Hari Raya Idulfitri sudah di ambang pintu. Umat Islam seluruh dunia akan merayakan hari kemenangan, kembali ke fitri, setelah satu bulan menunaikan ibadah puasa pada Ramadan.
Lafaz takbir dan tahmid pun terdengar di mana-mana meski tidak membahana sebagaimana biasanya. Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd (Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar Allah maha besar dan segala puji bagi Allah). Seluruh alam mendengar.
Namun, perayaaan hari kemenangan 1441 Hijriyah kali ini berbeda. Tradisi perayaan, yakni mudik dan bersilaturahmi ke orang tua atau yang dituakan, harus ditunda. Perjumpaan secara fisik kini dibatasi. Pandemi Covid-19 yang sudah mendera Indonesia hampir tiga bulan ini telah mengubah segalanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menganjurkan masyarakat, terutama yang berada di zona merah untuk salat Idulfitri di rumah saja. Anjuran itu bertujuan untuk memutus penyebaran Covid-19.
Dalam rangka itulah MUI pun telah mengeluarkan Fatwa Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Khotbah dan Salat Idulfitri 1441 Hijriyah. Tidak berselang lama, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran serupa. Surat edaran itu ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berisi imbauan agar Umat Islam melakukan salat Idulfitri di rumah masing-masing. Demikian pula ormas Islam lainnya, Nahdlatul Ulama. Melalui surat edaran PBNU No. 3053/C1.034/04/2020.
Kebiasaan berubah, aktivitas berubah, kehidupan sosial pun turut berubah. Budaya silaturahmi tatap muka dan jabat tangan yang kental di Indonesia kini dipaksa berubah. Jaga jarak (physical distancing) menjadi alasannya. Ini satu kenormalan baru atau new normal yang harus diterima. Begitulah banyak orang menyebutnya. Kita harus terbiasa dengan perubahan-perubahan itu.
Tak Lazim
Tidak lagi bersalam-salaman, bekerja di rumah, bersekolah di rumah, beribadah di rumah. Hal-hal yang sebelumnya kita anggap tak lazim dan tak pernah terpikirkan. Tapi perubahan harus kita terima, mau tak mau. Pasalnya, dengan hampir 4,9 juta orang di dunia sudah terinfeksi per 22 Mei 2020, dan hampir 326.000 di antaranya meninggal dunia, Covid-19 sudah menjadi ancaman mematikan di depan mata.
Di Indonesia sendiri, data per 22 Mei 2020 menunjukkan angka orang terinfeksi mencapai 20.796 orang dan 1.326 di antaranya meninggal dunia. Artinya tingkat kematian tembus hingga 6,3%. Ketakutan dan kecemasan adalah hal yang tak bisa dihindari di tengah pandemi apapun di dunia ini, termasuk Covid-19.
Tapi, cepat atau lambat, kita harus beradaptasi dengan kondisi tak nornal ini menjadi sesuatu yang normal di kehidupan kita. Ada beberapa alasan pada akhirnya kita harus menerima kehadiran virus ini dalam kehidupan sehari-hari kita. Baru-baru ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan Covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang dan penduduk di seluruh dunia harus belajar untuk hidup beradaptasi dengannya.
Ini merujuk pada jumlah kasus terinfeksi yang tak juga mereda, bahkan di Wuhan, Tiongkok, yang semula sudah diyatakan bebas, sebulan kemudian muncul kembali kasus yang menjadi ancaman baru, disebut gelombang kedua pandemik.
Pun begitu pada negara-negara yang mulai mengendorkan lockdown setelah merasa kasus berkurang. Mereka kembali harus berjibaku dengan naiknya jumlah kasus baru. Alasan utama kenapa kita harus berkompromi dengan Covid-19 adalah karena vaksin sebagai penangkal virus belum juga ditemukan. Kurang lebih dibutuhkan 1 hingga 2 tahun untuk bisa menyediakan vaksin yang benar-benar tepat menangani virus bermahkota ini.
Alhasil, sebelum vaksin itu datang, virus masih bebas berkeliaran menyerang manusia. Ini yang membuat banyak negara seperti berada dalam kondisi trial and error untuk mencari obat daruratnya.
Selama ini medis hanya memakai pengobatan untuk gejala yang muncul. Misalnya, pasien menunjukkan demam maka akan diobati dengan obat pereda demam. Demikian untuk gejala penyakit lainnya. Kita juga harus berkompromi dengan Covid-19 lantaran kurangnya kesadaran untuk mencegah penularan dari diri masing-masing.
Fakta masih banyak orang keluyuran di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah contoh nyatanya. Belum lagi larangan mudik yang tidak diindahkan.
Terakhir urusan perut. Tuntutan ekonomi memaksa orang untuk tetap berkegiatan di luar rumah demi pekerjaan. Ini yang tidak bisa dihindari, demi terpenuhinya hajat hidup dan tetap berputarnya roda perekonomian.
Jadi, selama alasan-alasan itu masih ada, mulailah membiasakan diri bekerja di rumah, beribadah di rumah, dan mengajarkan anak Anda di rumah meskipun itu terasa berat Anda rasakan. Selamat datang kenormalan baru.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini