiliki empat strategi untuk meningkatkan produksi migas nasional, yaitu mempertahankan tingkat produksi existing yang tinggi, transformasi sumber daya ke produksi, mempercepat chemical EOR (Enhanced Oil Recovery)—teknologi untuk mensekresikan enzim-enzim fluida dan mengubah sifat-sifat fluida, dan eksplorasi untuk penemuan besar.
SKK Migas juga memastikan telah mengidentifikasi 12 area yang berpotensi memiliki kandungan migas dalam jumlah yang besar dengan rincian enam area di Indonesia bagian barat, empat area di Indonesia bagian timur, dan dua area di laut dalam.
Dari total produksi gas 2019 sebesar 6.140 BBTU, menurut laporan SKK Migas, penyaluran dalam bentuk LNG secara keseluruhan mencapai 2.025 BBTU dengan alokasi untuk domestik sebesar 508 BBTU dan LNG ekspor sebesar 1.417 BBTU.
Tentu kita sangat sangat mendukung pengelolaan energi diarahkan menuju energi berkeadilan melalui peningkatan akses energi secara merata dengan harga terjangkau dan tata kelola penyediaan energi yang lebih efisien.
Kebijakan pemerintah yang kini berupaya mendorong penyediaan gas bumi untuk lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestik dan mengurangi ekspor secara bertahap. Artinya, komoditas gas bumi tidak lagi dianggap sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional.
Penulis: Firman Hidranto
Editor Bahasa: Ratna Nuraini