Dalam konteks perdagangan internasional, tentu membutuhkan mata uang yang disepakati untuk transaksi perdagangan. Isu itu juga mengemuka di tengah Presidensi G20 Indonesia.
Krisis pangan dan energi telah menjadi ancaman dunia sebagai dampak perang Ukraina-Rusia yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Dampak rembetan lainnya, inflasi terus terkerek. Pelbagai bank sentral dunia melakukan aksi agresif dengan menaikkan suku bunganya, seperti langkah The Federal Reserve (Fed) yang saat ini mematok suku bunga acuan di level 3,25 persen.
Diperkirakan, pada akhir 2022, Fed fund rate (FFR) akan dinaikkan ke 4,50 persen dan pada akhir 2023 di level 4,75 persen. Pendapat itu dilontarkan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo belum lama ini. “Kami perkirakan FFR masih akan naik puncaknya bisa 4,5 persen pada akhir tahun ini, bahkan ada prediksi lebih tinggi,” katanya dalam acara Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10/2022).
Perry menyampaikan bahwa langkah The Fed yang masih agresif tersebut menambah ketidakpastian di pasar keuangan, terutama di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. “Kenaikan suku bunga The Fed telah mendorong penguatan dolar AS sehingga menekan mata uang seluruh negara di dunia,” tambah Perry.
Nah, di tengah ketidakpastian perekonomian global dan mata uang yang selalu volatile itu membuat sejumlah negara melakukan inovasi agar kondisi moneter mereka tidak terganggu. Salah satunya, yakni menggunakan instrumen mata uang lokal (local currency settlement).
Tuntutan penggunaan uang lokal tidak terlepas kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Beberapa negara dunia juga beranggapan, mata uang mereka perlu juga mendapatkan nilai sebagai bagian dari bentuk national interest. Wujud dari semua itu juga menyentuh pada kegiatan perdagangan internasional mereka.
Dalam konteks perdagangan internasional tentu membutuhkan mata uang yang disepakati untuk transaksi perdagangan. Indonesia pun telah menjalin kerja sama dengan beberapa negara, bahkan semakin meluas penggunaannya. Bahkan, isu itu juga mengemuka di tengah Presidensi G20 Indonesia.
Bagi Indonesia, negara ini sangat berkepentingan dengan penggunaan instrumen tersebut. Oleh karena itu, Indonesia telah mendorong penggunaan transaksi LCS sejak 2018.
Implementasinya kini sudah menjangkau empat negara, yakni Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok. Bagi sejumlah negara yang mengikat LCS dalam perdagangan bilateralnya, langkah itu dinilai sebagai langkah tepat dalam konteks pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
Dalam bukunya berjudul Kajian Stabilitas Keuangan Semester I/2022, edisi Oktober 2022 yang dirilis Bank Indonesia, Senin (24/10/2022), diungkapkan bahwa negara ini terus memperluas kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam kegiatan perdagangan dan investasi antarnegara alias LCS, terutama dengan mitra Indonesia di kawasan Asia.
Di dalam buku kajian itu disebutkan, bank sentral telah melakukan penjajakan dengan Singapura dan Korea Selatan. Namun, lembaga belum menentukan waktunya kapan akan dimulai.
Yang jelas, kedua negara tersebut merupakan salah satu negara mitra dagang Indonesia yang cukup potensial. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, ekspor Indonesia ke Singapura pada 2021 mencapai USD8,08 miliar setara 3,69 persen terhadap total ekspor nonmigas Indonesia. Sedangkan ekspor Indonesia ke Korea Selatan, pada 2021, mencapai USD7,96 miliar, setara 3,63 persen terhadap total ekspor nonmigas.
Hingga saat ini, Bank Indonesia telah menjalin kerja sama LCS dengan empat negara dengan realisasi mencapai setara dengan USD2,46 miliar sepanjang semester I-2022. Jumlah itu terdiri dari transaksi dengan Malaysia setara dengan USD516 juta. Berikutnya Thailand (USD212 juta), Jepang (USD1,29 miliar), dan Tiongkok mencapai USD431 juta.
Transaksi LCS sepanjang semester I-2022 itu tentu jauh lebih tinggi dibandingkan pencapaian 2018 yang hanya mencapai USD349 juta. Berikutnya, mencapai USD2,53 miliar pada 2021, meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan 2020 sebesar USD797 juta.
Bank sentral juga mencatat, transaksi LCS berdasarkan komposisinya didominasi oleh antarbank, sebesar 50 persen diikuti oleh perdagangan 35 persen, remitansi 14 persen, dan investasi langsung 1 persen. Harapannya, penggunaan LCS semakin meluas, tidak hanya dengan empat negara.
Yang jelas, upaya perluasan LCS dibutuhkan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan mata uang utama, sehingga menciptakan diversifikasi mata uang yang pada akhirnya dapat meningkatkan stabilitas nilai tukar Rupiah. Bagi dunia usaha, LCS juga bermanfaat sebagai natural hedge agar terlindung dari eksposur nilai tukar.
Penggunaan LCS juga menguntungkan karena biaya transaksi yang lebih murah dan efisien melalui direct rate, serta transfer dana yang lebih cepat selain tentunya stabilitas keuangan tetap terjaga.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari