Indonesia.go.id - Permen Baru Jadi Vitamin di Tengah Pandemi

Permen Baru Jadi Vitamin di Tengah Pandemi

  • Administrator
  • Kamis, 23 April 2020 | 02:54 WIB
GAS INDUSTRI
  Petugas Perusahaan Gas Negara (PGN) memeriksa alat penurun tekanan gas alam terkompresi (CNG), di Semarang, Jateng. Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo.

Insentif penurunan harga gas akan berdampak signifikan bagi ekonomi dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.

Banyak industri manufaktur yang mengalami gejala meriang diterjang pandemi virus corona saat ini. Rantai pasokan terganggu. Di hilir permintaan menciut, kinerja susut. Di tengah situasi murung itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis resep baru, yakni beleid khusus  untuk menurunkan harga gas bagi industri ke level USD6 per MMBtu (juta British Thermal Unit).

Kebijakan ini bak vitamin yang diharapkan memberi daya tahan ekstra di tengah perekonomian yang melambat. Apa lagi, beleid ini sudah dinanti karena harga yang berlaku dianggap terlalu tinggi. Mengacu pada Peraturan Presiden (PP) No. 40/2016 ada tujuh sektor industri yang berhak menerima tarif khusus gas bumi ini. Mereka adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Presiden Joko Widodo menerbitkan PP tersebut itu membantu sektor-sektor industri tertentu yang mengalami tekanan daya saingnya karena komponen harga energi yang tinggi. Namun, tarif khusus itu tak bisa dinikmati oleh semua pabrikan di ketujuh sektor industri tersebut. Pasalnya ada pelbagai kendala, seperti jauhnya lokasi dari sumber gas dan biaya logistik. Harga gas masih mahal.

Isu harga gas itu ikut mewarnai rapat terbatas (Ratas) Kabinet 18 Maret lalu. Di situ, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar harga gas untuk industri di lapangan dimonitor dan dievaluasi, guna  menyiapkan insentif di tengah situasi wabah ini. “Tujuannya, pemberian insentif berupa penurunan harga gas itu akan memberikan dampak yang signifikan bagi ekonomi, memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia,” kata Presiden seperti dikutip siaran pers Sekretariat Kebinet, Sabtu (18/4/2020).

Menindaklanjuti instruksi presiden, Menteri ESDM Arifin Tasrif pun meneken Peraturan Menteri ESDM No 8/2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri pada 14 April lalu.

Sebelumnya, presiden juga telah membahas isu yang sama pada Senin, 6 Januari 2020. Pada rapat itu, ada tiga opsi yang dibahas agar harga gas industri bisa di level USD6 per MMbtu. Opsi pertama, mengurangi atau menghilangkan jatah pemerintah. Opsi kedua, pemberlakuan domestic market obligation (DMO) di Indonesia. Yang ketiga, industri diberikan kebebasan untuk melakukan impor liquefied natural gas (LNG) secara langsung.

Permen ESDM No. 8/2020 menekankan perlunya penyesuaian harga gas untuk industri, termasuk kebutuhan bagi PLN (Persero). Pasal 3 Ayat 1 peraturan itu menyebutkan, harga gas tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan USD6 per MMBtu.

Dari mana angka itu dipetik? Peraturan itu menyebutkan, penyesuaian harga gas itu merupakan pengurangan dari penerimaan bagian negara, yang diperhitungkan lewat bagi hasil sesuai kontrak kerja sama suatu wilayah kerja pada tahun berjalan. Artinya, harga gas baru itu tidak menyentuh atau mengurangi sama sekali hak yang diterima kontraktor.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan, beleid itu merupakan hasil koordinasi dengan berbagai pihak termasuk masukan dari Kementerian Keuangan RI dan Kementerian Perindustrian RI. ‘’Penerimaan negara dimungkinkan berkurang dalam rangka penyesuaian harga gas tertentu industri,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (14/4/2020).

Lantas bagaimana antara satu industri dan lainnya bisa berbeda perlakuan tarifnya? Selama ini, PT Perusahaan Gas Negara yang biasanya menjual gas ke industri-industri memang biasa mematok harga yang berbeda, karena jauh dekatnya industri itu dengan hulu gas ikut menentukan harganya.

 

Pembentukan Harga

Bila dilihat alurnya, pembentukan satu harga gas ke industri mencakup harga gas di hulu USD3,4 -USD8,24 per MMbtu. Berikutnya ada lagi biaya transmisi di kisaran USD0,02 -USD1,55/MMBtu, biaya distribusi USD0,2–USD2/MMBtu, biaya niaga USD0,24-USD0,58/MMBtu, dan iuran usaha USD0,02-USD0,06/MMBtu. Faktor fluktuasi harga gas dunia juga turut mempengaruhi pembentukan harga gas industri tersebut.

Akibat pembentukan harga di atas, data pelbagai industri gas menyebutkan mereka dikenakan tarif gas yang bervariasi. Industri keramik, misalnya, mereka dikenakan tarif berkisar USD7,7 MMbtu. Kaca (USD7,5/MMBtu), sarung tangan karet (USD9,9/MMBTu) dan oleokimia USD8-USD10/MMBtu.

Pergerakan komoditas gas selalu mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Di tengah pandemi yang menghantam dunia, permintaan terhadap komoditas gas juga terdampak. Permintaan dari Eropa dan Asia anjlok. Di pasar spot Asia Utara, Jepang, dan Korea Selatan, harga gas telah turun menjadi hanya USD2,35 per MMBTu, seperti dilaporkan LNGinsight, pada Selasa (14/4/2020).

Wabah pandemi masih berlangsung dan harga gas dunia pun masih terkapar. Pemerintah pun sudah mengetok palu agar harga gas untuk tujuh sektor industri ditetapkan USD6 per MMBtu. Bagi industri, kebijakan itu bagaikan infus untuk tubuh yang nyaris terdehidrasi. Komponen biaya harga gas mencapai 25 persen dari total biaya produksi. Tanpa insentif, harga itu akan terasa lebih berat di tengah hantaman pandemi corona ini.

Tak dipungkiri, adanya pandemi Covid-19 yang disertai dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah menyebabkan utilisasi industri menurun. Bahkan disebut-sebut utilitas turun sekitar 20 persen-25 persen.

Kebijakan yang bersifat afirmatif ini tentu sangat dibutuhkan seperti kondisi saat ini, di tengah merebaknya wabah. Kebijakan itu menunjukkan komitmen keberpihakan pemerintah, untuk menambah daya saing industri nasional, selain wujud kepastian pelaksanaan regulasi,

Ini tentu sangat dibutuhkan pelaku usaha dan investor. Memang dampaknya tidak sekarang. Harapannya, adanya kebijakan itu terus mendongkrak daya saing dan kinerja industri di masa datang.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor : Putut Trihusodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini