Indonesia.go.id - Derita Ibu Pertiwi di Tengah Nestapa Dunia

Derita Ibu Pertiwi di Tengah Nestapa Dunia

  • Administrator
  • Selasa, 2 Juni 2020 | 22:56 WIB
PANDEMI COVID-19
  Kondisi pemakaman kasus COVID-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/5/2020). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Dari rerata per sejuta penduduk, angka kematian akibat Covid-19 di negeri barat puluhan kali lipat dari Indonesia. Negara dengan skor indeks kesehatan tinggi justru babak belur karena wabah itu.

Penularan masih berlangsung. Secara nasional, angka pertambahan pasien positif Covid-19 antara 21-31 Mei 2020 rata-rata 630 orang per hari. Sepanjang Mei ada lonjakan 150 persen pada jumlah pasien terkonfirmasi positif virus corona, dari  10.162 orang menjadi  26.473 orang. Kurvanya masih terus mendaki. Dengan segala dampaknya, Covid-19 membuat Ibu Pertiwi menderita.

Pemerintah Indonesia tidak pernah mengumumkan secara resmi angka R-nought (Ro), indikator yang menunjukkan tingkat penularan efektif dari satu orang ke yang lain. Namun, diperkirakan Ro-nya pada skala nasional sudah menurun dari level 2,5 pada April lalu menjadi sekitar 1,4 di awal Juni. Bahkan, di sejumlah daerah termasuk DKI Jakarta, Ro-nya sudah melandai menuju ke angka di bawah 1, kondisi yang mengindikasikan penularan telah melambat, menuju babak akhir pandemi.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara dengan jumlah infeksi SARS COV-2, nama resmi virus Covid-19, yang tertinggi kedua di bawah Singapura. Dalam rilis harian edisi ke-133 yang disiarkan WHO, sampai 1 Juni 2020 di Singapura tercatat ada 34.884 kasus Covid-19. Indonesia di posisi kedua dengan 26.473 kasus dan pada posisi ketiga Filipina dengan 18.086 kasus.

Seperti di Indonesia, di Singapura dan Filipina konfirmasi positif Covid-19 masih bertambah lebih dari 500 kasus tiap harinya. Namun, di Singapura angka kematiannya rendah, hanya ada 23 kematian dari seluruh kasus (0,06 persen). Angka kematian di Indonesia mencapai 6,1 persen, dan di Filipina sekitar 4,6 persen.

Negara tetangga lain, Malaysia dan Thailand relatif sudah mulai terbebas dari bayang-bayang pandemi yang mematikan itu. Kasus Covid-19 di Malaysia sejauh ini hanya menyentuh angka 7.819, dengan 115 kematian (1,5 persen), sedangkan di Thailand hanya ada 3.082 kasus dengan 57 kematian (1,8 persen). Ro di kedua negara sudah menurun di bawah 1, bahkan mendekati nol.

Yang mendapat perhatian dunia kini adalah kenyataan bahwa negara-negara Indocina, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar, sejauh ini tak mendapat serbuan Covid-19 yang berarti. Di Vietnam hanya ada 328 kasus Covid-19 tanpa ada satu korban pun meninggal dunia. Kamboja hanya ada 125 kasus dengan nol korban jiwa. Laos 19 kasus tanpa korban jiwa, dan Myanmar mencatat 224 kasus, 6 meninggal.

Pandemi Covid-19 ini pun menunjukkan serangan yang lebih ringan di negara-negara Afrika yang relatif berjarak dari episentrum ledakan virus di Asia Timur, Eropa Barat, Amerika Serikat (AS), maupun Brazil. Di Eritria, Gambia, Namibia, sampai 1 Juni 2020 kasus infeksi Covid-19, menurut WHO, hanya di bawah 40 orang dan tanpa korban jiwa. Rwanda dan Malawi mencatat sekitar 300 kasus infeksi dengan korban jiwa tidak sampai 5 orang. Bahkan, Tunisia yang ribuan pekerja migrannya datang dan pergi dari Italia, Spanyol, dan Perancis, “hanya” mencatat 1.077 kasus dengan 48 kematian.

 

Jungkir Baliknya Indikator Baku

Badai Covid-19 ini membuat peta ketahanan kesehatan dunia seperti jungkir balik. Negara Eropa Barat dan AS yang selama ini dinilai paling tanggap dan siap menghadapi bencana biologis ternyata lumayan rapuh. Dari Amerika saja terpantau lebih dari 1,7 juta kasus Covid-19 dengan sekitar 103 ribu kematian pada 1 Juni 2020. Di Eropa ada 2,1 kasus dengan lebih dari 180 ribu kematian.

Amerika Serikat menjadi negara dengan indeks ketahanan kesehatan tertinggi, pada pengukuran 2019, dalam Peta Global Health Security versi John Hopkin Bloomberg School of Public Health di Washington. AS meraih 83,5 poin. Di posisi kedua dan ketiga adalah Britania Raya dan Belanda dengan 77,9 poin dan 75,6 poin. Rata-rata indeks skor global sebesar 40,2 dari skala 0 hingga 100 poin.

Ironisnya, justru Amerika tercatat sebagai negara yang paling parah terjangkiti Covid-19. Britania Raya (Inggris) dan Belanda juga babak belur, masing-masing menanggung mortalitas (angka kematian) akibat virus corona itu setinggi 569 dan 342 jiwa per satu juta penduduk. Angka mortalitas yang tinggi ini juga terjadi di Perancis, Spanyol, Kanada, dan terutama Belgia, yang semua memiliki indeks health resilience tinggi menurut versi tim John Hopkin.

Belgia mencatat angka kematian rerata tertinggi di dunia, dengan korban 822 jiwa/satu juta penduduk . Angka itu 137 kali lipat dari Indonesia yang mencatatkan angka kematian 6 orang per satu juta warga.

 

Negara dengan Tingkat Kematian Tertinggi per Satu Juta Penduduk

Akibat Covid-19 per 29 Mei 2020

Nomor

Negara

Jumlah Kematian

Jumlah Penduduk

(juta)

Kematian/1 juta penduduk

1

Belgia

9.388

11.42

822

2

Spanyol

27.119

46.42

580

3

Inggris

37.837

66.49

569

4

Italia

33.142

60.43

548

5

Perancis

28.625

66.99

427

6

Swedia

4.266

10.18

419

7

Belanda

5.903

17.23

343

8

Irlandia

1.939

4.85

338

9

AS

101.473

327.17

310

10

Swiss

1.919

8.52

225

Sumber: statista.com

Indeks Ketahanan Kesehatan Global itu memaparkan hasil observasi dari 195 negara. Tim John Hopkin Bloomberg School of Public Health itu merangkum data resmi dari masing-masing negara yang dipadu dengan data dari lembaga internasional, termasuk WHO. Sejumlah pakar kesehatan publik dilibatkan, termasuk dari WHO.

Tim pakar itu menghitung skor itu berdasarkan enam indikator, yakni kemampuan pencegahan kuman patogenik menyebar, sistem deteksi wabah penyakit, sistem pelaporan, kecepatan respons, tata kelola kesehatan, pemenuhan terhadap standar dan norma kesehatan internasional, serta risiko lingkungan.

Dalam hal indeks ketahanan kesehatan ini, skor negara-negara Asean di bawah negara Eropa. Thailand pada peringkat enam, Malaysia 18, Singapura 20, Indonesia 30, dan anggota Asean lainnya di peringkat yang jauh lebih bawah. Namun, ternyata indeks ketahanan kesehatan itu tak menggambarkan kemampuan pada masing-masing negara dalam membendung serbuan Covid-19.

Begitu halnya dengan healthcare index, indikator yang dianggap dapat menunjukkan kapasitas negara dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakatnya melalui tindakan pencegahan, diagnosis, perawatan, penyembuhan dan pemulihan.  Salah satu lembaga yang menyusun indeks kesehatan ini adalah Foyer Global Healthcare di Luxemburg, yang didukung oleh perusahaan-perusahaan asuransi. Indeks ini memang biasa menjadi panduan untuk penetapan premi asuransi kesehatan.

Korea Selatan, Jepang, Denmark, Perancis, dan Spanyol, adalah lima negara dengan skor healthcare tertinggi. Belgia, Kanada, dan Amerika Serikat masuk ke deretan papan tengah. Tapi, lagi-lagi indeks ini tidak mencerminkan daya tahan masyarakat menghadapi Covid-19. Belgia, Perancis, Spanyol, Kanada, dan Amerika kocar-kacir oleh virus corona ini. Indeks baku itu seperti tidak berlaku.

Negara-negara yang biasa meraih skor rendah pada berbagai versi indeks kesehatan, seperti Kamboja, Myanmar, dan sejumlah negara Afrika, justru memiliki daya tahan tersendiri.

 

Sulit Diprediksi

Fakta bahwa negara-negara maju dengan kualitas pelayanan kesehatan nomor satu pun bisa ambyar oleh serbuan Covid-19 itu menunjukkan bahwa perilaku penyebaran virus corona ini tak sepenuhnya bisa dipahami oleh otoritas kesehatan setempat. Pandangan bahwa virus ditularkan oleh mereka yang bergejala khas, demam, batuk-pilek, sesak nafas pun segera disusul dengan peringatan penularan dari orang yang tak bergejala (asimtomatis).

Strategi isolasi dan karantika pun dikedepankan. Namun, itu perlu tracing dan tracking yang masif serta surveilance yang intensif. Bukan surveilance biasa, melainkan yang berbasis molekuler agar cermat. Toh, negara-negara maju pun kewalahan untuk melakukan surveilance satu orang per 1.000 populasi, seperti yang disarankan WHO. Toh, banyak negara maju yang dapat melakukannya termasuk Amerika, Kanada, Italia, bahkan Jepang. Gerakan virus sulit dimonitor dan sulit diprediksi.

Covid-19 tidak terbendung. Di Singapura, lebih dari 34 ribu warga terserang Covid-19, dan secara rata-rata 5 orang terinfeksi per seribu penduduk. Namun, tingkat kematian di negeri jiran itu sangat rendah (0,06%) dari jumlah pasien. Dari rata-rata per sejuta warganya, tingkat serangan tinggi itu terjadi pula di Irlandia dan Spanyol pada tingkat 4.900-an orang/juta, Belgia (4.800-an orang/juta), Amerika (4.500-an orang/juta).

Pada level yang lebih rendah di peringkat berikutnya adalah Italia, Inggris, Swiss, dan Swedia. Secara global, praktis semua negara di dunia terpapar Covid-19. Seluruh dunia menanggung nestapa. Semua sepakat, bahwa virus menular antarmanusia dan untuk mengurangi penyebarannya, perlu dilakukan pembatasan gerak dan kontak manusia. Justru, di situ kesulitannya, karena manusia juga harus terus bergerak untuk bisa hidup.

 

 

 

Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini