Indonesia.go.id - Perovskite, Si Ramping Pemburu Listrik Surya

Perovskite, Si Ramping Pemburu Listrik Surya

  • Administrator
  • Kamis, 28 Mei 2020 | 20:23 WIB
ENERGI TERBARUKAN
  Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di sebuah pondok pesantren di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (16/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/ Prasetia Fauzani

Panel surya memiliki kelebihan sebagai sumber energi praktis karena tidak membutuhkan transmisi dan dapat dipasang modular di setiap lokasi yang membutuhkan.

Energi merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Hal ini mengingat energi merupakan salah satu faktor utama bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Permasalahan energi menjadi semakin kompleks ketika kebutuhan yang meningkat terhadap energi untuk menopang pertumbuhan ekonominya justru membuat persediaan cadangan energi konvensional yang berasal dari fosil menjadi semakin sedikit.

Saat ini total kebutuhan energi di seluruh dunia telah mencapai lebih dari 10 terrawatt (TW) atau setara dengan 3x1020 Joule per tahun. Angka ini diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 30 TW pada 2030.

Kebutuhan energi yang terus meningkat, juga pada kenyataannya bertabrakan dengan kebutuhan umat manusia untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan bebas dari polusi. Berbagai konsideran ini menuntut perlunya dikembangkan sumber energi alternatif yang dapat menjawab tantangan di atas tersebut. Jawabannya dari semua itu adalah kebutuhan energi yang berkelanjutan (sustainable).

Salah satunya adalah matahari, sumber energi yang paling menjanjikan mengingat sifatnya sustainable serta jumlahnya yang sangat besar. Setiap jamnya, matahari menyemburkan energinya setara 430 kuintiliun (10 pangkat 18) Joule. Lewat panel surya, energi tak terhingga dari sang mentari itulah ditangkap dan kemudian dikonversikan sebagai energi listrik. Kondisi ini membuat panel surya menjadi alternatif pembangkit listrik masa depan yang sangat menjanjikan.

Panel surya juga memiliki kelebihan menjadi sumber energi yang praktis mengingat tidak membutuhkan transmisi karena dapat dipasang secara modular di setiap lokasi yang membutuhkan.

Panel ini tidak memiliki ekses suara seperti pada pembangkit tenaga angin serta dapat dipasang pada hampir seluruh daerah karena hampir setiap lokasi di belahan dunia ini menerima sinar matahari.

Jangan pula membandingkannya dengan pembangkit air yang dapat dipasang hanya pada daerah-daerah dengan aliran air tertentu. Dengan berbagai keunggulan ini maka tidak heran jika banyak negara berlomba mengembangkan pembangkit listrik panel surya.

Menurut Badan Energi Internasional (IEA), panel listrik tenaga surya telah menyuplai sekitar 592 gigawatt (GW) atau hanya sekitar 2,2 persen saja dari pemakaian tenaga listrik dunia yang mencapai 26,571 GW di tahun 2018.

Berbagai teknologi telah dikembangkan dalam proses pembuatan panel surya sebagai pembangkit listrik. Bahan panel surya pun kini sudah bermacam-macam jenisnya seperti dengan lapisan yang tipis, organik, singel, dan multi-junction.

Tetapi yang paling populer adalah panel surya photovoltaik (PV) dengan bahan kristal silikon yang menguasai 90 persen dari pembangkit bertenaga surya yang ada di dunia termasuk di Indonesia.

Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dalam sebuah laporannya menyebutkan, nilai keekonomisan yang dihasilkan dari listrik panel surya menyebabkan harga listrik turun hingga 75 persen dibandingkan dengan energi berbahan fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.

Mengikuti tren nilai keekonomisan dari panel surya berbahan kristal silikon, para ilmuwan kembali mencari bahan yang jauh lebih murah. Tujuannya sudah jelas, agar pemanfaatan pembangkit listrik panel surya makin memasyarakat karena nilai keekonomisannya sangat baik.

Salah satu bahan yang sedang diperbincangkan saat ini adalah perovskite. Senyawa mineral kalsium titanium oksida dengan rumus kimia CaTiO3 itu pertama kali ditemukan oleh pakar mineral Jerman Gustav Rose pada 1839.

Rose menemukannya saat menggelar ekspedisi penelitian kandungan mineral bersama dua pakar mineral lainnya, Alexander von Humboldt dan Christian Gottfried Ehrenberg di kawasan Pegunungan Ural dan Altai, Rusia.

Nama perovskite disematkan Rose sebagai penghormatan terhadap minerolog kenamaan Rusia saat itu, Lev Alekseyevich von Perovski yang juga menjabat menteri dalam negeri saat Rusia dipimpin Tsar Nicholas I.

 

Keunggulan Perovskite

Senyawa mineral yang dikategorikan sebagai rare earth elements (REE) atau logam tanah jarang ini cocok diterapkan untuk produk industri berteknologi tinggi.

Terlebih perovskite ini proses produksinya sederhana dan murah jika dibandingkan bahan panel surya yang telah ada saat ini. Sifat versatilitas dari larutan perovskite ini menjadikannya sebagai bahan yang paling cocok diadopsi untuk pelapis semprot, dicetak atau dicat sebagai sel surya.

Selama ini, panel surya konvensional terbuat dari kristal-kristal silicon. Proses pembuatannya harus dipanggang pada suhu 800 derajat Celcius. Di sisi lain, panel surya perovskite dapat dibuat melalui temperatur rendah dan bahkan 200 kali lebih tipis dari panel surya konvensional.

Koefisien penyerapannya tinggi memungkinkan dibuatkan film sangat tipis yaitu sekitar 500 Newton meter (Nm) untuk menyerap spektrum matahari yang maksimal.

Panel surya perovskite adalah jenis sel surya yang mencakup senyawa terstruktur perovskite. Bahan organik-anorganik hibrida atau bahan berbasis timah hibrida adalah bahan yang paling umum dipakai sebagai lapisan aktif pemanen cahaya. Salah satu bahan perovskite adalah halida methylamonium.

Universitas New South Wales (UNSW), Australia, termasuk yang pertama kali mengembangkan panel surya berbahan perovskite pada 2009. Sementara itu, Anita Ho-Baillie, peneliti senior Australian Centre for Advanced Photovoltaics (ACAP) dari UNSW adalah orang pertama yang mengembangkannya di wilayah Asia Pasifik. Menurut Ho-Baillie, perovskite merupakan bahan panel surya dengan tingkat efisiensi 10 kali lipat dari bahan yang telah umum digunakan saat ini. 

 

Peluang bagi Indonesia

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan, penerapan green energy dengan clean technology harus menjadi pilihan saat ini dan sebagai prioritas untuk mendukung sustainability dari ketersediaan energi listrik di Indonesia.

Apalagi potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar, bisa mencapai 207,8 GW meski yang baru bisa direalisasikan tak lebih dari 0,15 GW.

Melihat kondisi itu maka teknologi perovskite pada panel surya dapat diterapkan di Indonesia mengingat peluangnya yang masih terbuka lebar. Terlebih jika melihat efisiensi yang dihasilkan dari panel surya PV jenis kristal silikon yang berkisar 7-16 persen saja. Itupun masih bergantung kepada orientasi penempatan panel serta kondisi cuaca.

Demikian dikatakan Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf seperti dikutip dari akun media sosialnya belum lama ini. "Tentunya hal ini merupakan babak baru kehidupan manusia, mulai meninggalkan sumber energi fosil yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Selamat datang perovskite," kata Nanang.

Riset terbaru yang dilakukan oleh Universitas Oxford pada 2018 menunjukkan, tingkat efisiensi pemanfaatan perovskite menyentuh angka 25-28 persen.

Panel surya kristal silikon dibuat relatif tebal dan berlapis. Tidak seperti perovskite dengan film yang tipis, sehingga bisa lebih kuat dan tahan lama. Panel-panel dengan lapisan-lapisan film tipis perovskite dapat menyerap cahaya dari panjang gelombang yang kisarannya sangat lebar dan lebih produktif menghasilkan listrik dibanding silikon pada panel PV.

Di luar itu, bahan baku perovskite yaitu REE banyak terdapat di Indonesia. Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo menjelaskan, mineral-mineral tanah jarang di Indonesia banyak dihasilkan sebagai produk sampingan penambangan dan pengolahan emas aluvial dan timah aluvial. 

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini