Indonesia.go.id - Mendorong TPT Domestik Menjadi Raja di Dalam Negeri

Mendorong TPT Domestik Menjadi Raja di Dalam Negeri

  • Administrator
  • Kamis, 4 Juni 2020 | 22:12 WIB
PRODUK TEKSTIL
  Industri kain di Majalaya, Bandung, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Faris

Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri dalam negeri mengalami kerugian serius akibat lonjakan jumlah impor produk kain.

Di tengah pandemi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menerbitkan tiga kebijakan terkait  bea masuk bagi impor beberapa jenis tekstil dan produk tekstil (TPT). Kebijakan baru itu tentu terkait dengan upaya untuk melindungi produk TPT dalam negeri.

Ketiga ketentuan baru tentang bea masuk (BM) ini adalah pertama, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 54/200 yang mengatur soal jenis barang khas yang mendapat safeguard (tindak pengamanan), yang terdiri dari benang dari serat staple sintetik dan artifisial, kain termasuk tirai (gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, serta sejumlah serat untuk perabot lainnya.

Di PMK ini, pemerintah membaginya pengenaan safeguard dalam tiga periode. Periode I mulai 27 Mei 2020-8 November 2020. Nilai bea masuknya Rp41.083/Kg. Periode II mulai 9 November-8 November 2021 dengan nilai Rp34.961/Kg, dan periode III mulai 9 November 2021-8 November 2022 dengan nilai bea masuk Rp28.839/Kg.

Berikutnya, PMK Nomor 55/2020 yang mengatur barang yang kena bea masuk safeguard. Di PMK ini diatur 197 pos tarif terkait importasi kain. Yang ketiga PMK No. 56/2020. Kebijakan di PMK ini mengatur soal jenis barang yang kena bea masuk safeguard, yakni produk benang dari serat staple sintetik dan artifisial.

Nah, safeguard ini berlaku untuk periode I mulai 27 Mei 2020-8 November 2020 dengan BM Rp1.405/Kg. Periode II berlaku mulai 9 November -8 November 2021 dengan BM Rp1.192/Kg dan periode III mulai 9 November 2021-8 November 2022 dengan BM sebesar Rp969/Kg.

Yang jelas, keluarnya kebijakan itu dianggap tepat di tengah masih mewabahnya Covid-19. Apalagi, berdasarkan data Purchasing Manufactur Index (PMI) yang dirilis IHS Markit, Selasa (2/6/2020), Indonesia tercatat menjadi negara dengan indeks manufaktur yang terendah di kawasan Asean. Artinya, kinerja bisnisnya jauh di bawah normal.

Memang PMI Indonesia periode Mei itu yang sebesar 28,6 masih lebih baik dibandingkan dengan kinerja April yang berada di level 27,5. Namun, masih jauh dari level yang semestinya. Penyebabnya antara lain produksi manufaktur dan permintaan baru yang tak kunjung bangkit.

Tentunya timbul pertanyaan, apa yang menjadi pembeda Indonesia dengan negara Asean lainnya? Bayangkan, indeks Indonesia masih berada di bawah angka 30, sementara beberapa negara di kawasan Asia Tenggara mulai beranjak naik ke angka di atas 40.

Menurut data IHS Markit per Mei 2020, Malaysia tercatat menduduki posisi tertinggi di kawasan itu di angka 45,6. Berikutnya, Thailand (41,6), dan Filipina (40,1). Bahkan, Indonesia masih kalah dari Myanmar yang bertengger di angka 38,9 dari sebelumnya di angka 29.

 

Terdampak Wabah

Produk TPT sebagai bagian produk sektor manufaktur tak dipungkiri merupakan sektor yang sangat terdampak dari wabah pendemi Covid-19. Menurut IHS Markit, ada tiga faktor yang mempengaruhi PMI Indonesia pada Mei 2020 jeblok.

Pertama, penurunan permintaan akibat pasar lesu. Kedua, pemangkasan tenaga kerja. Ketiga, meningkatnya biaya  produksi yang disebabkan kurangnya pasokan bahan baku serta penurunan nilai tukar rupiah.

Berkaitan dengan rilis IHS Markit itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui bahwa industri dalam negeri masih menghadapi tekanan berat. Menurutnya, terjadinya kontraksi pada sektor manufaktur ini dipengaruhi penurunan permintaan dalam negeri. Pasalnya, permintaan dalam negeri selama ini mampu menyerap hingga 70 persen dari total produksi industri manufaktur dalam negeri tiba-tiba menyusut.

“Ketika daya beli menurun, secara otomatis industri dalam negeri melakukan penyesuaian termasuk penurunan utilitasnya,” ujarnya, Kamis (7/5/2020). Ketika itu, Agus menyoroti PMI periode April yang berada di level 27,5.

Khusus produk TPT, utilitas industri itu kini hanya mencapai 20%. Oleh karena itu, keluarnya tiga beleid PMK itu, memberi harapan bahwa produk unggulan itu bisa segera bangkit . Selanjutnya, diharapkan pula produknya bisa terlindungi, terutama di pasar domestik yang luar biasa besar. Jangan sampai, pasar domestik yang besar itu akhirnya yang menikmati produk impor.

“Hasil penelitian terbukti industri dalam negeri mengalami kerugian serius disebabkan oleh lonjakan jumlah impor produk kain,” sebut Kemenkeu berkaitan dengan rilis tiga PMK yang keluarnya hampir berbarengan pada Jumat (29/5/2020).

Kemenkeu juga menyebutkan, kebijakan bea masuk safeguard ditempuh setelah melihat perkembangan di lapangan terkait dengan importasi TPT asal Tiongkok yang mencoba mengisi produk di pasar yang lowong. Kebijakan ini tidak salah, apalagi produk TPT Indonesia pernah mengecap kejayaan sebelum akhirnya tergusur dan kalah bersaing oleh produk impor.

Lahirnya tiga PMK diharapkan membangkitkan produk dalam negeri terutama penyediaan bahan baku bagi industri TPT. Struktur industri TPT Indonesia harus diakui sangat rentan dan tergantung dari bahan baku Tiongkok, mendekati 70% dari total bahan baku.

Kementerian Perindustrian terus berupaya membangun industri bahan baku di dalam negeri. Dengan demikian, seiring ketersediaan bahan baku dari dalam negeri semakin meningkat, kapasitas nasional di sektor padat karya pun terdongkrak sehingga mampu mensubstitusi produk impor tersebut.

Dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT merupakan satu dari lima sektor yang mendapat prioritas pengembangan dalam kesiapan memasuki era industri 4.0. Sesuai dengan rencana Kementerian Perindustrian, merujuk ke peta jalan tersebut, industri tekstil dan pakaian jadi nasional diharapkan bisa masuk ke jajaran lima besar dunia pada 2030.

Sebuah mimpi boleh saja diharapkan terbang tinggi, namun realitas berupa jalan terjal di depan mata tak bisa dielakkan. Virus corona, atau kini dikenal dengan nama Covid-19 melanda dunia. Virus yang bermula dari Wuhan, Tiongkok, pun sudah menjadi pandemi.

Kebijakan restriksi dengan pengenaan BM safeguard diharapkan bisa jadi momentum bagi pemain industri tekstil domestik memperluas pangsa pasarnya. Potensi pasar dalam negeri yang sangat besar harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. TPT produk lokal dalam negeri sepatutnya menjadi raja di pasar domestik.

Selain itu, peningkatan ekspor terutama substitusi barang TPT yang tadinya diisi oleh produk Tiongkok diupayakan bisa diisi oleh pelaku bisnis TPT Indonesia. Pasar Afrika salah satunya. Melalui cara itu, di tengah sejumlah negara masih sibuk dengan pandemi, Indonesia bisa memanfatkan peluang untuk mendongkrak produk tekstil sektor hilir.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Trihusodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini