Pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor industri, tidak terkecuali di kelompok UMKM. Pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) yang selama ini turut menikmati kue geliat ekonomi nasional, tiba-tiba harus menghadapi cuaca buruk. Pintu-pintu gerainya mendadak tertutup akibat pandemi global tersebut.
Selah satu cabang usaha yang terdampak adalah penyediaan suvenir asli Indonesia. Tak ada lagi wisatawan yang membeli cindera mata buatan mereka. Mereka terpukul. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bukan saja pasar domestik yang sepi bahkan harus lockdown, pasar luar negeri pun menutup pintu pagarnya. Itu yang dialami seorang pelaku UKM, sebut saja Lestari, yang sudah bertahun-tahun mengelola usahanya dengan bendera CV Prima Lestari, di Tangerang Selatan.
Pengusaha kelas UMKM ini biasanya selalu mengikuti sejumlah pameran di dalam dan luar negeri. Akibat pandemi, semua rencana pameran untuk tahun ini tertunda. Begitu pun gerainya di Sarinah Departemen Store di Jl Thamrin, Jakarta, terkena imbas. Sepi pengunjung sejak pandemi melanda.
Namun, apakah mereka lantas berhenti berinovasi? Jawabannya, tidak. Bertekad membantu pemerintah, Lestari langsung banting setir. Kini dia membuat masker. Tujuannya agar para pekerjanya bisa terus produktif. Tak ada kata PHK.
Dari tiga pekerja yang dimilikinya, mereka bisa membuat masker sebanyak 500 lembar sehari. Apakah bisa disebut itu berkah dan keuntungan bagi pelaku UMKM itu? Ternyata tidak juga. “Bila mau disebut ikut bantu pemerintah bolehlah, karena saya hanya menjual Rp5.000-Rp6.000 per lembarnya. Tergantung bahan baku yang kebanyakan dari batik,” ujarnya.
Melayani Kebutuhan Pasar
Sejumlah pelaku UMKM, termasuk UMKM kelas rumah tangga, kini memang mengalihkan produksinya ke masker maupun alat pelindung diri (APD) lainnya. Sebab, mereka melihat momentum kebutuhan pasar yang semakin meningkat.
Sekaligus membantu pemerintah mempercepat penanganan wabah Covid-19, UMKM yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat itu memproduksi alat pelindung diri. Yang mana, hasil produksinya diharapkan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat umum atau tenaga medis.
Sektor UMKM, khususnya usaha mikro, merupakan bagian dari kegiatan ekonomi sehari-hari masyarakat yang berjalan untuk menunjang kehidupannya. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, saat ini jumlah usaha mikro ini mendominasi skala usaha di Indonesia mencapai 63 juta unit, sedangkan usaha kecil mencapai 783.000 unit.
Untuk mengantisipasi tren beralihnya produksi UMKM, Kementerian Perindustrian pun menyebar kuesioner berkaitan kemampuan mereka untuk memproduksi masker dan APD. “Sebanyak 88 persen dari 50 industri kecil menengah, yang mengisi kuesioner kami, menyatakan mampu memproduksi APD maupun masker,” kata Gati Wibawaningsih, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, di Jakarta, Senin (6/4/2020).
Gati memaparkan, kapasitas produksi masker dari masing-masing IKM tersebut berkisar antara 50 hingga 500 lembar per hari. Sedangkan, untuk kapasitas produksi APD, mereka sanggup membuat 20-250 buah per hari. Tak ada alasan untuk impor. Bahkan, ada peluang ekspor.
Persoalannya, baru 55 persen IKM yang memahami standar pembuatan masker. Sisanya 77,5 persen IKM mengaku mampu memproduksi masker dan APD yang tidak berstandar medis. Ditjen IKMA mendorong pelaku IKM memproduksi masker nonmedis, mengingat kebutuhannya saat ini sangat tinggi dan persyaratannya yang tidak terlalu memberatkan, sehingga pelaku IKM dinilai mampu menjalaninya.
Ditjen IKMA pun tidak menuntut terlalu banyak berkaitan dengan standar pembuatan masker. Mereka mewanti-wanti agar pembuatan masker nonmedis harus dibuat dua lapis supaya bisa menyaring dengan lebih maksimal.
“Jadi, IKM membuatnya dengan bebas dan tidak ada persyaratan untuk izin edar, karena yang harus ada izin dan memenuhi SNI adalah masker medis,” papar Gati.
Terlepas dari semua itu, upaya sektor UMKM masuk ke produk masker dan APD dinilai cocok dan menjadi solusi untuk mempertahankan bisnis IKM dalam negeri di tengah kondisi mewabahnya Covid-19. Mereka bisa memanfaatkan stok kain yang mereka miliki atau bermitra dengan penyedia tekstil.
Yang penting, para IKM berani melakukan self-declare atau menyatakan kegunaan dari produk maskernya, misalnya, dengan menyebutkan bahwa masker itu merupakan masker nonmedis. Bila produksi mereka disebut antibakteri, mereka harus membuktikan dulu kalau kain yang mereka gunakan memang memenuhi syarat mutu tersebut.
Bagaimana larutan untuk sanitasi tangan atau hand sanitizer, IKM yang memproduksinya harus didorong agar memiliki izin produksi dan izin edar Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dari Kementerian Kesehatan. Izin itu diperlukan untuk masuk ke pasar.
Tentu, tak semua harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dinas-dinas terkait diharapkan bisa memberikan perhatian dan pelatihan agar IKM itu mampu memproduksi produk yang tepat dan standar sesuai ketentuan di tengah kondisi saat ini.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini