Merambat naik usai libur lebaran Idulfitri 1441 H, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjanjikan kegairahan baru. Bertolak dari level 4.680 (28 Mei), IHSG yang sempat melesat naik menyentuh angka 5.070 pada sesi penutupan Senin 8 Juni lalu, mengalami tekanan di hari-hari berikutnya. Tidak terlalu buruk, karena ia masih bertahan pada level 4.880 pada sesi penutupan Jumat 12 Juni.
Seperti lazimnya bursa efek, pergerakan IHSG tentu berkelindan dengan isu lokal dan global. Sepanjang pekan pertama Juni, isu global yang kuat meniupkan sentimen positif antara lain tentang wabah Covid-19 dunia yang melandai, industri Tiongkok bangkit dari deraan pandemi, Amerika Serikat yang berhasil menarik kembali 2,5 juta (dari 20 juta) tenaga kerja yang dirumahkan, serta isyarat cease fire AS-Tiongkok dalam perang dagang. Isu negatifnya, antara lain, aksi-aksi demo antirasisme yang mendunia.
Secara domestik, ada isu positif tentang pandemi Covid-19 yang melandai, dan akan disusul transisi menuju normal baru. Ada isu membaiknya pasar properti, harga batubara, inflasi yang terkendali, nilai tukar rupiah menguat, tak ada gejolak ekspor-impor, dan ekonomi relatif stabil. Fakta tentang adanya kontraksi pada kinerja bisnis di berbagai sektor tak lagi mengemuka. Maka, disokong aktifnya pemain asing, pasar saham bergairah. Saham properti, perbankan, dan beberapa lainnya ramai diperdagangkan.
Selama sepekan pada periode 2-5 Juni 2020, terjadi kenaikan frekuensi transaksi harian sebesar 25,4 persen. Ada peningkatan sekitar 20 persen pada rata-rata volume transaksi harian bursa menjadi 11,110 miliar unit saham. Rata-rata nilai transaksi harian Bursa Efek Indonesia (BEI) pun terkerek ke angka Rp11,730 triliun pada penutupan 5 Juni 2020.
Kegairahan itu masih berlangsung hingga Senin 8 Juni yang mencatatkan rekor IHSG menembus level psikologis 5.000 dan berlabuh di posisi 50.070 di akhir sesi penutupan. Namun, tren kenaikan itu serta-merta ambyar ditimpa sederet isu yang membangkitkan sentimen negatif.
Bermula dari laporan Gugus Tugas Nasional Covid-19 yang menyebutkan ada penambahan konfirmatif positif infeksi virus corona pada 9 Juni 1.043 orang dan 1.240 orang lagi pada hari berikutnya, tertinggi di sepanjang era pandemi di Indonesia. Isu yang bergulir adalah ada kemungkinan muncul gelombang kedua infeksi, sehingga momen transisi menuju new normal terancam mundur.
Perkembangan domestik lain yang menyengat adalah kabar tentang rencana perampingan BUMN dari yang kini 107 buah menjadi 80 atau 80 unit saja dengan proses merger dan likuidasi. Lebih jauh lagi, 51 anak perusahaan BUMN di bawah PT Garuda Indonesia, PT Pertamina, dan Telkom akan diciutkan lewat peleburan dan likuidasi. Keterangan ini muncul dari hasil rapat kerja Menteri BUMN Erick Tohir dengan Komisi VI DPR. Isu ikutannya, bank-bank BUMN besar dikabarkan akan mengakuisisi bank kecil, yang berakibat gangguan pada permodalannya.
Situasi semakin buruk karena isu-isu global pun ikut menekan. Di antaranya, kemungkinan meruapnya gelombang pandemi Covid-19. Acuannya adalah melonjaknya angka positif Covid-19 di California, Texas, dan Florida. Muncul kekhawatiran kebangkitan raksasa ekonomi dunia itu bakal kian tertunda-tunda.
Tak cukup dengan segala sentimen miring itu, komunitas pasar modal dunia ini masih harus menerima kabar buruk lainnya. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merilis proyeksi bahwa ekonomi dunia akan kontraksi atau tumbuh negatif 6 hingga 7,6 persen tahun 2020. Sialnya, otoritas ekonomi di AS mendukung prediksi itu.
Hantaman bertubi-tubi itu membuat tren IHSG berubah arah memasuki zona negatif. Saham perbankan yang sebelumnya perkasa mendadak loyo. Pada sesi Selasa (9/6/2020) pagi, sebelum isu-isu panas itu naik, IHSG sempat merambat ke 5.100. Tapi, pada sesi siang ia cepat meredup, dengan ditingkahi aksi ambil untung (profit taking), maka IHSG ditutup di level 5.035. Terkoreksi 0,7 persen.
Rabu esok harinya semakin berat. Banyak saham andalan sulit keluar dari zona merah. Karuan saja hari itu IHSG terus tertekan dan merosot 2,27 persen ke level 4.920. Pada hari berikutnya, dengan isu ekstra bahwa banyak emiten yang kinerja kuartal 1/2020 tidak sebaik yang diharapkan, maka penurunan IHSG pun berlanjut ke level 4.854 (terkoreksi 1,34 persen).
Perdagangan di akhir pekan Jumat (12/6/2020) cukup mendebarkan. Pada sesi pagi, indeks terkoreksi dalam, sampai 2,5 persen, dan kemudian secara bertahap rebound hingga pada sesi sore ditutup di level 4.880, naik 26 poin (0,53%). Dengan demikian, IHSG selama sepekan mengalami koreksi 1,362%.
Para analis pasar modal banyak yang kecewa bahwa level psikologis 5.000 tak bisa dipertahankan. Tapi, melihat pergerakan saham yang ada mereka yakin bahwa bursa efek di Indonesia cukup sehat untuk menjaga kegairahan pasar modal. Bahwa, pandemi Covid-19 membuat banyak emiten babak belur, itu tidak menghancurkan fondasi bisnis mereka.
Rebound di hari-hari usai Idulfitri itu juga memperlihatkan bahwa pamor pasar saham Indonesia tak kalah dinamisnya dari bursa-bursa regional. Bahkan, ketika dihantam isu-isu global yang cukup panas, terperosotnya IHSG di Jakarta tidak sedalam seperti pada Nikkei (Jepang), Hang Seng (Kong Kong), atau Straits Times Singapura.
Rupiah Terjaga
Seperti halnya harga saham, nilai tukar rupiah juga babak belur diterjang virus corona. Ketika deretan korban Covid-18 mulai berjatuhan pada pertengahan Maret lalu, rupiah pun goyah. Nilai tukarnya ke dolar Amerika Serikat (AS) sontak anjlok dari Rp14.400/USD 1 menjadi Rp16.600 di awal April 2020. Perlu perjuangan dua bulan untuk untuk kembali ke titik semula.
Mengutip data Bloomberg, pada Jumat (12/6/2020) siang, rupiah berada di level Rp14.204, melemah 184 poin (1,31%) dari posisi di awal perdagangan pagi. Selama sepekan memang ada tren pelemahan IDR setelah pada pekan (5/6/2020) mencatat nilai tukar Rp13.855/USD 1. Pada sesi pagi perdagangan pasar spot Senin (8 Juni), IDR masih bertahan di level IDR13.878 di pagi hari, tapi merosot ke 13.985 pada sorenya.
Sejak itulah rupiah cenderung melemah hingga sampai posisi IDR14.202, Jumat (12/6/2020) sore. Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah meyakini, pelemahan itu bersifat sementara. Ada sentimen negatif dalam ekonomi global terkait kondisi AS yang tak kunjung bangkit, bahkan terancam badai pandemi kedua.
Perkiraan OECD yang menyebut kontraksi ekonomi dunia dalam kisaran 6 – 7,6 persen memperburuk suasana. Saham-saham Wallstreet rontok. Indeks Dow Jones terkoreksi 6,7%, Kamis (11/6/2020). Keadaan itu, menurut Nanag Hendarsyah dalam pernyataan persnya, ikut menekan nilai rupiah.
Namun, Nanang yakin bahwa rupiah masih punya ruang akan menguat karena posisinya undervalued. Sebab, defisit transaksi berjalan pada 2020 akan turun di bawah 2% dari produk domestik bruto (PDB). Neraca perdagangan Mei 2020 surplus, dan inflasi akan terjaga rendah. Cadangan devisa di akhir Mei tercatat lebih dari USD130 miliar.
Toh, BI tetap menyatakan komitmennya untuk terus menjaga nilai tukar rupiah di pasar spot, dengan menyediakan instrumen likuiditas domestic non deliverable forward (DNDF). Stabilisasi juga dilakukan di pasar obligasi bila terjadi pelepasan SBN oleh investor asing dalam skala besar. "Ini untuk mencegah pelemahan rupiah yang terlalu tajam, yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dan sistem keuangan nasional," ujarnya. Rupiah tetap terjaga.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini