Pagi itu matahari mulai bergulir menuju siang, tatkala sebuah pintu besar di toko fesyen berukuran jumbo di Kota Nuremberg, Jerman, terbuka perlahan. Seorang pria bermasker mempersilakan seorang ibu, yang telah menunggu di depan toko untuk masuk. Tatapan mata pihak toko itu penuh harap.
Memang hari itu, tepat 20 April 2020, merupakan hari penting bagi pelaku bisnis di negeri tersebut. Pasalnya saat itu merupakan kali pertama pemerintah memberikan izin bagi sejumlah kegiatan bisnis di 16 negara bagian untuk beroperasi kembali. Setelah, sekitar sebulan lamanya, kegiatan itu terpaksa dihentikan lantaran amukan virus SARS COV-2.
Kebijakan pelonggaran karantina yang diharapkan mampu mendatangkan iklim baik bagi perekonomian Jerman itu dilakukan seiring dengan menurunnya angka infeksi dan meningkatnya angka kesembuhan pasien Covid-19. Diketahui, Jerman berhasil menekan angka infeksi dari 6.900 per hari, menjadi 2.000 kasus per hari, dalam dua minggu terakhir. Negeri itu juga mencatatkan angka total 148 ribu kasus infeksi, 8.700 kesembuhan dan 5.100 kasus meninggal.
Perluasan pelonggaran karantina di negeri itu dilakukan sejak 4 Mei. Kini, sekolah-sekolah sudah mulai buka secara bertahap, tempat bermain anak sudah beroperasi. Begitu juga salon, museum, dan kebon binatang. Selain itu, ritual keagamaan yang terkonsentrasi juga sudah boleh dilaksanakan. Bahkan juga demonstrasi.
Hanya saja, pelonggaran itu disertai sejumlah syarat ketat. Seperti, pembatasan kapasitas peserta kegiatan, kewajiban bermasker baik di kendaraan umum maupun areal publik. Serta tetap menjaga jarak 1,5-2 meter.
Selain Jerman, kebijakan pelonggaran karantina juga dilakukan di Italia. Mulai Senin (4/5/2020), aktivitas ekonomi dan sosial mulai tampak di negeri itu, setelah setelah hampir dua bulan lamanya warga harus menjalani masa karantina.
Sebagaimana terungkap dalam laman Johns Hopkins Coronavrirus Resource Centre, Italia hingga Selasa (19/5/2020) mencatatkan total infeksi terbanyak keenam di dunia dengan angka 225.886 kasus. Dengan angka kematian mencapai 32.007 korban, negeri itu di pun langsung menempati peringkat teratas angka fatalistik di antaranya negara-negara Eropa.
Tingginya jumlah kematian di Itali tentu menjadi perhatian serius pemerintah tersebut. Itulah sebabnya kebijakan pelonggaran pun diambil otoritas Italia saat angka kematian harian telah menunjukkan titik terendah sejak pertengahan Maret, yakni 260 kematian baru. Pemerintah juga menunjukkan adanya penurunan jumlah kasus dan tingkat penularan atau jumlah orang yang terinfeksi cukup rendah.
Seperti disampaikan Perdana Menteri Italia Josepe Conte, wujud pelonggaran di antaranya membuka kembali taman, mengizinkan warga bergerak di sekitar wilayah mereka sendiri, menghadiri pemakaman maksimal 15 orang dan dilakukan di luar ruangan, atlet individu dapat melanjutkan latihan, dan orang dapat melakukan olahraga tidak hanya di sekitar rumah mereka, tetapi di daerah yang lebih luas.
Kemudian, bar dan restoran akan dibuka kembali untuk pesanan dibawa pulang, untuk kemudian mulai 1 Juni salon, bar, dan restoran diharapkan telah beroperasi secara normal. Bukan hanya itu, toko-toko ritel juga dibuka kembali mulai 18 Mei, bersama dengan pembukaan museum dan perpustakaan. Walau begitu, kegiatan belajar mengajar di sekolah dan peribadahan tetap akan ditahan hingga September 2020.
Pelonggaran pembatasan, menurut Conte, tetap harus dilakukan dalam kerangka menjaga jarak sosial, selama beberapa bulan mendatang. Masyarakat diminta untuk menjaga jarak sejauh satu meter.
"Jika kita tidak menghargai tindakan pencegahan kurva akan naik, kematian akan meningkat, dan kita akan memiliki kerusakan permanen pada ekonomi kita," tuturnya.
Di wilayah paling terdera virus, di Lombardia, Milan, Italia, fase pelonggaran disertai dengan peringatan keras kepada warga untuk tetap mengedepankan kewaspadaan dan tanggung jawab. Aturan ketat pun diberlakukan, di antaranya, wajib menggunakan masker dan sarung tangan, serta selalu membersihkan tangan saat berada di atas kendaraan, stasiun dan pemberhentian.
Larangan berkumpul tetap diberlakukan untuk areal persimpangan jalan dan stasiun. Sedangkan untuk bisnis ritel, aturannya kegiatan belanja hanya boleh untuk satu anggota rumah tangga dan pedagang pun wajib menggunakan antiseptik sebelum melayani pembeli.
Cenderung Beda
Bagaimana dengan Swedia? Sejak awal pandemi, kebijakan yang ditempuh negeri itu cenderung tampak kontras dengan negara-negara tetangganya maupun di seluruh kawasan Eropa. Swedia bersikeras menolak menerapkan lockdown.
Alhasil, berbagai fasilitas publik seperti salon, restoran, dan sarana pendidikan anak-anak di sana senantiasa beroperasi sepanjang pandemi. Dalam situs JHU, tercatat per Selasa (19/5/2020) di negara berpenduduk 10,23 juta jiwa itu ada sebanyak 30.377 ribu kasus terinfeksi Covid-19 dengan angka kematian mencapai 3.698 orang.
Memang angka fatalitas akibat Covid-19 di Swedia relatif kecil dibandingkan negara lain di Eropa. Hanya saja, kini Swedia harus menghadapi kenyataan bahwa jumlah korban meninggal akibat wabah itu perlahan meningkat. Bahkan JHU memperlihatkan, tingkat kematian di Swedia menjadi lebih tinggi dari negara-negara tetangga, yakni mencapai rasio 21 kematian per 100 ribu orang.
Apakah berarti pemerintah setempat salah strategi? Menteri Luar Negeri Swedia Ann Linde dikutip koran Guardian mengingatkan, masih terlalu dini untuk menilai pendekatan yang diterapkan negaranya. "Banyak terjadi kesalahpahaman. Kami memiliki tujuan yang sama dengan semua pemerintah negara. Dan seperti yang selalu kami katakan, kami sangat siap untuk menerapkan aturan yang lebih mengikat jika warga tidak mentaati aturan saat ini."
Sejatinya Pemerintah Swedia juga berupaya menekan kurva infeksi covid-19. Di antaranya lewat pembatasan beberapa aspek, seperti melarang pertemuan lebih dari 50 orang. Lalu, menerapkan skema belajar jarak jauh untuk universitas dan sekolah. Dan juga menghentikan kunjungan ke panti jompo serta meminta warga tidak melakukan perjalanan yang tidak penting.
Namun, sejumlah pihak menuding kebijakan menolak lockdown itu sebagai upaya menciptakan kekebalan kelompok (herd imunnity). Kontan Pemerintah Swedia menolak anggapan itu. Adalah Menteri Kesehatan dan Sosial Swedia Lena Hallengren yang menyampaikan bantahan. "Tidak ada strategi menciptakan herd immunity untuk mengatasi Covid-19 di Swedia. Negara ini memiliki tujuan yang sama dengan negara lain yaitu menyelamatkan nyawa dan melindungi kesehatan rakyat."
Walau begitu, para ilmuwan di Swedia justru menyebut bahwa tujuan herd imunnity pada beberapa kota di Swedia akan segera terwujud. "Sebagian besar ilmuwan menyebut (herd imunnity) tercapai ketika lebih dari 60 persen populasi terinfeksi virus. Kekebalan tidak diragukan lagi adalah bagian dari strategi pemerintah yang lebih luas," demikian ditulis Foreign Affairs, Rabu (13/5/2020).
Adalah Anders Tegnell, kepala ahli epidemiologi di Badan Kesehatan Masyarakat Swedia, yang telah memproyeksikan bahwa Kota Stockholm dapat mencapai kekebalan kelompok terhadap Covid-19 pada awal bulan. Bahkan dia mengatakan, negaranya kemungkinan akan jauh lebih siap dalam menghadapi gelombang kedua virus corona karena jumlah orang yang terjangkit penyakit itu sudah begitu banyak.
Sementara itu berdasarkan asumsi norma-norma sosial yang baru, ahli matematika Universitas Stockholm Tom Britton menghitung 40 persen kekebalan di ibu kota cukup untuk menghentikan penyebaran virus pada pertengahan Juni 2020.
Sementara itu, Jan Albert, ilmuwan dari Karolinska Institutet, percaya sistem kesehatan Swedia mampu mengatasi pandemi ini. Dia juga meyakini sebagian besar ilmuwan Swedia "cukup tenang" soal rencana herd immunity karena mereka berpendapat strategi ini bisa berhasil.
"Herd immunity hanya satu-satunya yang bisa menghentikan ini semua, kecuali ditemukan vaksin dalam waktu cepat, yang tidak mungkin terjadi,” katanya.
Senada dengan itu, Peter Lindgren, Direktur utama Institut Ekonomi Kesehatan Swedia (IHE), mengatakan bahwa jumlah pasien yang dirawat di unit gawat darurat rumah sakit stabil dalam beberapa pekan belakangan. “Jadi dari aspek ini, kebijakannya cukup berhasil."
Diketahui, pada 28 Maret lalu, dua ribu ilmuwan termasuk ketua Yayasan Nobel Carl-Henrik Heldin menandatangani petisi yang isinya mendesak pemerintah Swedia "segera mengambil langkah yang sesuai dengan rekomendasi WHO." Para ilmuwan itu menambahkan bahwa langkah-langkah itu harus bertujuan membatasi kontak antarwarga dan meningkatkan kemampuan memeriksa penyakit Covid-19 di kalangan warga.
Petisi itu juga mengatakan bahwa mencoba "menciptakan satu herd immunity, seperti yang diterapkan saat terjadi pandemi influenza, tidak didukung kuat secara ilmiah." Herd immunity biasanya dicapai dengan vaksinasi dan terjadi ketika persentase populasi yang cukup besar telah kebal.
Konsep Berbahaya
Seorang epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman memandang herd immunity berbahaya bila diterapkan untuk Covid-19 secara alamiah, yakni saat belum ditemukannya vaksin. Pendapat senada belakangan disampaikan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Herd immunity atau kekebalan kelompok, menurut penjelasan WHO, adalah istilah epidemiologi, pada dasarnya menjelaskan bagaimana populasi terlindungi dari wabah tergantung seberapa banyak yang sudah divaksin. Misalnya, ketika 90-95 orang dari populasi itu divaksin, seharusnya itu sudah cukup melindungi kalangan yang tidak bisa mendapat inokulasi.
Itulah sebabnya, sebelum vaksin ditemukan, penerapan teori herd immunity, dipandang WHO sebagai "konsep berbahaya". Diingatkan Dr Mike Ryan, direktur eksekutif program darurat kesehatan organisasi PBB itu dalam konferensi pers di Jenewa, “Manusia bukanlah kawanan ternak. Ini adalah penyakit serius. Ini adalah musuh publik nomor satu. Kami mengatakannya lagi, lagi, dan lagi."
Dr Ryan menuturkan tidak ada yang selamat hingga semua populasi selamat, dan mengaku khawatir jika ada negara yang sampai menerapkan konsep ini. Ryan mengaku tidak bisa membayangkan jika ada negara yang "secara ajaib" bisa mengatasi wabah itu berbekal pemahaman kekebalan kelompok.
“Ini adalah kalkukasi yang sangat berbahaya. Saya tidak yakin jika ada negara yang berani membuat keputusan ini," papar dia.
Penulis: Ratna Nuraini
Editor: Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari